Showing posts with label Ramadhan. Show all posts
Showing posts with label Ramadhan. Show all posts

Sarung, Peci dan Baju Koko

6:02 AM
Beberapa waktu yang lalu pernah ada dua orang pemuda yang datang ke mushalla menjelang salat Isya. Ia tidak masuk ke dalam mushalla. Ia hanya berdiri di pagar lalu memanggil seseorang dari dalam mushalla. Keluarlah salah seorang pengurus musahalla. Lalu dua orang pemuda ini memberikan dua buah amplop kepada pengurus. Setelah itu, dua pemuda in berlalu tanpa masuk ke dalam mushalla.

Sebelum sampai di mushalla, kedua pemuda ini sempat menanyakan pak imam kepada seseorang. Barangkali, ia bermaksud menitipkan dua aplop tersebut kepada pak imam. Berhubung pak imam sudah berangkat ke mushalla, maka kedua pemuda ini terus ke mushalla. Tapi, hanya sampai pagar dan tidak masuk ke dalam.

Saya menduga, kedua pemuda ini memberikan amplop berisi uang untuk membayar zakat fitrah karena memang sedang berlangsung penerimaan zakat fitrah di mushalla ini. Atau jika bukan zakat fitrah, bisa juga ia menitipkan sumbangan untuk anak yatim atau infak pembangunan mushalla.

Saya lantas bertanya sendiri di dalam hati. Apa gerangan yang terjadi dengan kedua pemuda ini. Mengapa ia tidak mau masuk ke mushalla? Apa karena yang datang ke mushalla umumnya orang tua-tua berusia 45 tahun ke atas? Mungkinkah ia memang tidak pernah diajak untuk datang ke mushalla sejak kecil sehingga tidak terbiasa datang ke mushalla? Ataukah karena ia tidak merasa nyaman datang ke mushalla karena tidak pakai sarung, peci dan baju koko? Jawaban pasti tentu kedua orang pemuda ini yang tahu.

Semoga ia tidak masuk ke mushalla bukan karena takut datang ke mushalla karena di waktu kecil pernah dipersekusi oleh jama'ah. Karena di sebagian tempat ada jama'ah yang tua-tua menghardik atau memarahi anak-anak karena mengganggu kekhusyukan ibadah.

Jika keduanya tidak ke mushalla hanya karena ia tidak memakai sarung, baju koko dan peci, tentu ini keliru. Ada anggapan pada sebagian masyarakat bahwa untuk salat di masjid atau mushalla harus menggunakan pakaian khusus berupa sarung, peci dan baju koko. Memang kedua pemuda ini tidak memakai sarung, peci dan baju koko. Mereka memakai celana jeans. Satu orang memakai kaos oblong dan satu orang lagi memakai kemeja lengan pendek. Tapi, mereka terlihat rapi.

Dalam keseharian kita melihat umumnya orang datang ke masjid atau mushalla menggunakan sarung, berbaju koko dan memakai peci. Bahkan ada juga yang memakai gamis layaknya pakaian orang di Arab. Kalaupun ada orang yang tidak pakai sarung, baju koko atau pakaian khusus, paling tidak umumnya selalu ke masjid atau mushalla memakai peci atau songkok.

Ada di beberapa tempat, peci dijadikan syarat untuk melakukan pekerjaan tertentu. Jika tidak memakai peci, maka dianggap tidak sopan atau tidak beradat. Seperti kegiatan mamanggia baralek (mengundang untuk datang ke pesta atau hajatan)  atau saat manatiang/manghidang (menghidang) makanan pada acara baralek. Pantang secara adat melakukan ini tidak pakai peci atau kupiah.

Tidak ada yang salah dengan memakai peci, sarung dan baju koko tersebut ke masjid atau mushalla. Pakaian tersebut bahkan sudah menjadi ciri tersendiri seperti pakaian santri di nusantara. Namun, menganggap sarung, baju koko dan peci sebagai pakaian khusus ke masjid atau mushalla juga kurang tepat. Anggapan ini hanya akan menguntungkan penjual pakaian saja. Lihatlah iklan sarung dan baju koko ramai di media jauh hari sebelum ramadhan. Sama halnya seperti iklan sirup yang seolah-olah diidentikkan dengan minuman berbuka atau berhari raya.

Menarik informasi yang disampaiakan Prof. Irwan Abdullah, seorang antropolog yang juga merupakan guru besar antropologi di Universias Gajah Mada Jogjakarta. Menurutnya, dalam anggapan sebagian masyarakat di Bantul, agama terlalu arogan dan punya supremasi yang tinggi. Ia mencontohkan solat harus pakai baju koko, peci, dan sarung. Petuah agama itu terlalu tinggi dan tidak bisa dicerna oleh masyarakat pinggiran di Bantul. Ada sebuah pengajian, bernama pengajian Padang Bulan yang diasuh Emha Ainun Najib. Emha mengatakan, "Kamu nggak usah sombong di hadapan Tuhan. Lebih baik kamu solat dengan pakaian ke sawah dan sederhana di pematang sawah dari pada tidak solat karena alasan pakaian tidak bagus". Akhirnya pengajian padang bulan ini diikuti banyak orang. Artinya, dalam konteks ini Emha “menurunkan” standar agama sehingga dipakai oleh orang miskin di pedesaan.

Betapa banyak orang tidak ke masjid atau mushalla untuk solat dengan alasan pakaian tidak rapi. Ada orang yang beraktifitas di sekitar masjid, lalu saat ada panggilan azan mereka tidak solat ke masjid. Mereka tidak percaya diri untuk beribadah hanya karena pakai baju kaus, tidak pakai sarung atau tidak ada peci. Solat tidak mengharuskan tiga jenis pakaian ini. Solat hanya mengharuskan pakaian yang dipakai itu bersih tidak mengandung najis dan menutup aurat.

Tidak salah memakai sarung, baju koko dan peci ke masjid. Tapi salah jika menganggap ketiganya syarat untuk sahnya beribadah. Semoga bermanfaat.  


Idul Fitri Di Masa Pandemi

5:36 PM
Alhamdulillahi 'ala kulli hal.
Kita tetap bersyukur kepada Allah meskipun kita tengah dilanda wabah. Syukur kita bukan karena kita ditimpa musibah. Tapi syukur kita karena kita masih punya iman. Sehingga berbekal iman itu, kita bisa melalui musibah atau ujian wabah ini dengan sabar dan tetap mendekatkan diri kepada Allah, menunaikan ibadah salat, puasa, tadarus, zakat, infak dan sedekah. Meskipun pelaksanaan ibadah tersebut tidak seperti biasanya. Syukur kita juga di tempat kita tidak sampai wabah tersebut. Sehingga pemerintah mengizinkan kita bisa solat di masjid dengan tetap mengikuti protokol covid 19.

Solawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulillah Saw. Semoga dengan berpedoman kepada ajaran Al-Qur'an dan hadis yang beliau wariskan kepada kita, kita memperoleh kebahagiaan, ketentraman dan keselamatan dunia dan akhirat. Jika syariat puasa yang kita lakukan merupakan perintah Allah dalam Al-Qur'an, maka syariat zakat fitrah adalah ibadah yang kita lakukan berdasarkan titah dari Rasulullah Saw.

Allahu Akbar. Walillahilhamd.
Ada tiga pesan utama yang ingin khatib sampaikan dalam khutbah yang sangat terbatas ini.

Pertama, mari kita tetap bertakwa sesudah ramadhan berlalu. Dalam pengertian sederhananya, kita tetap menjalankan perintah Allah dan menghindari larangan Allah. Kita yang sudah melatih diri disiplin beribadah di bulant Ramadhan, hendaknya tidak meninggalkan kebiasaan ibadah kita tersebut. Tetaplah disiplin solat wajib. Tetaplah disiplin solat sunat rawatib. Tetaplah solat malam. Tetaplah membaca Al-Qur'an. Tetaplah berinfak dan bersedekah, walapun sedikit. Inilah di antara makna istiqomah setelah Ramadan. Bukankah di antara amalan yang dicintai Allah adalah ibadah yang konsisten, walaupun sedikit. Nabi Saw. mengatakan
أحب الأعمال إلى الله أدوامها وإن قل

Jangan sampai setelah habis Ramadhan, habis juga amal kita. Lalu berharap akan bertemu lagi Ramadhan di tahun depan. Masjidnya jangan ditinggalkan lagi. Solatnya jangan bolong-bolong lagi. Sedekahnya jangan terhenti sampai di sini. Ngajinya jangan seperti kaset yang dipause, lalu baru akan diputar lagi di tahun depan. Juga yang sudah meninggalkan judi dan mabuk-mabukan jangan kembali lagi bermaksiat. Jika setelah Ramadhan tidak beribadah lagi dan malah kembali ke kubangan dosa, tidak ubahnya kita seperti orang yang memintal benang dengan sebaik-baiknya. Setelah benang itu terpintal dengan rapi, lalu kita cerai beraikan kembali. Firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 92
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّتِى نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَٰثًا 
Janganlah kalian seperti seorang pemintal benang yang mencerai-beraikan benang yang telah dipintalnya dengan kuat. (Selengkapnya tentang takwa sesudah Ramadhan)

Allahu Akbar. Walillahilhamd
Kedua, mari kita terus berbagi dan berderma dengan saudara kita. Fakir, miskin dan anak yatim perlu tetap melanjutkan hidupnya setelah Ramadhan. Jangan hanya kita berderma kepada saudara kita fakir, miskin dan anak yatim hanya di bulan Ramadhan saja. Lalu setelah Ramadhan, kita biarkan mereka tidak makan. Jangan sampai kita dicap sebagai orang yang mendustakan agama atau mendustai adanya hari pembalasan. Sebagaimana Allah sampaikan kepada kita dalam surah Al-Ma'un ayat 1-3
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ(1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ(2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ(3)

Terlebih di masa pandemi ini. Banyak orang miskin baru bermunculan sebagai akibat pandemi. Mereka tidak bisa beraktifitas memenuhi kebutuhan dasarnya. Maka kita dituntut untuk berhemat sehingga semua kita bisa berbagi dengan saudara kita yang terkena dampak pandemi ini. Mari kita renungkan firman Allah dalam surah Al-Balad ayat 14
أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ
Yaumin dzi masghobah yang artinya pada hari kelaparan. Ibnu Katsir menyebutnya dengan hari di saat bahan makanan sangat sulit didapatkan. Tidak ubahnya seperti masa pandemi sekarang ini. Nah, membantu meringankan beban kebutuhan pokok saudara kita tentunya akan mendapat ganjaran yang luar biasa dari Allah. Hadis Nabi Saw. mengatakan
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﻧﻔﺲ ﻋﻦ ﻣﺆﻣﻦ كربة من كرب اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻧﻔﺲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ كربة من كرب ﻳﻮﻡ اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻭﻣﻦ ﺳﺘﺮ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﺳﺘﺮﻩ اﻟﻠﻪ ﻓﻲ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭاﻵﺧﺮﺓ ﻭﻣﻦ ﻳﺴﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺴﺮ ﻳﺴﺮ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭاﻵﺧﺮﺓ ﻭاﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻋﻮﻥ اﻟﻌﺒﺪ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ اﻟﻌﺒﺪ ﻓﻲ ﻋﻮﻥ ﺃﺧﻴﻪ. رواه مسلم
Barangsiapa yang meringankan kesusahan orang mukmin dalam urusan dunia maka Allah akan meringankan kesusahan Akhirat bagi dirinya. Barangsiapa menutupi aib orang lain, maka akan ditutupi aibnya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan orang yang sedang dilanda kesusahan maka akan dimudahkan urusannya diakhirat. Dan pertolongan Allah akan selalu turun selagi seorang hamba menolong saudaranya.

Yakinlah kita, bahwa siapa yang menolong orang lain akan ditolong Allah kelak di akhirat. Jika kita tidak yakin, berarti kita termasuk orang yang mendustai hari pembalasan. (Selengkapnya tentang mendustai hari pembalasan)

Terakhir, dalam konteks wabah ini, mari kita tetap menjaga diri, keluarga dan masyarakat kita dari segala yang mengancam jiwa, agama, keluarga, keturunan dan kehormatan kita.

Kita tidak menganut paham Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia layaknya seperti wayang yang digerakkan oleh dalang. Sebaliknya juga bukan penganut paham Qadariyah yang mengatakan kita berkuasa sepenihnya atas diri kita. Tapi, sebagai pengikut ahlu sunnah wal jama'ah, kita meyakini bahwa Allah memberi kemampuan kepada kita untuk mengetahui yang baik dan diberi daya untuk berbuat baik tersebut. Kita juga diberi kemampuan untuk mengetahui yang tidak baik serta diberi daya untuk menjauhinya. Mari kita gunakan daya dan kemampuan itu dalam rangka menjaga diri dari wabah ini.

Kita mulai dari diri kita dan keluarga kita. Jika setiap keluarga sudah melakukan ini, in sya Allah, satu kampung akan terpelihara dari wabah. Jika setiap kampung sudah melakukan ini, in sya Allah satu kecamatan terbebas dari wabah. Begitu seterusnya dalam level yang lebih besar.

Sejalan dengan upaya dan usaha tersebut, kita harus tetap beribadah dan berdoa kepada Allah. Karena Allahlah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Firman Allah dalam surah Al-Quraisy
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
Hendaklah mereka beribadah kepada Tuhan pemelihara rumah ibadah ini. Tuhan yang memberi makan mereka sehingga terbebas dari kelaparan dan memberikan rasa aman dan terbebas dari ketakutan.

Demikian khutbah idul fitri ini disampaikan. Selamat beridul fitri. Setelah solat, kita kembali ke rumah. #tetapdirumah. Jangan lupa bersilaturahim, walau dengan cara yang berbeda.
------

Dibuat untuk disampaikan pada khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di Madjid Taqwa Kambang Kec. Lengayang

Mari Menuju Kesuksesan

11:54 AM
Setiap orang ingin hidup sukses. Pengusaha ingin sukses dengan usahanya. Pedagang ingin sukses dengan dagangannya. Pelajar dan mahasiswa ingin sukses dengan studinya. Mereka yang bekerja ingin sukses dengan pekerjaannya. Begitu juga orang tua ingin agar anak-anaknya sukses. 

Tidak ada orang yang menginginkan kegagalan, apapun usaha atau profesi yang dilakukannya. Belum ada pedagang atau pengusaha yang berkeinginan dagangan atau usahanya rugi. Tidak ada petani yang bercita-cita pertaniannya tidak mendatangkan hasil. Tidak anak sekolahan yang ingin tinggal kelas dengan nilai paling rendah. Tidak ada guru yang mengharapkan siswanya tidak lulus. Tidak ada orang tua yang mendambakan anaknya menjadi anak yang gagal dalam kehidupannya. Pendek kata, semuanya menginginkan kesuksesan.

Namun sayang, tidak semua orang yang ingin sukses tersebut mendapatkan kesuksesannya. Penyebabnya macam-macam. Ada yang tidak sukses karena tidak tahu caranya agar sukses. Ada juga yang tidak sukses seperti orang lain karena ukuran sukses setiap orang berbeda. Ada juga yang tidak sukses karena semata-mata bertumpu pada usaha tanpa menyandarkan harapan suksesnya pada "Sesuatu Yang Maha Memberi Segalanya".

Tulisan ini ingin menyampaikan tentang sukses yang tidak kunjung datang karena tidak melaksanakan syarat sukses yaitu tidak memenuhi panggilan Zat Sang Pemberi Kesuksesan; Zat Yang Maha Kaya; Yang Maha Mendengar; Yang maha Melihat; Yang Maha Memberi Kebaikan.
Pernahkah kita coba renungkan makna lafal azan yang dikumandangkan lima waktu sehari semalam? Selain lafal takbir dan syahadatain, lafal apa lagi yang ada dalam azan? Jawabannya adalah lafal "hayya 'ala al-shalah-hayya 'ala al-falah". Apa makna ungkapan ini? Apa kaitannya dengan kesuksesan? Berikut penjelasan singkatnya.

Secara harfiah, hayya 'ala al-shalah berarti ajakan untuk salat dan hayya 'ala al-falah berarti ajakan untuk kemenangan. Terkait makna salat dapat dimengerti bahwa seruan azan mengajak orang untuk mengerjakan salat. Namun, terkait makna kemenangan, mungkin sebagian kita ada yang bertanya apa hubungannya azan dan kemenangan dengan kesuksesan?

Al-falah dalam bahasa Arab secara bahasa berarti beruntung. Seorang petani yang menanam benih dan merawat tanamannya dengan baik, lalu setelah masa panen tiba ia menuai hasil panennya. Petani ini dalam bahasa Arab disebut al-fallah. 

Suksesnya petani dengan usaha pertanian yang diusahakan dengan baik, mengikuti ketentuan dan sebab-akibat yang berlaku dalam bidang pertanian. Demikian juga dengan usaha dan pekerjaan. Apapun yang kita lakukan dalam rangka mencari nafkah dan rezeki yang halal tentu mengikuti ketentuan dan hukum sebab-akibat berlaku dalam setiap bidang usaha atau pekerjaan kita. Mustahil secara akal, seorang yang tidak berusaha atau tidak bekerja akan mendapatkan hasil.

Namun, semata-mata bersandar dan bertumpu pada usaha saja adalah sebuah sikap yang tidak tepat. Bagi setiap pribadi mukmin perlu kiranya merenungkan seruan azan yang memanggil untuk salat dan menyeru agar menjadi pribadi yang sukses. Salat dulu, biar sukses. Sangat disayangkan jika ada orang yang bekerja keras dan berusaha dengan semaksimal mungkin tapi tidak melaksanakan salat. Lafal azan terkait kesuksesan didahului dengan himbauan untuk mengerjakan salat.  Pesan dari "hayya 'ala al-shalah-hayya 'ala al-falah" yang kita dengar lima waktu sehari semalam melalui azan dan iqamat adalah bahwa salat adalah syarat untuk meraih kesuksesan. Ada "hayya 'ala al-shalah” sebelum “hayya 'ala al-falah".

Nah, jika ada yang sudah bekerja keras namun belum sukses dengan kerja kerasnya, maka perlu dicek salatnya. Sudahkah melaksanakan salat? Karena sukses dan beruntung itu mesti dahului dengan salat?
Dalam Islam, istilah sebab-akibat jalannya rezeki tidak disebut dengan hukum alam, tapi sunnatullah. Sunnatullah berarti ketentuan Allah. Bahwa Allah menetapkan ada hukum sebab-akibat yang berlaku berdasarkan ketentuan-Nya. Ingat, ada Allah yang mengatur hukum sebab-akibat itu, bukan alam. Ini juga alasan lain bagi kita mengapa kita perlu mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah salat lalu setelah itu baru kita bisa sukses.

Pendengaran, Penglihatan dan Hati Manusia

6:27 AM
Pada postingan sebelumnya telah disampaikan bahwa dalam surah al-Nahl ayat 78 Allah sebutkan bahwa manusia terlahir ke dunia dalam keadaan tidak mempunyai apapun. Lalu Allah berikan kepada manusia pendengaran, penglihatan dan hati, agar manusia bersyukur.

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Ada dua hal yang menarik dari susunan ayat ini yang belum sempat dibahas pada postingan sebelumnya. Pertama,
Penyebutan as-sama' (pendengaran) dalam bentuk tunggal. Sedangkan al-abshar (penglihatan) dan al-af'idah (hati) dalam bentuk jamak.

Menurut Prof. M. Quraish Shihab, apa yang dapat didengar selalu sama. Siapapun yang mendengar atau dari manapun datangnya suara tersebut selalu mendengarkan hal yang sama. Ketika seorang mendengar suatu objek--katakanlah suara ayam berkokok di dalam rumah--maka suara yang sama juga terdengar oleh orang yang berada di luar rumah. Tidak mungkin orang di luar rumah mendengar suara kokok ayam itu seperti suara kucing.

Berbeda halnya dengan hasil penglihatan. Sebuah objek yang dilihat bisa saja akan tampak berbeda oleh orang yang berbeda. Posisi tempat berpijak dan arah pandang akan menghasilkan perbedaan penglihatan. Sebagai contoh melihat gunung dari arah yang berbeda. Akan menghasilkan gambaran gunung yang berbeda pula. Penentuan awal Ramadhan dengan melihat bulan misalnya. Ada yang melihatnya dan ada juga yang tidak dapat melihatnya karena ada yang menutupinya. Ada juga yang tidak dapat melihatnya karena hanya mengandalkan penglihatan mata saja.

Demikian juga halnya dengan hasil kerja al-af'idah yang dapat diartikan dengan aneka hati. Kata af'idah  juga dipahami oleh ulama dengan arti akal, yaitu gabungan daya fikir dan daya kalbu.

Kembali kepada penyebutan istilah afi'dah yang disebut dalam bentuk jamak pada ayat ini. Hasil pemikiran manusia berbeda-beda. Ada orang yang pemikirannya sangat brilian. Ada juga orang yang keliru dalam berfikir. Sambil berseloroh, muncul petuah orang "Kepala sama hitam, tapi shamponya berbeda-beda".

Hati manusia juga berbeda dan berubah-ubah. Terkadang senang, terkadang susah. Adakalanya benci, namun terkadang rindu. Tingkatannya berbeda. Walau yang dibenci dan dirindui sama.

Hal kedua yang juga menarik dari susunan ayat ini adalah bahwa Allah mendahulukan penyebutan pendengaran. Setelah itu baru penglihatan dan terakhir hati dan pikiran.

Menurut ilmu kedokteran modern, bahwa indra pendengaran lebih dahulu berfungsi dari pada indra penglihatan. Pendengaran pada bayi sudah berfungsi pada pekan pertama usianya. Sedangkan penglihatan baru mulai berfungsi pada bulan ketiga dan sempurna pada bulan keenam. Sedangkan kemampuan akal dan mata hati yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk, baru berfungsi setelah kedua indra pendengaran dan penglihatan berfungsi.

Demikianlah di antara keindahan susunan ayat Al-Qur'an yang memberi informasi ilmu pengetahuan kepada kita. Semoga semakin menambah keimanan kita kepada Allah dan keimanan terhadap kitab suci ini. Aamiin.

Wallahu A'lam.







Kalau Bicaranya Cepat, Bagus Ndak? Seperti Itu Juga Solat

7:40 AM
"Pa! Solatnya dipercepat saja. Biar solatnya cepat selesai." Usul si Uni setelah jeda empat rakaat pertama Tarawih.

"Kan sudah cepat tu Nak. Papa sudah pilih ayat yang pendek-pendek. Ayo berdiri lagi. Kita lanjutkan empat rakaat lagi." Ajakku sembari membantu si Abang berdiri karena kakinya masih sakit.

"Iya Pa. Ayatnya sudah pendek. Maksud Uni, Papa membaca bacaannya cepat-cepat saja. Biar cepat juga selesai solatnya." Ucapnya sembari berganti posisi dari duduk menjadi berbaring.

"Iya Pa. Lama kali." Si Abang juga ikut merayu saya.

"Abang! Uni! Coba kalau Papa bicaranya cepat-cepat, anak Papa ngerti ndak?"

"Ngerti" jawabnya serentak.

Melihat reaksi mereka menjawab, seolah mereka sudah sepakat agar Tarawih ini bisa lebih cepat. Sambil menghela napas saya coba yakinkan mereka.

"Mungkin anak-anak Papa bisa paham kalau papa bicara cepat-cepat. Tapi, bagus ndak bicara cepat-cepat tersebut?"

"He he he. Ndak bagus." Jawab si Uni dengan malu.

"Nah. Begitu juga halnya dengan solat. Solat itu kita bicara dan memohon doa kepada Allah. Memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Tapi, baguskah sikap kita berkomunikasi dan meminta kepada Allah dengan bicara cepat-cepat? Minta sesuatu ke Papa aja Uni bicaranya baik-baik. Apalagi bicara dengan Allah."

"Iya Pa". Jawabnya.

"Tapi. Uni ndak ikut solat witirnya. Ayatnya panjang" lanjutnya.

"Ya lah." Jawabku mengalah.
***
Usul tersebut disampaikan anak pertama saya karena menurutnya solat tarawih itu lama. Memang sejak malam pertama Ramadhan, kami #TarawihDiRumahAja. Ini karena pemberlakuan PSBB di daerah kami. Menyusul meningkatnya jumlah korban covid 19 di propinsi ini.

Dua malam ini saya yang mengimami solat Isya dan Tarawih. Di malam pertama jadi imam, saya tawarkan ayatnya yang pendek-pendek. Mereka semangat. Karena selain si Uni yang baru kelas dua SD, juga ada si Abang yang masih kelas satu SD. Selain itu, kepentingan meringankan bacaan solat juga karena ada Bundo yang ditungguin untuk tidur oleh si Adik yang belum genap berusia dua tahun.

Memang ada hadis Nabi yang memerintahkan meringankan bacaan solat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ

Dari Abu Hurairah RA ia berkata, ”Rasulullah Saw. bersabda, ’Jika salah seorang di antara kalian solat mengimami orang lain, maka hendaklah ia memperingan solatnya. Karena di antara makmum ada yang lemah, sakit, tua. Jika kalian solat sendirian, maka panjangkanlah sekehendak hati kalian’.” (H.R. Bukhari 2/199; Muslim 4/184)

Juga pernah Rasulullah meringankan solat ketika mendengar tangis seorang bayi

إِنِّي أَدْخُلُ فِي صَلاَتِي وَأَنَا أُرِيْدُ أَنْ أُطِيْلَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ 

Aku memulai solat dan ingin memperpanjangnya. Lalu aku mendengar tangis bayi, maka aku persingkat. (H.R Muslim 4/186,187)

Contoh lain Rasulullah Saw. memperpendek solat di antaranya solat ketika dalam perjalanan. Rasulullah Saw. pernah membaca surah at-Tin pada shalat Isya’, dan pernah membaca surah an-Nas dan al-Falaq pada solat subuh dalam perjalanan. Lihat Shahih Bukhari (2/250) dan Shahih Muslim (4/181).

Kembali ke kasus memperpendek bacaan ayat karena ada anak-anak dan juga ada bayi yang menunggu orang tuanya, maka perbuatan imam tersebut adalah sunnah.

Wa Allahu A'lam.

Kan Cuma Saya

6:54 AM
Pernah ada seorang raja memerintahkan seluruh rakyat di kerajaannya untuk mengumpulkan madu. Setiap orang diwajibkan membawa satu sendok madu. Tidak banyak, cuma satu sendok saja. Nantinya, madu-madu tersebut akan dikumpulkan di dalam sebuah baskom besar.

Sampailah perintah itu kepada seluruh rakyat, baik di lingkungan kerajaan maupun di pelosok-pelosok kampung.

Ada seorang rakyat yang tidak mau membawa madu. Pada saat hari pengumpulan madu, ia akan membawa air saja. "Kan cuma saya yang tidak membawa madu. Lagian, saat dicampur dalam baskom nantinya, apa artinya satu sendok air dibanding satu baskom madu. Ketika dicicipi nanti, rasa air akan kalah oleh rasa madu satu baskom". Itu ide yang terlintas dalam pikirannya.

Tibalah hari yang ditentukan. Setiap orang datang ke kerajaan untuk mengumpulkan madu yang dibawanya. Pengumpulan dilakukan di tempat tertutup dan tidak disaksikan banyak orang.

Setelah selesai semua orang menuangkan isi sendoknya ke dalam baskom besar itu, maka diambillah baskom tersebut lalu dibawa menghadap raja. Betapa terkejutnya raja ketika dicicipi madu itu terasa seperti air. Setelah dilihat di dalam baskom ternyata isinya air semua. Tidak ada madu di dalam baskom tersebut. Ternyata semua orang membawa air. Tidak ada satupun yang membawa madu. Ternyata pikiran "kan cuma saya yang membawa air" tersebut adalah pikiran yang juga dipikirkan oleh semua rakyat.

***

Kisah di atas disadur dari buku Lentera Hati karya Prof. M. Quraish Shihab. Kisah ini berbicara tentang ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan sebuah masyarakat. Perintah yang berasal dari kerajaan tidak dipatuhi sepenuhnya. Karena takut akan perintah, mereka tetap melaksanakan perintah. Tapi karena perintah tersebut punya celah untuk diakali, maka ada yang mengakalinya. Celakanya, yang mengakali perintah tersebut tidak satu orang. Semua orang mengakali perintah tersebut.

Mari kita ambil ibrah dari kisah di atas. Mari kita laksanakan perintah dengan benar. Jangan kita akal-akali perintah yang diberikan kepada kita.  Jangan ada pikiran dalam diri kita "kan cuma saya yang tidak melaksanakan perintah ini".

Begitu juga jika ada larangan melakukan sesuatu. Mari kita indahkan larangan tersebut dengan tidak melakukan apa yang dilarang.  Jangan ada pikiran dalam diri kita "kan cuma saya yang melanggar". 

Betapa bahayanya pikiran "kan cuma saya" tersebut. Mari kita disiplin dengan perintah dan larangan. Semoga kita menjadi lebih disiplin dan tidak menjadi bagian dari perusak perintah dan larangan dengan pikiran "kan cuma saya". 

Semoga bermanfaat. Aamiin. 

Wallahu a'lam. 

Ketika Tidak Mungkin Mengerjakan Solat Secara Normal

8:53 AM

Sesudah selesai sahur, kami duduk bercerita sambil menunggu waktu subuh. Tiba-tiba anak keduaku bertanya.

“Pa! Bagaimana Cara Fa** solat lagi?” Pertanyaan itu ditanyakan anakku karena kakinya terluka setelah terinjak pecahan kaca gelas dari susu yang dibawanya.

Tadi malam sesudah berbuka, ia belum langsung solat. Ia agak kesal karena roti yang rencanyanya akan dimakannya untuk berbuka sudah tinggal bungkusnya. Mungkin ia menduga, roti tersebut sudah habis dimakan oleh anak ketigaku.

Dengan musibah ini, ia menjadi semakin tidak tenang. Tadinya ia masih menahan air mata yang berlinang berkaca-kaca karena menduga roti yang sudah habis. Sekarang, tangisnya itu pecah karena menahan perihnya luka di telapak kakinya yang mengeluarkan darah. Buntut dari kesakitan dan kekesalannya adalah ia tidak solat Maghrib, Isya dan sunat Tarawih.

Tapi pada pagi dini hari ini, semangat ibadahnya kembali muncul. Ia mau dibangunkan untuk sahur. Setelah sahur dan minum obat, ia bertanya bagaimana cara solat.

Melihat semangatnya, aku juga menjawab dengan penuh semangat.

“Abang solatnya duduk di kursi. Tidak berdiri. Rukuk dan sujudnya tidak seperti solat biasanya” jawabku sembari mencontohkan cara ruku’ dan sujud.

“Trus, bagaimana Fa** berwudhu’?” tanyanya lagi.

“Abang tayamum” jawabku.

“Kan masih ada air? Mengapa Fa** harus tayammum?” sanggahnya.

“Tayammmum itu tidak hanya di saat tidak ada air untuk berwudhu’. Tapi tayammum juga dapat dilakukan pada saat sakit yang tidak bisa menggunakan air.” Jawabku menjelaskan keraguannya.

“Fa** tau cara tayammum” katanya bersemangat.

“Bagaimana caranya?” tanyaku memancingnya untuk mencontohkan.

Lalu anakkupun bertayammum dan setelah itu aku gendong ke tempat salat agar ia bisa ikut salat berjamaah di rumah.

***

Melaksanakan ibadah tetap bisa dilaksanakan walau ada keterbatasan. Apalagi, ibadah tersebut adalah ibadah wajib yang mesti dilaksanakan oleh setiap mukallaf.

Menurut al-Syaukânî, dalam kitabnya yang populer Irsyâdul Fuhûl, syarat diwajibkan sebuah ibadah kepada mukallaf adalah bahwa ibadah itu merupakan perbuatan yang mungkin untuk dilakukan, bukan perbuatan yang mustahil untuk diwujudkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama yang diikuti oleh al-Syaukânî.
Lebih lanjut al-Syaukânî menjelaskan kategori mustahil itu dapat dipandang dari dua aspek. Pertama, mustahil karena perbuatannya sendiri mustahil dilakukan. Kedua, mustahil karena kemampuan mukallaf yang tidak dapat mewujudkan perbuatan itu.[1]

Dalil umum yang dipegang oleh al-Syaukânî adalah firman Allah surah al-Baqarah ayat 286 (لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ) dan al-Thalâq ayat 7 (لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا).
Saya ingin berkomentar tentang kategori mustahil karena kemampuan mukallaf yang tidak dapat mewujudkan perbuatan itu. Dalam kasus anak saya yang tidak sanggup berdiri solat karena telapak kakinya luka, maka dalam hal ini dipandang mustahil melaksanakan solat berdiri seperti biasanya.

Namun, tidak berarti gugur kewajiban solat bagi mereka yang tidak bisa berdiri untuk solat. Yang gugur darinya adalah kewajiban melaksanakan solat dengan cara berdiri tegak seperti orang yang sehat. Demikian seterusnya untuk kasus orang yang tidak kuasa solat dengan kondisi duduk, maka gugur kewajiban solat dengan cara duduk, ia tetap wajib solat dengan cara berbaring.

Dalam kasus tayammum secara tegas disebutkan dalam surah al-Maidah di antaranya adalah jika kamu sakit (وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى ). Kasus anakku memenuhi kategori ini. Ia tidak bisa berwudhu’ karena kakinya yang luka belum bisa terkena air. Maka mengamalkan syariah tayammum adalah sebagai bentuk keringanan dalam menunaikan kewajiban bersuci. Kewajiban bersuci tidak gugur, yang gugur hanya kewajiban berwudhu’. Ia diganti dengan bertayammum.

Banyak contoh gugurnya kewajiban tertentu dan berganti dengan bentuk kewajiban yang lain. Di antaranya kewajiban menghadap kiblat dalam salat tentu tidak berlaku bagi penyandang disabilitas tunanetra ketika tidak ada yang memberitahukan kepada mereka ke mana arah kiblat. Demikian juga ketentuan waktu salat bagi penyandang disabilitas tunanetra yang sekaligus tunarungu ketika tidak ada yang memberitahukan kepada mereka waktu salat.

Berdasarkan kaidah ini, tidak berlebihan juga jika kita aplikasikan dalam kasus gugurnya kewajiban solat jumat karena tidak memungkinkan melaksanakannya dikarenakan darurat pandemi covid 19. Namun, kewajiban solat fardu Zuhur tidak gugur.

Demikian juga halnya dengan solat berjamaah di masjid, musahalla, surau, meunasah, mersah, langgar atau tempat ibadah lainnya. Bagi yang memilih pendapat yang mengatakan solat lima waktu itu wajib di masjid bagi laki-laki, namun karena ada hal yang menyebabkan kewajiban itu tidak dapat dipenuhi secara penuh, maka gugur kewajiban solat di masjid.

Wallahu A’lam.


[1]Pernyataan itu berbunyi:
أَنَّ شَرْطَ الْفِعْلِ الَّذِي وَقَعَ التَّكْلِيفُ بِهِ، أَنْ يَكُونَ مُمْكِنًا فَلَا يَجُوزُ التَّكْلِيفُ بِالْمُسْتَحِيلِ،عِنْدَ الْجُمْهُورِ، وَهُوَ الْحَقُّ، وَسَوَاءٌ كَانَ مُسْتَحِيلًا بِالنَّظَرِ إِلَى ذَاتِهِ، أَوْ بِالنَّظَرِ إِلَى امْتِنَاعِ تَعَلُّقِ قُدْرَةِ الْمُكَلَّفِ بِهِ
Lihat Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukânî, Irsyâdul Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq min Ilm al-Ushûl,  Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, 1999 M/ 1419 H, juz ke-1, h. 32

Kenakan "Pakaian" Takwa Kapan Dan Dimanapun

11:25 AM
Hampir sebulan kita meninggalkan Ramadan. Selama itu juga kita bisa menilai diri kita sendiri. Kita berikan pertanyaan kepada diri kita, apakah sesudah Ramadan saya menjadi lebih baik, atau menjadi lebih buruk? Jika tidak bisa lebih baik dari saat Ramadan, janganlah menjadi lebih buruk. Minimal kondisi kita tetap seperti saat Ramadan.

Maka paling tidak ada tiga jenis orang setelah Ramadhan berlalu. Pertama, orang yang tidak mengambil manfaat dengan Ramadhan. Momentum Ramadan tidak digunakan untuk beralih dari perbuatan dosa dan maksiat. Sesudah Ramadan orang seperti ini masih saja dalam keadaan berdosa. Kita yakin tidak ada di antara kita yang hadir dalam masjid ini yang masuk kategori pertama ini. Kategori kedua sebaliknya, orang yang sebelum Ramadan, di saat Ramadan dan sesudah Ramadan sama ketakwaannya kepada Allah. Kita berharap berada dalam kelompok ini. Tapi tidak banyak sepertinya kita yang berada dalam posisi ini. Di antara indikatornya adalah, masjid kita hanya ramai saat Ramadan. Di luar Ramadan, masjid hanya ramai saat salat Jumat.

Kategori ketiga--dan ini mungkin umumnya kita yang hadir hari ini--adalah orang memanfaatkan fasilitas Ramadan untuk beribadah dengan harapan terhapus dosanya yang telah berlalu. Siang dan malam Ramadan diisi dengan ibadah kepada Allah. Baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah. Bahkan ada yang memanfaatkan Ramadan sebagai momentum perubahan ke arah yang lebih baik. Namun sayang seribu kali sayang, setelah Ramadan berlalu orang ini seolah lupa dengan latihan yang telah dilakukannya selama sebulan penuh. Setelah Ramadan seolah lupa jalan ke masjid. Tidak lagi membaca Alquran. Jarang bersedekah. Atau mungkin kembali berbuat dosa dan maksiat yang sudah ditinggalkan selama Ramadan.

Ada sebuah ilustrasi yang sering disampaikan oleh ustad dan tengku di mesjid dan mersah saat ceramah. Bagaimana ayam yang baru dibeli dikenalkan pada kandangnya. Biasanya dalam masa tiga hari seekor ayam dikurung dalam kandangnya. Setelah itu jika dilepas, ia akan kembali ke kandangnya pada senja harinya.

Di tempat lain, bagaimana seekor beruk yang diajar dan dilatih memetik kelapa. Setelah selesai pelatihannya, beruk dihadapkan pada kenyataan memetik kelapa yang sesungguhnya. Berpindah dari satu pohon ke pohon berikutnya untuk melaksanakan tugasnya memetik kelapa. Ia tetap patuh dan tunduk pada instruksi tuannya. Walau terkadang ada godaan dan hambatan yang dilaluinya seperti bertemu sarang semut atau bahkan binatang berbisa.

Kita selaku makhluk berakal tentu tidak mungkin sama seperti ayam dan beruk dalam contoh di atas. Kita yang sudah dilatih sebulan mengendalikan hawa nafsu tentunya jauh lebih cerdas dari dua contoh di atas. Kita yang sudah melatih diri kita salat ke masjid selama Ramadan hendaknya tidak melupakan jalan ke masjid. Kita sudah melatih diri kita untuk salat malam selama Ramadan. Tentunya juga kita lanjutkan praktik latihan sebulan itu sesudah Ramadan. Kita juga sudah latihan berinfak dan bersedekah selama Ramadan. Hendaknya juga melanjutkan tradisi itu sesudah Ramadan. Kita yang sudah tadarus dan membaca Alquran bahkan sampai khatam, hendaknya tidak berhenti membacanya di luar Ramadan.

Terkadang kita merasa iba karena Ramadan hanya sebagai pemberhentian sementara dari dosa bagi sebagian orang. Kita juga sedih ketika melihat masjid musala hanya berisi di bulan Ramadan. Kita harusnya malu karena ibadah kita masih bersifat musiman.

Kita patutnya menangis jika ternyata sesudah 'Idul Fitri (kembali suci) kita menjadi 'Idul Ma'ashi atau 'Idul 'Ishyani (kembali berdosa lagi). Semoga tidak ada lagi saudara kita yang kembali berjudi, mabuk dan mencuri sesudah Ramadan. Semoga tidak ada lagi perbuatan curang dan riba dalam jual beli pasca Ramadan. Semoga tidak ada lagi praktik suap, memotong hak orang lain dan korupsi mulai Syawal ini. Kita bermohon kepada Allah semoga menjadi hamba yang istikamah beriman dan beramal serta menghindari perbuatan dosa. Aamiin.

Kembali kita renungkan ayat yang memerintahkan puasa. Bahwa perintah puasa ditujukan kepada orang yang beriman. Jika puasa dilakukan atas dasar iman, maka hasilnya adalah menjadi pribadi yang bertakwa. Jika puasa dilakukan tidak atas dasar iman; tapi karena ikut-ikutan; karena semua orang berpuasa; karena anak dan keluarga berpuasa; karena kawan-kawan berpuasa; malu jika tidak berpuasa; dan sebab lain selain sebab panggilan tauhid; maka predikat takwa setelah Ramadan tidak diraih. Karena takwa hanya diraih dengan iman. Tanpa iman, maka takwa tidak akan diraih.


Dalam ayat lain banyak perintah takwa itu diserukan kepada orang yang beriman. Kita temukan di antaranya dalam surah Al-Taubah ayat 119, Al-Ahzab ayat 70, Al-Hadid ayat 28, al-Hasyr ayat 18. Yang paling populer dan sering dibacakan oleh khatib dalam kutbahnya adalah surah Ali Imran ayat 102

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.


Kembali ke rumusan takwa di atas. Maka untuk tetap bertakwa, maka tetap laksanakan perintah Allah dan jauhi larangan Allah. Bagaimana caranya? Kita mesti menjadi pribadi bertakwa di mana pun dan kapan pun. Dalam sebuah hadis dari Abu Zar dan Mu'az bin Jabal Rasulullah bersabda

عن أبي ذر ومعاذ بن جبل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن) رواه الترمذي وقال: حديث حسن
Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, dan (jika berbuat kejahatan dan dosa), barengilah dengan perbuatan baik karena perbuatan baik itu akan menghapus kejahatan. Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.

Di antara solusinya mari kita jadikan takwa sebagai "pakaian" yang selalu kita kenakan dan kita bawa ke mana pun kita pergi. Dalam surah Al-A'raf ayat 26 Allah sebutkan

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.

Layaknya pakaian, tentu akan kita pakai dan kenakan ke mana pun kita pergi. Mungkin hanya anak kecil dan orang yang kurang akalnya saja--jika kita tidak sebutnya tidak berakal sama sekali--yang tidak mengenakan pakaian dalam kesehariannya.  Siapa pun kita tentunya menggunakan pakaian. Kita pakai pakaian kita di rumah. Kita pakai pakaian kita di jalan, di pasar, di tempat kerja, di tempat ibadah. Pendek kata, di mana pun dan kapan pun kita selalu menggunakan pakaian. Sebaik-baik pakaian adalah takwa.

Orang yang berbuat dosa adalah orang yang meninggalkan atau menanggalkan pakaian takwanya. Dalam hadis yang sahih disebutkan oleh Rasulullah Saw.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن، ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن، ولايشرب الخمر حين يشربها وهو مؤمن
Orang yang berzina tidak akan berzina jika saat itu dia beriman. Orang yang mencuri tidak akan mencuri jika saat mencuri itu dia beriman. Orang yang meminum minuman yang memabukkan tidak akan meminumnya jika dia dalam keadaan beriman.

Artinya pada saat berbuat dosa, tanggal keimanan seseorang. Jika dia dalam keadaan beriman tentunya tidak akan berbuat dosa. Ingat, takwa sebagai pakaian yang kita pakai dan bawa ke mana pun kita pergi adalah didasari dengan iman. Orang berzina, orang mencuri, mabuk, dan berbuat dosa lainnya tidak memakai pakaian takwanya pada saat dia mencuri. Maka, pakailah pakaian takwa itu selalu agar kita bisa selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah

Semoga Iman kita tetap kokoh dalam diri kita dan tidak bercampur dengan apa pun. Sehingga dengannya kita bisa menjadi pribadi bertakwa, baik sebelum maupun sesudah Ramadhan. Semoga dengan iman yang benar dan kuat kita masih bisa selalu salat ke masjid; kita selalu mengaji; kita gemar bersedekah; kita sering mengikuti pengajian; kita suka berpuasa; kita tetap jujur dan amanah; kita tetap merasa diawasi oleh Allah; kita tidak mau bergunjing; kita takut mengambil hak orang lain; kita menghindari perbuatan curang; kita tidak menganiaya orang lain; kita berbuat baik dengan tetangga; kita menjalankan amanah. Pendek kata, kita berharap dengan iman yang ada pada diri kita, kita menjadi pribadi yang bertakwa dan istikamah dengan keimanan dan ketakwaan itu. Aamiin.

_____
Disampaikan pertama kali dalam Khutbah Jumat Masjid Al-Abrar Kebayakan Aceh Tengah pada hari Jumat 6 Juli 2017
 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes