A. Pendahuluan
Allah
Swt. menciptakan manusia dengan dua tujuan, yaitu sebagai hamba yang bertugas
untuk beribadah kepadanya (Q.S. al-Zariyat/ 51: 56), dan sekaligus sebagai
khalifah yang bertugas mengelola bumi dengan segala isinya (Q.S. al-Baqarah/ 2:
30). Ibadah adalah bentuk pengabdian manusia selaku hamba kepada Tuhan yang
pantas disembah. Ibadah tidak diartikan secara sempit berupa shalat, zakat, sedekah,
haji dan ibadah ritual lainnya. Tapi ibadah dapat berarti luas, yaitu semua
yang dilakukan manusia dengan ikhlas dalam rangka menunjukkan ketundukan dan
kepatuhannya selaku hamba kepada Tuhan. Bahkan Allah menyebutkan bahwa manusia
hanya diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Tugas kekhalifahan sebenarnya juga
masuk dalam kategori ibadah dalam artian yang luas.
Untuk
kedua tugas di atas, manusia disiapkan oleh Allah dengan beberapa bekal dan
potensi. Dengan bekal dan potensi yang dimilikinya, manusia dipersiapkan oleh
Allah sebagai makhluk yang pantas mengamban tugas dan tanggung jawab di atas.
Makalah singkat ini adalah sebagai bahan pengantar diskusi dalam mata kuliah Tafsir 1 untuk semua Jurusan Tarbiyah dan Syari’ah STAI Balaiselasa. Ia tidak ditujukan untuk pembahasan lebih luas dan komprehensif. Oleh karena itu, pembahasan makalah ini hanya meliputi beberapa sub-bahasan berupa,
fitrah beragama manusia, kesadaran moral, pedoman dalam memilih, serta akal dan tanggung jawab. Sub-bahasan ini disesuaikan dengan materi silabus mata
kuliah tafsir 1.
B. Fitrah
Beragama Manusia
Firman
Allah dalam surat al-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum/ 30: 30)
Ayat
ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad dan ummat beliau. Ia bagaikan
menyatakan: “Maka hadapkanlah wajahmu serta arahkan semua perhatianmu kepada
agama yang disyari’atkan Allah yaitu agama Islam dalam keadaan lurus. Tetaplah
mempertahankan fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ibnu
Manzhur, seorang pakar Bahasa Arab, menyebutkan kata fitrah berarti sesuatu
pengetahuan tentang Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal
dari kata fathara yang berarti penciptaan awal yang belum ada contoh sebelumnya.
Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ (segala puji bagi
Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak
mengetahui makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada suatu hari
melihat dua orang arab bertengkar tentang kepemilikan sumur. Salah seorang dari
mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama membuatnya).[1]
Sejalan
dengan pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy—seorang pakar dan penyusun
kamus bahasa al-Qur’an—juga menyebutkan bahwa fitrah adalah pengetahuan
keimanan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Dalam surat al-Zukhruf ayat
87 disebutkan وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ
لَيَقُولُنَّ اللَّهُ (dan
jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan mereka, maka mereka
akan menjawab Allah)[2]
Agaknya
ungkapan dua pakar Bahasa Arab di atas sejalan dengan ungkapan hadis yang
disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:
وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي
هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود
إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة
جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا
ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم[3]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim,
Ibn Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir kedunia ini kecuali atas dasar
fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi,
nashrani atau majusi. Seperti halnya binatang yang lahir sempurna. Apakah kamu
menemukan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali jika kamu yang
memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fitrhatallahi (ayat 30
surat al-Rum).
Melalui
ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu
dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan
dan meningkatkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni
menghadapkan wajah ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini
sebagai fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkanya sebagai agama yang benar? Jika
demikian, ayat ini berbicara tentang fitrah keagamaan.[4]
Ayat
di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana
dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika
pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya bahwa Alllah yang telah menciptakan
manusia atas fitrah itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah itu.[5]
Sebagai
bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan kepada
manusia adalah dengan adanya kesaksian manusia pada saat sebelum ia dilahirkan
ke atas bumi ini. Kesaksian itu adalah menyatakan bahwa Allah sebagai rabb
(Tuhan). [6]
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)".
(Q.S. al-A'raf/ 7: 172)
Dari beberapa
pernyataan dan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa setiap manusia
yang terlahir ke dunia telah diberikan oleh Allah potensi fitrah. Dengan fitrah
itulah manusia dibekali Allah untuk beragama dengan agama tauhid. Fitrah
sebagai potensi adalah aspek internal manusia. Aspek internal ini tetap ada
pada setiap pribadi manusia sekalipun ia terlahir di kalangan bukan muslim.
Karena yang menjadikan seorang lari dari tauhid adalah faktor eksternal berupa
lingkungan sekitarnya.
C. Kesadaran
Moral
Firman
Allah dalam surat al-Syams ayat 7-10
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا(7)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(8)قَدْ أَفْلَحَ
مَنْ زَكَّاهَا(9)وَقَدْ خَابَ
مَنْ دَسَّاهَا(10)
Demi jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. al-Syams/ 91: 7-10)
Pada
ayat pertama sampai ayat keenam Allah bersumpah dengan matahari, bulan, siang,
malam, langit dan bumi. Maka pada ayat ketujuh ini Allah bersumpah dengan diri
manusia dan penyempurnaan penciptaannya. Jika dibandingkan antara manusia
dengan makhluk lain yang disebutkan pada ayat pertama sampai keenam di atas,
maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang kecil. Akan tetapi, ada
hal lain yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang tidak diberikan kepada
enam makhluk besar di atas. Pada ayat kedelapan disebutkan bahwa manusia di-ilham-kan
oleh Allah fujur dan taqwa. Sementara enam makhluk sebelumnya
tidak diberi oleh Allah.
Jika
dicermati ayat ini akan ditemukan bahwa diri manusia diberi sebuah potensi oleh
Allah. Potensi itu tidak diberikan kepada makhluk lain selain manusia. Bahkan,
potensi itu tidak diberikan kepada makhluk sebesar matahari, bulan, siang,
malam, langit ataupun bumi.
Potensi
yang dimaksud dalam bahasa ayat ini adalah ilham. Hamka memahami ilham
dalam ayat ini dengan petunjuk yang diberikan kepada manusia untuk mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk. Ia berupa potensi yang diberikan kepada
manusia untuk menentukan pilihan. Pilihan itu hanya ada dua yaitu fujur yang
akan menghantarkan kepada kesengsaraan dan hal-hal celaka lainnya. Pilihan lain
adalah taqwa yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan dan
keselamatan. Ini juga sebagai bukti kecintaan Allah kepada Hambanya.
Sebagaimana juga disebutkan oleh surat al-Balad ayat 10 وَهَدَيْنَاهُ
النَّجْدَيْنِ (dan Kami telah menunjukkan
kepada manusia dua jalan mendaki).[7]
Al-Zamakhsyari
memahami ilham pada ayat ini adalah berupa potensi yang diberikan Allah kepada
diri manusia untuk memahami dan memikirkan bahwa ada yang baik dan ada yang
buruk. Dan ilham/ potensi itu sekaligus memungkinkan manusia untuk menentukan
pilihan di antara kedua hal itu. Hal itu ditunjukkan oleh ungkapan ayat
selanjutnya yang mengatakan bahwa yang beruntung adalah orang yang membersihkan
jiwanya dan merugilah orang yang mengotori jiwanya. Membersihkan jiwa dengan
cara mengikuti taqwa, dan mengotori jiwa dengan cara mengikuti fujur.[8]
Kekotoran
yang paling berbahaya bagi jiwa adalah menyekutukan Tuhan dengan yang lain,
mendustakan kebenaran yang disampaikan Rasul, atau bersifat hasad-dengki kepada
sesama manusia, benci dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Kekotoran jiwa akan membuka pintu kepada
berbagai kejahatan yang besar. Sebagai salah satu bukti dari kekotoran jiwa itu
adalah seperti perbuatan kaum Tsamud sebagaimana dijelaskan oleh kelanjutan
ayat ini.[9]
Pembahasan ini amat erat kaitannya
dengan sub bahasan berikutnya yaitu pedoman dalam memilih. Untuk dapat memahami
ayat ini secara komprehensif ada baiknya pemahaman terhadap ayat ini juga
dikaitkan dengan pembahasan ayat pada sub bahasan berikut ini.
D. Pedoman dalam Memilih
Firman
Allah dalam surat al-Maidah ayat 100
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan
yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah
kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. al-Maidah/ 5: 100)
Kata
khabits adalah segala sesuatu yang tidak disenangi karena keburukan/
kehinaannya dari segi material atau immaterial, baik menurut pandangan akal
atau syara’. Karena itu tercakup dalam kata keburukan hal-hal yang buruk dari
segi keyakinan, ucapan, maupun perbutan. Lawannya adalah thayyib,
termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan oleh agama atau akal yang sehat.
Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak buruk.[10]
Untuk
mengetahui konteks ayat ini turun ada baiknya diperhatikan sabab nuzul ayat
ini. menurut al-Wahidi ayat ini turun terkait membenarkan ucapan Nabi yang
mengatakan bahwa keburukan dan kebaikan tidaklah sama.[11]
Ayat di atas turun berkaitan dengan
pertanyaan seorang sahabat menanggapi ucapan Nabi Saw. Yang mengatakan bahwa
Allah mengharamkan meyembah berhala, meminum khamar dan mengundi nasib. Khusus
terkait khamar disebutkan oleh Rasulullah bahwa yang kena laknat tidak hanya
peminumnya, tapi juga pemanen bahan bakunya, pembuat, penjual dan orang yang
memakan hasil atau keuntungan darinya. Maka terkait ini ada sahabat yang
bertanya karena dia menafkahi keluarganya dengan penjualan khamar. Lalu Nabi
Saw. menegaskan bahwa sekalipun harta itu digunakan untuk haji, berjihad,
bersedekah atau apaun ibadahnya, maka keburukan harta itu tidak akan diganti
oleh Allah menjadi kebaikan. Membenarkan ucapan Nabi itu, turunlah ayat ini.
Ayat
di atas menyebutkan bahwa antara yang baik dan yang buruk tidaklah sama.
Kendatipun menurut pandangan akal sebagian orang bahwa yang buruk itu lebih
memperdayakan, tapi tetap tidak sama. Walaupun manusia diberi kebebasan untuk
memilih menempuh jalan yang khabits atau yang thayyyib—atau dalam
bahasa surat al-syams yang fujur dan taqwa—semua itu berpulang
kepada pilihannya. Kepada mereka diingatkan bahwa dalam hidup ini ada yang baik
dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah, ada tuntunan setan dan rayuan nafsu
yang keduanya sangat bertolak belakang.
Pada
ayat surat al-Syams disebutkan bahwa orang yang berupaya mensucikan jiwanya
dengan mengikuti jalan taqwa disebut dengan orang yang beruntung. Sejalan
dengan itu, pada ayat al-Maidah ini disebutkan perintah taqwa agar dengannya
manusia dapat menjadi orang yang beruntung.
Dalam
menentukan pilihannya, manusia tidak dapat dipaksa. Bahkan Rasul sekalipun
tidak dapat memaksakan seorang mau beriman dan menempuh jalan yang baik. Hal
ini sejalan dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 99 surat al-Maidah, yang mengandung
pesan bahwa Rasul hanya menyampaikan sedang yang menerima atau yang menolak
berpulang kepada masing-masing pribadi.
Pemahaman
ini sejalan dengan surat Yunus ayat 99 berikut
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/ 10: 99)
Ayat
ini menegaskan bahwa Nabi Saw. sekalipun tidak bisa memaksa seseorang untuk
menjadi beriman. Yang bisa menjadikan seorang beriman atau tidak hanyalah Allah
saja. Firman Allah وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ .[12]
Dari pembahasan ini dapat ditarik
pemahaman bahwa manusia diberi potensi oleh Allah untuk menentukan pilihannya. Pilihan
yang ditentukan oleh manusia adalah murni dari dirinya dan tidak dapat
dipaksakan oleh orang lain. Bahkan pilihan untuk menjadi seorang yang
berimanpun tidak dapat dipaksakan oleh Nabi kepada umatnya. Yang dapat
menjadikan manusia beriman atau tidak beriman adalah Allah melalui beberapa
potensi yang diberikannya kepada manusia. Dalam konteks ini ada fitrah
beragama, ada moral dan ada akal dan pemikiran yang bisa menghantarkan manusia
menjadi beriman atau tidak.
E. Akal dan
Tanggung Jawab
Firman
Allah dalam surat al-Hajj ayat 46
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Maka apakah
mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati
yang di dalam dada. (Q.S.
al-Hajj/ 22: 46)
Pada rangkaian ayat sebelumnya
disebutkan tujuh kaum yang dibinasakan oleh Allah karena kezaliman dan
keengkaran mereka. Maka pada ayat ini Allah menyatakan apakah manusia tidak
berjalan di muka bumi lau melihat bekas peninggalan orang yang pernah
mendustakan Rasul Allah. Lalu, dengan demikian mereka punya hati yakni akal
sehat dan hati yang suci yang dengannya mengantar mereka dapat memahami apa
yang mereka lihat. Atau kalaupun mata kepala mereka buta, maka mereka mempunyai
telinga yang dengannya mereka dapat mendengar ayat-ayat Allah dan keterangan
para Rasul serta pewarisnya yang menyampaikan kepada mereka tuntunan dan nasehat.
Dengan demikian, mereka dapat merenung dan mengambil pelajaran, kendatipun mata
kepala mereka buta. Karena sesungguhnya bukanlah keadaan mata kepala yang buta
yang menjadikan orang tidak dapat menerima kebenaran. Tapi yang dapat
menjadikan seorang tidak dapat menarik pelajaran dan menemukan kebenaran adalah
hati yang berada di dalam dada.[13]
Ayat
di atas hanya menyebutkan hati—dalam hal ini adalah akal sehat dan hati yang
suci—serta telinga tanpa menyebut mata, karena yang ditekankan di sini adalah
kebebasan berfikir jernih untuk menemukan sendiri kebenaran yang didambakan
itu. Ini semua adalah kerja pikiran dan telinga. Karena itulah hanya dua hal di
atas yang disebut. Siapa yang tidak mengguanakan akal sehatnya dan tidak pula
menggunakan telinganya, maka ia dinilai buta hati.[14]
Pada
surat al-Isra’ ayat 36, disebutkan oleh Allah tiga hal potensi yang diberikan.
Di samping pendengaran dan hati, juga ada penglihatan. Dari semua potensi itu
diminta pertanggungjawabannya oleh Allah.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (Q.S. al-Isra’/ 17: 36)
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa
pertanggunjawaban itu ada yang berupa tanggung jawab pribadi setiap individu
dan ada tanggung jawab bersama.
قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا
تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(164) وَهُوَ الَّذِي
جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(165)
Katakanlah: "Apakah aku akan
mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan." Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S. al-An’am/
6: 164-65)
Ayat
164 menekankan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
Akibat negatif sebuah perbuatan tidak akan ditimpakan kecuali kepada pelakunya.
Bahkan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Kata dosa di sini dipahami
dari kata wizr yang pada mulanya berarti berat. Dari kata ini lahir
makna-makna baru seperti dosa, karena dosa adalah sesuatu yang berat dipikul
manusia kelak di kemudian hari. Dari kata ini juga kata wazir berasal,
yang berarti menteri, karena beratnya tugas yang dipukulnya.[15]
Pada
ayat 165 disebutkan ada tugas dan tanggung jawab sosial manusia yaitu sebagai
khalifah. Pada ayat ini dalam bentuk jamak (khalâ’if). Kata ini terambil
dari kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata
khalifah sering kali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa
yang datang sebelumnya. Al-Raghib menjelaskan bahwa menggantikan yang lain
berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan. Dari sini ada yang
memahami kata khalifah berarti menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya
dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya dengan maksud Allah menguji manusia dan
memberinya penghormatan.[16]
Ayat
ini juga berisi tiga bukti yang sangat jelas tentang tauhid dan keniscayaan
hari kiamat. Bukti pertama melalui uraian tentang awal penciptaan, yakni segala
sesuatu diciptakan Allah. Jika segala sesuatu diciptakan Allah, maka pastilah
segala sesuatu wajib menyembah-Nya dan pastilah Dia yang waib wujud-Nya lagi
Maha Esa.
Bukti
kedua adalah akhir kehidupan, yaitu kandungan ayat yang menjelaskan bahwa semua
akan kembali kepada Allah untuk menerima ganjaran. Tidak ada yang dapat
menanggung dosa orang lain. Jika demikian, Dia adalah Pemilik dan Penguasa
mutlak, dan karena itu hari kiamat pasti datang dan pengabdian harus tertuju
kepada-Nya semata.
Bukti
ketiga adalah dilebihkan dan direndahkan sebagian hal pada seseorang. Hal itu
guna untuk menguji siapa yang taat dan siapa yang engkar. Tentu saja tidak sama
ganjaran bagi orang yang bertakwa dan orang yang durhaka. Kehidupan dunia
sering tidak memberikan ganjaran dan sanksi yang tuntas dan seimbang. Untuk
itu, pasti ada hari kemudian untuk menuntaskan ganjaran itu.
F. Penutup
Benar
ungkapan Allah yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang
terbaik (Q.S. al-Tin/ 95: 4). Tidak ada makhluk lain yang diciptakan oleh Allah
yang sama dengan manusia. Penciptaan yang terbaik itu tidak hanya terkait
dengan fisik saja, tapi juga dengan potensi-potensi lainnya. Ada banyak potensi
diberikan kepada manusia yang tidak semuanya diberikan kepada makhluk lain.
Pemberian
potensi itu menjadikan manusia dikenakan tanggung jawab baik secara pribadi
maupun tanggung jawab sosial bersama, baik utnuk kehidupan dunia maupun untuk
kehidupan di akhirat.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Al-Ashfahâniy,
Al-Râghib, Mufradât Alfâz al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq
oleh Shofwân ‘Adnân Dâwûdiy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2009), cet. ke-4
Al-Qurthubiy,
al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Hisyâm
Syamîr al-Bukhâriy), (Riyadh: Dâr ‘Âlim al-Kutub, 2003)
Al-Suyûthî,
Jalâl al-Dîn, al-Dur al-Mantsûr, (Beirut:
Dâr al-FIkr, 1993)
Al-Wâhidiy,
Abû Hasan ‘Aliy bin Ahmad, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: ‘Âlam
al-Kutub, t.th.)
Al-Zamakhsyariy,
al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (naskah
di-tahqîq oleh ‘Abd al-Razzâq al-Mahdiy), (Beirut: Dâr Ihyâ
al-Turâts al-‘Arabiy, t.th.)
Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979), cet. Ke-2
Ibn
Manzhûr, Abû al-Fadhl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram, Lisân
al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, 1990)
Shihab,
M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2001)
* Makalah
disajikan sebagai pengantar diskusi mata kuliah Tafsir 1 pada STAI Balai Selasa.
[1] Abû
al-Fadhl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manzhûr al-Afrîqî
al-Mishrî, (selanjutnya ditulis Ibnu Manzhûr), Lisân al-‘Arab, (Beirut:
Dâr Shâdir, 1990), juz ke-37, h. 3433.
[2] Al-Râghib
al-Ashfahâniy, Mufradât Alfâz al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq
oleh Shofwân ‘Adnân Dâwûdiy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2009), cet. ke-4, h.
640.
[3] Hadis
lain yang semakna namun berbeda redaksinya juga dikemukakan oleh Al-Suyuthi
dalam kitab ini yaitu
وأخرج مالك وأبو داود وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه كما تنتج الابل من بهيمة جمعاء هل تحس من جدعاء ؟ قالوا : يا رسول الله أفرأيت من يموت وهو صغير ؟ قال : الله أعلم بما كانوا عاملين
Jalâl
al-Dîn al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr, (Beirut:
Dâr al-FIkr, 1993), juz ke-6, h. 493.
[4] M.
Quraish Shihab, (selanjutnya ditulis Quraish), Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan
dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), volume 11, h. 55.
[5] Ibid.,
h. 56.
[6] Lihat
al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq
oleh Hisyâm Syamîr al-Bukhâriy), (Riyadh: Dâr ‘Âlim al-Kutub, 2003), Juz ke-7,
h. 318.
[7] Lihat
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979), cet. Ke-2,
h. 156.
[8]
Al-Zamakhsyariy, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî
Wujûh al-Ta’wîl, (naskah di-tahqîq oleh ‘Abd al-Razzâq
al-Mahdiy), (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.th.), juz ke-4, h. 763.
[9] Hamka, op.cit.,
h. 157.
[10] Quraish, op.
cit., volume 3, h. 197.
[11] Abû Hasan
‘Aliy bin Ahmad al-Wâhidiy, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: ‘Âlam
al-Kutub, t.th.), h. 157.
[12]
Al-Zamakhsyariy, op. cit., juz ke-2, h. 343.
[13] Quraish, op.
cit., volume 9, h. 78-79.
[14] Ibid.,
h. 80.
[15] Ibid.,
volume 4, h. 361-362.
[16] Ibid.,
h. 363.
Post a Comment