Beberapa Potensi Manusia

POTENSI MANUSIA*
Oleh: Irhas, MA**

A. Pendahuluan
Allah Swt. menciptakan manusia dengan dua tujuan, yaitu sebagai hamba yang bertugas untuk beribadah kepadanya (Q.S. al-Zariyat/ 51: 56), dan sekaligus sebagai khalifah yang bertugas mengelola bumi dengan segala isinya (Q.S. al-Baqarah/ 2: 30). Ibadah adalah bentuk pengabdian manusia selaku hamba kepada Tuhan yang pantas disembah. Ibadah tidak diartikan secara sempit berupa shalat, zakat, sedekah, haji dan ibadah ritual lainnya. Tapi ibadah dapat berarti luas, yaitu semua yang dilakukan manusia dengan ikhlas dalam rangka menunjukkan ketundukan dan kepatuhannya selaku hamba kepada Tuhan. Bahkan Allah menyebutkan bahwa manusia hanya diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Tugas kekhalifahan sebenarnya juga masuk dalam kategori ibadah dalam artian yang luas.
Untuk kedua tugas di atas, manusia disiapkan oleh Allah dengan beberapa bekal dan potensi. Dengan bekal dan potensi yang dimilikinya, manusia dipersiapkan oleh Allah sebagai makhluk yang pantas mengamban tugas dan tanggung jawab di atas.
Makalah singkat ini adalah sebagai bahan pengantar diskusi dalam mata kuliah Tafsir 1 untuk semua Jurusan Tarbiyah dan Syari’ah STAI Balaiselasa. Ia tidak ditujukan untuk pembahasan lebih luas dan komprehensif. Oleh karena itu, pembahasan makalah ini hanya meliputi beberapa sub-bahasan berupa, fitrah beragama manusia, kesadaran moral, pedoman dalam memilih, serta akal dan tanggung jawab. Sub-bahasan ini disesuaikan dengan materi silabus mata kuliah tafsir 1.


B. Fitrah Beragama Manusia
Firman Allah dalam surat al-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum/ 30: 30)
Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad dan ummat beliau. Ia bagaikan menyatakan: “Maka hadapkanlah wajahmu serta arahkan semua perhatianmu kepada agama yang disyari’atkan Allah yaitu agama Islam dalam keadaan lurus. Tetaplah mempertahankan fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ibnu Manzhur, seorang pakar Bahasa Arab, menyebutkan kata fitrah berarti sesuatu pengetahuan tentang Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang berarti penciptaan awal yang belum ada contoh sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ (segala puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada suatu hari melihat dua orang arab bertengkar tentang kepemilikan sumur. Salah seorang dari mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama membuatnya).[1]
Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy—seorang pakar dan penyusun kamus bahasa al-Qur’an—juga menyebutkan bahwa fitrah adalah pengetahuan keimanan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Dalam surat al-Zukhruf ayat 87 disebutkan وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ (dan jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan mereka, maka mereka akan menjawab Allah)[2]
Agaknya ungkapan dua pakar Bahasa Arab di atas sejalan dengan ungkapan hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:
وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم[3]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir kedunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi, nashrani atau majusi. Seperti halnya binatang yang lahir sempurna. Apakah kamu menemukan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali jika kamu yang memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fitrhatallahi (ayat 30 surat al-Rum).
Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni menghadapkan wajah ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini sebagai fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkanya sebagai agama yang benar? Jika demikian, ayat ini berbicara tentang fitrah keagamaan.[4]
Ayat di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya  bahwa Alllah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah itu.[5]
Sebagai bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan kepada manusia adalah dengan adanya kesaksian manusia pada saat sebelum ia dilahirkan ke atas bumi ini. Kesaksian itu adalah menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan). [6]
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-A'raf/ 7: 172)
Dari beberapa pernyataan dan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa setiap manusia yang terlahir ke dunia telah diberikan oleh Allah potensi fitrah. Dengan fitrah itulah manusia dibekali Allah untuk beragama dengan agama tauhid. Fitrah sebagai potensi adalah aspek internal manusia. Aspek internal ini tetap ada pada setiap pribadi manusia sekalipun ia terlahir di kalangan bukan muslim. Karena yang menjadikan seorang lari dari tauhid adalah faktor eksternal berupa lingkungan sekitarnya.

C. Kesadaran Moral
Firman Allah dalam surat al-Syams ayat 7-10
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا(7)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(8)قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9)وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا(10)
Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. al-Syams/ 91: 7-10)
Pada ayat pertama sampai ayat keenam Allah bersumpah dengan matahari, bulan, siang, malam, langit dan bumi. Maka pada ayat ketujuh ini Allah bersumpah dengan diri manusia dan penyempurnaan penciptaannya. Jika dibandingkan antara manusia dengan makhluk lain yang disebutkan pada ayat pertama sampai keenam di atas, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang kecil. Akan tetapi, ada hal lain yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang tidak diberikan kepada enam makhluk besar di atas. Pada ayat kedelapan disebutkan bahwa manusia di-ilham-kan oleh Allah fujur dan taqwa. Sementara enam makhluk sebelumnya tidak diberi oleh Allah.
Jika dicermati ayat ini akan ditemukan bahwa diri manusia diberi sebuah potensi oleh Allah. Potensi itu tidak diberikan kepada makhluk lain selain manusia. Bahkan, potensi itu tidak diberikan kepada makhluk sebesar matahari, bulan, siang, malam, langit ataupun bumi.
Potensi yang dimaksud dalam bahasa ayat ini adalah ilham. Hamka memahami ilham dalam ayat ini dengan petunjuk yang diberikan kepada manusia untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ia berupa potensi yang diberikan kepada manusia untuk menentukan pilihan. Pilihan itu hanya ada dua yaitu fujur yang akan menghantarkan kepada kesengsaraan dan hal-hal celaka lainnya. Pilihan lain adalah taqwa yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan dan keselamatan. Ini juga sebagai bukti kecintaan Allah kepada Hambanya. Sebagaimana juga disebutkan oleh surat al-Balad ayat 10 وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (dan Kami telah menunjukkan kepada manusia dua jalan mendaki).[7]
Al-Zamakhsyari memahami ilham pada ayat ini adalah berupa potensi yang diberikan Allah kepada diri manusia untuk memahami dan memikirkan bahwa ada yang baik dan ada yang buruk. Dan ilham/ potensi itu sekaligus memungkinkan manusia untuk menentukan pilihan di antara kedua hal itu. Hal itu ditunjukkan oleh ungkapan ayat selanjutnya yang mengatakan bahwa yang beruntung adalah orang yang membersihkan jiwanya dan merugilah orang yang mengotori jiwanya. Membersihkan jiwa dengan cara mengikuti taqwa, dan mengotori jiwa dengan cara mengikuti fujur.[8]
Kekotoran yang paling berbahaya bagi jiwa adalah menyekutukan Tuhan dengan yang lain, mendustakan kebenaran yang disampaikan Rasul, atau bersifat hasad-dengki kepada sesama manusia, benci dendam, sombong, angkuh dan lain-lain.  Kekotoran jiwa akan membuka pintu kepada berbagai kejahatan yang besar. Sebagai salah satu bukti dari kekotoran jiwa itu adalah seperti perbuatan kaum Tsamud sebagaimana dijelaskan oleh kelanjutan ayat ini.[9]
Pembahasan ini amat erat kaitannya dengan sub bahasan berikutnya yaitu pedoman dalam memilih. Untuk dapat memahami ayat ini secara komprehensif ada baiknya pemahaman terhadap ayat ini juga dikaitkan dengan pembahasan ayat pada sub bahasan berikut ini.


D. Pedoman dalam Memilih
Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 100
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. al-Maidah/ 5: 100)
Kata khabits adalah segala sesuatu yang tidak disenangi karena keburukan/ kehinaannya dari segi material atau immaterial, baik menurut pandangan akal atau syara’. Karena itu tercakup dalam kata keburukan hal-hal yang buruk dari segi keyakinan, ucapan, maupun perbutan. Lawannya adalah thayyib, termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan oleh agama atau akal yang sehat. Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak buruk.[10]
Untuk mengetahui konteks ayat ini turun ada baiknya diperhatikan sabab nuzul ayat ini. menurut al-Wahidi ayat ini turun terkait membenarkan ucapan Nabi yang mengatakan bahwa keburukan dan kebaikan tidaklah sama.[11]

  Ayat di atas turun berkaitan dengan pertanyaan seorang sahabat menanggapi ucapan Nabi Saw. Yang mengatakan bahwa Allah mengharamkan meyembah berhala, meminum khamar dan mengundi nasib. Khusus terkait khamar disebutkan oleh Rasulullah bahwa yang kena laknat tidak hanya peminumnya, tapi juga pemanen bahan bakunya, pembuat, penjual dan orang yang memakan hasil atau keuntungan darinya. Maka terkait ini ada sahabat yang bertanya karena dia menafkahi keluarganya dengan penjualan khamar. Lalu Nabi Saw. menegaskan bahwa sekalipun harta itu digunakan untuk haji, berjihad, bersedekah atau apaun ibadahnya, maka keburukan harta itu tidak akan diganti oleh Allah menjadi kebaikan. Membenarkan ucapan Nabi itu, turunlah ayat ini.
Ayat di atas menyebutkan bahwa antara yang baik dan yang buruk tidaklah sama. Kendatipun menurut pandangan akal sebagian orang bahwa yang buruk itu lebih memperdayakan, tapi tetap tidak sama. Walaupun manusia diberi kebebasan untuk memilih menempuh jalan yang khabits atau yang thayyyib—atau dalam bahasa surat al-syams yang fujur dan taqwa—semua itu berpulang kepada pilihannya. Kepada mereka diingatkan bahwa dalam hidup ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah, ada tuntunan setan dan rayuan nafsu yang keduanya sangat bertolak belakang.
Pada ayat surat al-Syams disebutkan bahwa orang yang berupaya mensucikan jiwanya dengan mengikuti jalan taqwa disebut dengan orang yang beruntung. Sejalan dengan itu, pada ayat al-Maidah ini disebutkan perintah taqwa agar dengannya manusia dapat menjadi orang yang beruntung.
Dalam menentukan pilihannya, manusia tidak dapat dipaksa. Bahkan Rasul sekalipun tidak dapat memaksakan seorang mau beriman dan menempuh jalan yang baik. Hal ini sejalan dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 99 surat al-Maidah, yang mengandung pesan bahwa Rasul hanya menyampaikan sedang yang menerima atau yang menolak berpulang kepada masing-masing pribadi.
Pemahaman ini sejalan dengan surat Yunus ayat 99 berikut
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/ 10: 99)
Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Saw. sekalipun tidak bisa memaksa seseorang untuk menjadi beriman. Yang bisa menjadikan seorang beriman atau tidak hanyalah Allah saja. Firman Allah وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ .[12]
Dari pembahasan ini dapat ditarik pemahaman bahwa manusia diberi potensi oleh Allah untuk menentukan pilihannya. Pilihan yang ditentukan oleh manusia adalah murni dari dirinya dan tidak dapat dipaksakan oleh orang lain. Bahkan pilihan untuk menjadi seorang yang berimanpun tidak dapat dipaksakan oleh Nabi kepada umatnya. Yang dapat menjadikan manusia beriman atau tidak beriman adalah Allah melalui beberapa potensi yang diberikannya kepada manusia. Dalam konteks ini ada fitrah beragama, ada moral dan ada akal dan pemikiran yang bisa menghantarkan manusia menjadi beriman atau tidak.


E. Akal dan Tanggung Jawab
Firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 46
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S. al-Hajj/ 22: 46)
Pada rangkaian ayat sebelumnya disebutkan tujuh kaum yang dibinasakan oleh Allah karena kezaliman dan keengkaran mereka. Maka pada ayat ini Allah menyatakan apakah manusia tidak berjalan di muka bumi lau melihat bekas peninggalan orang yang pernah mendustakan Rasul Allah. Lalu, dengan demikian mereka punya hati yakni akal sehat dan hati yang suci yang dengannya mengantar mereka dapat memahami apa yang mereka lihat. Atau kalaupun mata kepala mereka buta, maka mereka mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar ayat-ayat Allah dan keterangan para Rasul serta pewarisnya yang menyampaikan kepada mereka tuntunan dan nasehat. Dengan demikian, mereka dapat merenung dan mengambil pelajaran, kendatipun mata kepala mereka buta. Karena sesungguhnya bukanlah keadaan mata kepala yang buta yang menjadikan orang tidak dapat menerima kebenaran. Tapi yang dapat menjadikan seorang tidak dapat menarik pelajaran dan menemukan kebenaran adalah hati yang berada di dalam dada.[13]
Ayat di atas hanya menyebutkan hati—dalam hal ini adalah akal sehat dan hati yang suci—serta telinga tanpa menyebut mata, karena yang ditekankan di sini adalah kebebasan berfikir jernih untuk menemukan sendiri kebenaran yang didambakan itu. Ini semua adalah kerja pikiran dan telinga. Karena itulah hanya dua hal di atas yang disebut. Siapa yang tidak mengguanakan akal sehatnya dan tidak pula menggunakan telinganya, maka ia dinilai buta hati.[14]
Pada surat al-Isra’ ayat 36, disebutkan oleh Allah tiga hal potensi yang diberikan. Di samping pendengaran dan hati, juga ada penglihatan. Dari semua potensi itu diminta pertanggungjawabannya oleh Allah.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (Q.S. al-Isra’/ 17: 36)
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa pertanggunjawaban itu ada yang berupa tanggung jawab pribadi setiap individu dan ada tanggung jawab bersama.
قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(164) وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(165)
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-An’am/ 6: 164-65)
Ayat 164 menekankan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Akibat negatif sebuah perbuatan tidak akan ditimpakan kecuali kepada pelakunya. Bahkan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Kata dosa di sini dipahami dari kata wizr yang pada mulanya berarti berat. Dari kata ini lahir makna-makna baru seperti dosa, karena dosa adalah sesuatu yang berat dipikul manusia kelak di kemudian hari. Dari kata ini juga kata wazir berasal, yang berarti menteri, karena beratnya tugas yang dipukulnya.[15]
Pada ayat 165 disebutkan ada tugas dan tanggung jawab sosial manusia yaitu sebagai khalifah. Pada ayat ini dalam bentuk jamak (khalâ’if). Kata ini terambil dari kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalifah sering kali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Al-Raghib menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan. Dari sini ada yang memahami kata khalifah berarti menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya dengan maksud Allah menguji manusia dan memberinya penghormatan.[16]
Ayat ini juga berisi tiga bukti yang sangat jelas tentang tauhid dan keniscayaan hari kiamat. Bukti pertama melalui uraian tentang awal penciptaan, yakni segala sesuatu diciptakan Allah. Jika segala sesuatu diciptakan Allah, maka pastilah segala sesuatu wajib menyembah-Nya dan pastilah Dia yang waib wujud-Nya lagi Maha Esa.
Bukti kedua adalah akhir kehidupan, yaitu kandungan ayat yang menjelaskan bahwa semua akan kembali kepada Allah untuk menerima ganjaran. Tidak ada yang dapat menanggung dosa orang lain. Jika demikian, Dia adalah Pemilik dan Penguasa mutlak, dan karena itu hari kiamat pasti datang dan pengabdian harus tertuju kepada-Nya semata.
Bukti ketiga adalah dilebihkan dan direndahkan sebagian hal pada seseorang. Hal itu guna untuk menguji siapa yang taat dan siapa yang engkar. Tentu saja tidak sama ganjaran bagi orang yang bertakwa dan orang yang durhaka. Kehidupan dunia sering tidak memberikan ganjaran dan sanksi yang tuntas dan seimbang. Untuk itu, pasti ada hari kemudian untuk menuntaskan ganjaran itu.

F. Penutup
Benar ungkapan Allah yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik (Q.S. al-Tin/ 95: 4). Tidak ada makhluk lain yang diciptakan oleh Allah yang sama dengan manusia. Penciptaan yang terbaik itu tidak hanya terkait dengan fisik saja, tapi juga dengan potensi-potensi lainnya. Ada banyak potensi diberikan kepada manusia yang tidak semuanya diberikan kepada makhluk lain.
Pemberian potensi itu menjadikan manusia dikenakan tanggung jawab baik secara pribadi maupun tanggung jawab sosial bersama, baik utnuk kehidupan dunia maupun untuk kehidupan di akhirat.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Ashfahâniy, Al-Râghib, Mufradât Alfâz al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Shofwân ‘Adnân Dâwûdiy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2009), cet. ke-4
Al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Hisyâm Syamîr al-Bukhâriy), (Riyadh: Dâr ‘Âlim al-Kutub, 2003)
Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn, al-Dur al-Mantsûr, (Beirut: Dâr al-FIkr, 1993)
Al-Wâhidiy, Abû Hasan ‘Aliy bin Ahmad, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, t.th.)
Al-Zamakhsyariy, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (naskah di-tahqîq oleh ‘Abd al-Razzâq al-Mahdiy), (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.th.)
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979), cet. Ke-2
Ibn Manzhûr, Abû al-Fadhl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, 1990)
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001)



* Makalah disajikan sebagai pengantar diskusi mata kuliah Tafsir 1 pada STAI Balai Selasa.
** Penulis adalah dosen mata kuliah Tafsir 1 pada STAI Balai Selasa.
[1] Abû al-Fadhl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manzhûr al-Afrîqî al-Mishrî, (selanjutnya ditulis Ibnu Manzhûr), Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, 1990), juz ke-37, h. 3433.
[2] Al-Râghib al-Ashfahâniy, Mufradât Alfâz al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Shofwân ‘Adnân Dâwûdiy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2009), cet. ke-4, h. 640. 
[3] Hadis lain yang semakna namun berbeda redaksinya juga dikemukakan oleh Al-Suyuthi dalam kitab ini yaitu
وأخرج مالك وأبو داود وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه كما تنتج الابل من بهيمة جمعاء هل تحس من جدعاء ؟ قالوا : يا رسول الله أفرأيت من يموت وهو صغير ؟ قال : الله أعلم بما كانوا عاملين
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr, (Beirut: Dâr al-FIkr, 1993), juz ke-6, h. 493.
[4] M. Quraish Shihab, (selanjutnya ditulis Quraish), Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), volume 11, h. 55.
[5] Ibid., h. 56.
[6] Lihat al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Hisyâm Syamîr al-Bukhâriy), (Riyadh: Dâr ‘Âlim al-Kutub, 2003), Juz ke-7, h. 318.
[7] Lihat Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979), cet. Ke-2, h. 156.
[8] Al-Zamakhsyariy, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (naskah di-tahqîq oleh ‘Abd al-Razzâq al-Mahdiy), (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.th.), juz ke-4, h. 763.
[9] Hamka, op.cit., h. 157.
[10] Quraish, op. cit., volume 3, h. 197.
[11] Abû Hasan ‘Aliy bin Ahmad al-Wâhidiy, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, t.th.), h. 157.
[12] Al-Zamakhsyariy, op. cit., juz ke-2, h. 343.
[13] Quraish, op. cit., volume 9, h. 78-79.
[14] Ibid., h. 80.
[15] Ibid., volume 4, h. 361-362.
[16] Ibid., h. 363.

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes