Al-Imam
al-Syafi’i menyebutkan “saya tidak menemukan adanya ulama yang menentang
pendapat yang mengatakan bahwa fungsi hadis tehadap al-qur’an dalam tiga hal.
Pertama, hadis menyebutkan apa yang juga telah disebutkan oleh al-Qur’an.
Kedua, hadis sebagai penjelas terkait dengan ketentuan yang telah disebutkan
al-Qur’an. Ketiga, hadis menyebutkan ketentuan baru yang tidak disebutkan di
dalam al-Qur’an”.
Berikut ini
penjelasan pernyataan al-Syafi’i tersebut, yang saya kutip dari kitab ‘Ilmu Ushul al-Fiqh karya ‘Abd
al-Wahhab Khallaf.
Ada kalanya
hadis berfungsi untuk memperkuat dan mempertegas ketentuan yang ada di dalam al-Qur’an.
Dalam kasus ini
hadis menyebutkan dalil ajaran atau hukum yang juga disebutkan di dalam
al-qur’an. Maka dalam hal ini, ajaran Islam mempunyai dua dalil. Dalil pertama
berasal dari al-Qur’an dan dalil kedua berasal dari sunnah. Banyak contoh terkait
hal ini baik berupa perintah maupun berupa larangan. Berupa perintah misalnya perintah
shalat, zakat, puasa, haji. Atau berupa larangan seperti mempersekutukan Tuhan,
kesaksian palsu, membunuh, dan ketentuan-ketentuan lain yang disebutkan oleh
al-Qur’an yang juga disebutkan oleh sunnah.
Ada kalanya
hadis berfungsi untuk menjelaskan al-Qur’an.
Dalam hal ini
bentuk penjelasan itu ada tiga yaitu merinci ketentuan yang disebutkan di dalam
al-Qur’an secara global, atau menghubungkan keterkaitan hukum/ketentuan yang
ada di dalam al-Qur’an, atau mengkhususkan ketentuan umum yang disebutkan dalam
al-Qur’an.
Dalam kasus
shalat misalnya, al-Qur’an memerintahkan shalat namun tidak menjelaskan ketentuan
pelaksanaan shalat seperti berapa jumlah rakaatnya. Maka dalam hal ini,
ditemukan penjelasan terkait itu di dalam hadis. Begitu juga pelaksanaan ibadah
lainnya seperti puasa, zakat, haji yang tidak dijelaskan dengan rinci
ketentuannya di dalam al-Qur’an. Ketentuan itu ditemukan melalui hadis dari
Rasululah Saw.
Dalam muamalah,
misalnya terkait jual beli. Al-Qur’an menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Hadis Nabi menjelaskan bagaimana ketentuan dan larangan dalam jual beli.
Contoh lain
misalnya adanya larangan memakan bangkai didalam al-Qur’an. Hadis mengkhususkan
jenis bangkai ikan dan belalang yang tidak masuk dalam kategori bangkai yang
haram dimakan.
Ada kalanya
hadis berdiri sendiri menetapkan ketentuan ajaran yang tidak disebutkan di
dalam al-Qur’an.
Maksud berdiri
sendiri adalah bahwa hadis menentukan ketentuan hukum yang tidak ada disebutkan
di dalam al-Qur’an. Di antara contohnya, hadis menyebutkan keharaman memadu
isteri dengan bibinya. Al-Qur’an tidak menyebutkan adanya larangan memadu
isteri dengan bibinya. Larangan al-Qur’an hanya menyebut larangan memadu isteri
dengan saudaranya.
Contoh lain,
hadis menyebutkan keharaman binatang yang bertaring dan bercakar dan adanya
keharaman memakai sutera dan emas bagi laki-laki yang ketentuan itu tidak
disebutkan di dalam al-Qur’an.
Terkait
kemandirian hadis dalam hal menetapkan hukum/atau ajaran yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an, ada juga argumen lain yang mengatakan bahwa sebenarnya ijtihad
Rasullulah Saw. dalam memunculkan ketentuan hukum—yang dikatakan—baru itu
dasarnya juga al-Qur’an. Atau dalam bahasa lain, sebanarnya ketentuan baru yang
disebutkan oleh Rasul itu timbangan/padanan/qiyasnya adalah prinsip dan dasar
ajaran/hukum yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, tidak
pantas kiranya dikatakan bahwa apa ketantuan hukum/ajaran yang disampaikan
oleh Rasul itu berbeda atau bertentangan dengan ajaran/hukum yang disebutkan
Allah di dalam al-Qur’an.
Baca Juga
Post a Comment