Ada dua kelompok ayam. Yang pertama ayam kampung yang dipelihara begitu saja. Pagi dia dilepas oleh tuannya. Sore sebelum magrib dia sudah pulang ke kandang. Dari pagi sampai sore itulah waktu bagi ayam ini untuk mencari makan. Dalam bahasa dan petuah tukang dendang disebutkan “indak mangakeh indak makan” (kalau tidak nyeker, tidak dapat makan) . begitulah kira-kira gambaran ayam ini.
Kelompok kedua adalah ayam pedaging (ayam potong) yang tinggal di kandang dari pagi sampai paginya lagi. Dia tidak pernah keluar kandangnya. Makan dan minumnya diberikan oleh tuannya. Dia hanya tinggal makan dan minum.
Pada suatu kesempatan ayam kampung singgah main dekat kandang ayam potong. Lalu terjadilah dialog singkat penuh makna. Ayam kampung bercerita tentang keluhan dan kesulitan hidupnya. “Alangkah senangnya hidup kalian. Jika ingin makan, tinggal makan. Jika ingin minum, sudah tersedia. Jika malam, tetap terang-benderang. Sewaktu kecil kalian diberi imunisasi. Jika sakit sedikit saja, langsung diberi obat oleh tuan kalian. Ini sangat bertolak belakang dengan perlakuan yang kami terima dari tuan kami. Apakah takdir yang kami terima begitu kejam dan tidak bersahabat dengan kami? Ataukah kami memang terlahir sebagai ayam yang sial dan tidak berguna? Atau mungkin karena warna bulu kita berbeda?”
Mendengar cerita itu, ayam potong menjawab. “Memang betul apa yang kamu sebutkan. Benar¸kami tinggal makan dan minum seenak dan sepuas kami. Betul, kami diberi vaksinasi sewaktu kecil dan jika sakit kami langsung diberi obat. Kami memang tidak kenal kegelapan karena kandang kami diberi penerangan lampu. Tapi tahukah engkau sisi lain dari kehidupan kami? Tahukah engkau betapa rentannya kami terhadap kemungkinan terserang berbagai penyakit? Sadarkah engkau bahwa kamu bisa menikmati alam bebas yang kami tidak pernah alami mulai dari kami ditetaskan sampai kami dipotong? Pernahkah engkau merasakan betapa panasnya di dalam kandang ini di siang hari? Pernahkah terpikir olehmu baru berusia dua puluh hari sudah dipotong?”
Mendengar komentar dan pertanyaan yang disampaikan oleh ayam potong itu, ayam kampung langsung tersentak dan tidak bias berbicara apa-apa. Dia hanya diam seraya pulang ke komunitasnya dengan penuh empati berbalut kesedihan jika mengingat nasib yang ditimpa oleh ayam potong. Dalam hal itu ayam kampung tidak lupa bersyukur dengan nasib dan “takdir” yang ditimpakan kepadanya.
_______
Cerita ini disampaikan oleh seorang nelayan tua di Korong Ujung Labung Kecamatan Batang Gasan Kabupaten Padang Pariaman. Cerita ini bukan hanya sekedar cerita biasa atau sekedar dongeng sebelum tidur. Cerita ini penuh makna. Bapak nelayan ini menyampaikan ceritanya ketika saya tanya tentang profesinya yang melaut dari kecil sampai sekarang dia tua. Mengapa betah dengan profesi melaut? Bukankah ada juga pekerjaan lain yang lebih banyak mendatangkan uang ataupun setidaknya lebih sedikit resikonya. Sang Bapak menjawab hanya dengan cerita ini.
Kira-kira cerita ini sudah menjawab pertanyaan saya, anda dan kita semua tentang sesuatu yang kita pandang buruk pada diri kita dan mungkin baik pada orang lain. Ternyata sisi pandang kita itu tidak selamanya betul jika kita bandingkan dengan sisi pandang orang lain. Terkadang kita hanya bisa melihat sisi baik ataupun “sesuatu yang enak, enteng dan mudah” yang ada pada orang lain bersamaan dengan melihat sisi buruk atau “sesuatu yang dianggap “tidak enak, berat, susah” dan sebagainya yang ada pada diri kita. Kita kadang lupa dengan sisi positif dan kelebihan yang ada pada diri kita bersamaan dengan tidak memandang resiko dan tantangan yang harus dihadapi oleh orang lain.
Kelompok kedua adalah ayam pedaging (ayam potong) yang tinggal di kandang dari pagi sampai paginya lagi. Dia tidak pernah keluar kandangnya. Makan dan minumnya diberikan oleh tuannya. Dia hanya tinggal makan dan minum.
Pada suatu kesempatan ayam kampung singgah main dekat kandang ayam potong. Lalu terjadilah dialog singkat penuh makna. Ayam kampung bercerita tentang keluhan dan kesulitan hidupnya. “Alangkah senangnya hidup kalian. Jika ingin makan, tinggal makan. Jika ingin minum, sudah tersedia. Jika malam, tetap terang-benderang. Sewaktu kecil kalian diberi imunisasi. Jika sakit sedikit saja, langsung diberi obat oleh tuan kalian. Ini sangat bertolak belakang dengan perlakuan yang kami terima dari tuan kami. Apakah takdir yang kami terima begitu kejam dan tidak bersahabat dengan kami? Ataukah kami memang terlahir sebagai ayam yang sial dan tidak berguna? Atau mungkin karena warna bulu kita berbeda?”
Mendengar cerita itu, ayam potong menjawab. “Memang betul apa yang kamu sebutkan. Benar¸kami tinggal makan dan minum seenak dan sepuas kami. Betul, kami diberi vaksinasi sewaktu kecil dan jika sakit kami langsung diberi obat. Kami memang tidak kenal kegelapan karena kandang kami diberi penerangan lampu. Tapi tahukah engkau sisi lain dari kehidupan kami? Tahukah engkau betapa rentannya kami terhadap kemungkinan terserang berbagai penyakit? Sadarkah engkau bahwa kamu bisa menikmati alam bebas yang kami tidak pernah alami mulai dari kami ditetaskan sampai kami dipotong? Pernahkah engkau merasakan betapa panasnya di dalam kandang ini di siang hari? Pernahkah terpikir olehmu baru berusia dua puluh hari sudah dipotong?”
Mendengar komentar dan pertanyaan yang disampaikan oleh ayam potong itu, ayam kampung langsung tersentak dan tidak bias berbicara apa-apa. Dia hanya diam seraya pulang ke komunitasnya dengan penuh empati berbalut kesedihan jika mengingat nasib yang ditimpa oleh ayam potong. Dalam hal itu ayam kampung tidak lupa bersyukur dengan nasib dan “takdir” yang ditimpakan kepadanya.
_______
Cerita ini disampaikan oleh seorang nelayan tua di Korong Ujung Labung Kecamatan Batang Gasan Kabupaten Padang Pariaman. Cerita ini bukan hanya sekedar cerita biasa atau sekedar dongeng sebelum tidur. Cerita ini penuh makna. Bapak nelayan ini menyampaikan ceritanya ketika saya tanya tentang profesinya yang melaut dari kecil sampai sekarang dia tua. Mengapa betah dengan profesi melaut? Bukankah ada juga pekerjaan lain yang lebih banyak mendatangkan uang ataupun setidaknya lebih sedikit resikonya. Sang Bapak menjawab hanya dengan cerita ini.
Kira-kira cerita ini sudah menjawab pertanyaan saya, anda dan kita semua tentang sesuatu yang kita pandang buruk pada diri kita dan mungkin baik pada orang lain. Ternyata sisi pandang kita itu tidak selamanya betul jika kita bandingkan dengan sisi pandang orang lain. Terkadang kita hanya bisa melihat sisi baik ataupun “sesuatu yang enak, enteng dan mudah” yang ada pada orang lain bersamaan dengan melihat sisi buruk atau “sesuatu yang dianggap “tidak enak, berat, susah” dan sebagainya yang ada pada diri kita. Kita kadang lupa dengan sisi positif dan kelebihan yang ada pada diri kita bersamaan dengan tidak memandang resiko dan tantangan yang harus dihadapi oleh orang lain.