Hari raya Idul Adha tahun 2012 ini bertepatan dengan hari Jum'at. Terkait hal ini ada keterangan dari Rasul SAW. Postingan ini bermaksud mengetengahkan hadis tersebut disertai dengan kualitas dan pemahamannya.
Ada beberapa riwayat yang terkait dengan
pembahasan ini, di antaranya :
1. Hadits Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى، وَعُمَرُ بْنُ حَفْصٍ الْوَصَّابِيُّ الْمَعْنَى،
قَالَا: حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ الْمُغِيرَةِ
الضَّبِّيِّ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ: " قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ
أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Al-Mushaffaa dan ‘Umar bin Hafsh Al-Washaabiy secara makna, mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami Baqiyyah : Telah menceritakan kepada
kami Syu’bah, dari Al-Mughiirah Adl-Dlabbiy, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’,
dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda : “Pada hari ini telah berkumpul dua hari raya
pada kalian. Maka barangsiapa yang ingin, maka tidak ada kewajiban Jum’at
baginya. Karena sesungguhnya kita telah dikumpulkan” [Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 1073].
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Maajah no. 1311,
Al-Haakim 1/288, Al-Baihaqiy 3/318 no. 6288, Ibnul-Jaarud dalam Al-Muntaqaa 1/260
no. 302, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 3/190 no.
1155, Al-Faryaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedain hal. 211 no. 150,
Al-Baihaqiy 3/318, dan yang lainnya; semuanya dari jalan Baqiyyah bin Al-Waliid
yang selanjutnya seperti riwayat di atas.
Sanad riwayat ini adalah lemah, karena ‘an’anah Al-Mughiirah
bin Miqsam Adl-Dlabbiy. Meskipun tsiqah, ia termasuk mudallis pada
martabat ketiga [Thabaqaatul-Mudallisiinhal. 112 no. 107].
Al-Mughiirah dalam periwayatan dari
‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’ mempunyai mutaabi’ dari :
a. Ziyaad
bin ‘Abdillah Al-Bakaa’iy.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 4/140
dan dari jalannya Al-Baihaqiy 3/318 no. 6287 : Telah menceritakan kepada kami
Ishaaq bin Ibraahiim bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Abi Samiinah : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin ‘Abdillah, dari
‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah secara marfuu’.
Sanad riwayat ini layyin, dengan
sebab Ziyaad bin ‘Abdillah. Ia tsabt dalam riwayat Ibnu
Ishaaq, dan lain dalam riwayat selainnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 346
no. 2096].
b. Abu
Bakr bin ‘Ayyaasy.
Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Al-Afraad (أ/322) dari jalan Abu
Bilaal Al-Asy’ariy, dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’,
selanjutnya seperti di atas.[1]
Sanad riwayat ini lemah dengan sebab
kelemahan Abu Bilaal Al-Asy’ariy [Lisaanul-Miizaan,
8/26-27 no. 7647].
Diriwayatkan secara mursal oleh
‘Abdurrazzaaq no. 5728, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 3/191
no. 1156, dan Al-Baihaqiy 3/318 no. 6289; semuanya dari jalan Ats-Tsauriy, dari
‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’, dari Abu Shaalih secara mursal.
Sanad riwayat ini mursal shahih.
Sebagian ulama ada yang merajihkan riwayat mursal ini
daripada yang maushuul, seperti Ad-Daaruquthniy rahimahullah.
Ia (Ad-Daaruquthniy) mengatakan bahwa selain Ats-Tsauriy, ada beberapa perawi
lain yang meriwayatkan dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’ dari Abu Shaalih secara mursal;
di antaranya : Abu ‘Awaanah, Zaaidah (bin Qudaamah), Syariik, Jariir bin
‘Abdil-Hamiid, dan Abu Hamzah As-Sukriy [Al-‘Ilal, 10/215-217 no. 1984].
Al-Khathiib meriwayatkan dengan sanadnya dari
Ahmad bin Hanbal rahimahumallahbahwa ia mengingkari riwayat
Baqiyyah bin Al-Waliid dari Syu’bah di atas, dan mengisyaratkan tarjiih-nya
atas riwayat mursal [Taariikh Baghdaad, 4/218].
Yang raajih dari riwayat ini
– wallaahu a’lam – adalah mursal.[2]
2. Hadits Zaid
bin Arqaam radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
الْمُغِيرَةِ، عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ
الشَّامِيِّ، قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ
زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ، قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ:
فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ،
فَقَالَ: " مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Katsiir : Telah mengkhabarkan kepada kami Israaiil : Telah menceritakan kepada
kami ‘Utsmaan bin Al-Mughiirah, dari Iyaas bin Abi Ramlah Asy-Syaamiy, ia
berkata : Aku pernah menyaksikan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan bertanya kepada
Zaid bin Arqam. Ia (Mu’aawiyyah) berkata : “Apakah engkau pernah meyaksikan dua
hari raya berkumpul dalam satu hari bersama Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?”. Zaid menjawab : “Ya”. Mu’aawiyyah berkata : “Apa
yang beliau perbuat ?”. Zaid berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam shalat, kemudian memberikan keringanan (rukhshah) dalam
shalat Jum’at. Beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang ingin shalat, hendaklah
ia shalat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1070].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy no. 1591
dan dalam Al-Kubraa no. 1804, Ibnu Maajah no. 1310, Ibnu Abi
Syaibah 2/188 (4/244-245) no. 5896, Ad-Daarimiy no. 1654, Ahmad 4/372 (32/68)
no. 19318, Ibnu Khuzaimah no. 1464, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykiilil-Aatsaar 3/186 no. 1153, Al-Haakim 1/288, Al-Baihaqiy 3/317
no. 6286, dan yang lainnya; semuanya dari jalan Israaiil, selanjutnya seperti
hadits di atas.
Sanad hadits ini lemah dikarenakan kemajhulan
Iyaas bin Abi Ramlah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 156 no. 592].
3. Atsar
‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhu.
Ada dua jalan periwayatan darinya :
a. Wahb
bin Kaisaan rahimahullah.
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قال: حَدَّثَنَا يَحْيَى، قال: حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، قال: حَدَّثَنِي وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ، قال: "
اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى
تَعَالَى النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ
فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ، فَذُكِرَ ذَلِكَ
لِابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin
Basysyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Wahb bin Kaisaan, ia berkata : “Telah berkumpul dua hari
raya di jaman Ibnuz-Zubair, lalu ia mengakhirkan keluar (untuk mengimami
manusia) hingga hari meninggi. Lalu ia keluar dan berkhuthbah dengan
memanjangkan khuthbahnya. Kemudian ia turun (dari mimbar) lalu melaksanakan
shalat. Pada waktu itu, orang-orang tidak melaksanakan shalat Jum’at. Lalu hal
itu disebutkan kepada Ibnu ‘Abbaas, dan ia berkata : “Ia telah melakukan sesuai
dengan sunnah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1580].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no.
1807, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2181, Ibnu Khuzaimah
2/359-360 no. 1465, Al-Faakihiy dalamAkhbaar Makkah no. 1779, dan
Al-Haakim 1/296; semuanya dari jalan ‘Abdul-Hamiid bin Ja’far, selanjutnya
seperti riwayat di atas.
Sanad riwayat ini shahih.
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dibawakan dengan
lafadh :
..... فَخَطَبَ وَأَطَالَ، ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ، وَلَمْ يُصَلِّ الْجُمُعَةَ فَعَابَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ بَنِي
أُمَيَّةَ ابْنِ عَبْدِ شَمْسٍ، فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: أَصَابَ
ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ، وَبَلَغَ ابْنَ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ: "
رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ إِذَا اجْتَمَعَ
عِيدَانِ صَنَعَ مِثْلَ هَذَا
“...... Lalu ia (Ibnuz-Zubair) berkhuthbah
dan memanjangkan khuthbahnya itu. Kemudian shalat dua raka’at (‘Ied) tanpa
mengerjakan shalat Jum’at (setelahnya). Orang-orang dari kalangan Bani Umayyah
bin ‘Abdi Syams pun mencelanya. Sampailah hal itu kepada Ibnu ‘Abbaas, lalu ia
berkata : ‘Ibnu Zubair telah melakukan sesuai dengan sunnah’. Dan sampailah hal
itu juga kepada Ibnuz-Zubair, lalu ia berkata : “Aku telah melihat ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ta’ala ‘anhu apabila berkumpul dua
hari raya, melakukan semisal dengan ini” [selesai].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah kemudian
berkata :
قَوْلُ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَصَابَ ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ، يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ
سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَائِزٌ أَنْ يَكُونَ
أَرَادَ سُنَّةَ أَبِي بَكْرٍ، أَوْ عُمَرَ، أَوْ عُثْمَانَ، أَوْ عَلِيٍّ، وَلا
أَخَالُ أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ أَصَابَ السُّنَّةَ فِي تَقْدِيمِهِ الْخُطْبَةَ قَبْلَ
صَلاةِ الْعِيدِ، لأَنَّ هَذَا الْفِعْلَ خِلافُ سُنَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَإِنَّمَا أَرَادَ تَرْكَهُ أَنْ
يَجْمَعَ بِهِمْ بَعْدَمَا قَدْ صَلَّى بِهِمْ صَلاةَ الْعِيدِ فَقَطْ دُونَ
تَقْدِيمِ الْخُطْبَةِ قَبْلَ صَلاةِ الْعِيد
“Perkataan Ibnu ‘Abbaas : ‘Ibnuz-Zubair
telah melakukan sesuai sunnah’, dibawa pada maksud sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Dan boleh juga dibawa bahwa maksudnya adalah sunnah Abu
Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, atau ‘Aliy. Namun tidak boleh disangkakan bahwa yang
dimaksudkan dengannya (dari perkataan Ibnu ‘Abbaas) adalah sesuai dengan sunnah
dalam mendahulukan khuthbah sebelum shalat ‘Ied, karena perbuatan ini
menyelisihi sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr,
dan ‘Umar. Yang dimaksud dengan sunnah oleh Ibnu ‘Abbaas hanyalah perbuatan
Ibnuz-Zubair meninggalkan mengumpulkan manusia setelah ia shalat bersama
(mengimami) mereka untuk shalat ‘Ied saja, bukandalam permasalahan
mendahulukan khuthbah sebelum shalat ‘Ied” [Shahiih Ibni Khuzaimah 2/360].
Apa yang dikatakan Ibnu Khuzaimah rahimahullah adalah
benar, karena Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mendahulukan khuthbah sebelum shalat.
Perkataan Ibnuz-Zubair yang menyatakan ia
pernah melihat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhum melakukan
semisal yang ia lakukan, adalah terkait dengan pengguguran shalat Jum’at dengan
berkumpulnya dua hari raya, bukan dalam mendahulukan khuthbah sebelum shalat.
Hal itu dikarenakan pelaksanaan ‘Ied oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu adalah mendahulukan shalat sebelum khuthbah sebagaimana riwayat
:
عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ، قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيدَ
مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ النَّاسَ،
فَقَالَ: إِنَّ هَذَيْنِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَالْآخَرُ
يَوْمٌ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ. قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: ثُمَّ شَهِدْتُ
الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ
وَقَالَ: إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ
أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ، فَلْيَنْتَظِرْهَا
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ، قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: ثُمَّ
شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَعُثْمَانُ مَحْصُورٌ
فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ
Dari Ibnu Syihaab, dari Abu ‘Ubaid maulaa
Ibni Az-har, ia berkata : Aku pernah menghadiri ‘Ied bersama ‘Umar bin
Al-Khaththaab, lalu ia shalat. Setelah itu ia berpaling, lalu berkhuthbah
kepada manusia dan berkata : “Sesungguhnya dua hari ini telah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam larang untuk berpuasa padanya. Yang pertama adalah
hari dimana kalian berbuka dari puasa kalian (‘Iedul-Fithri), dan yang
lain adalah hari dimana kalian makan sembelihan kalian”. Abu ‘Ubaid berkata :
“Kemudian aku menghadiri ‘Ied bersama ‘Utsmaan bin ‘Affaan. Ia pun datang, lalu
melaksanakan shalat. Setelah selesai, ia berpaling lalu berkhuthbah. Ia berkata
: “Sungguh Pada hari ini telah berkumpul dua hari raya pada kalian. Barangsiapa
dari kalangan orang-orang yang jauh tempat tinggalnya ingin menunggu shalat
Jum’at, hendaknya ia menunggu. Dan barangsiapa ingin pulang, maka aku izinkan
baginya”. Abu ‘Ubaid berkata : “Kemudian aku juga pernah menghadiri ‘Ied
bersama ‘Aliy bin Abi Thaalib ketika ‘Utsmaan dikepung (oleh kawanan
pemberontak). Ia (‘Aliy) datang, lalu shalat. Setelah selesai, ia berpaling
lalu berkhuthbah” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’(tahqiiq
: Al-Hilaaliy) 2/87-89 no. 471-473; shahih].
Kembali ke riwayat Ibnuz-Zubair
sebelumnya......
‘Abdul-Hamiid bin Ja’far dalam periwayatan
dari Wahb bin Kaisaan diselisihi oleh Hisyaam bin
‘Urwah :
حَدَّثَنَا أَبُو
أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ، قَالَ:
" اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي يَوْمٍ، فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ
فَصَلَّى الْعِيدَ بَعْدَمَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ، ثُمَّ دَخَلَ، فَلَمْ يَخْرُجْ
حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ "، قَالَ هِشَامٌ: فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِنَافِعٍ،
أَوْ ذُكِرَ لَهُ فَقَالَ: ذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عُمَرَ فَلَمْ يُنْكِرْهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah,
dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari Wahb bin Kaisaan, ia berkata : “Telah berkumpul
dua hari raya dalam satu hari. Lalu ‘Abdullah bin Az-Zubair melakukan shalat
‘Ied setelah hari beranjak siang. Kemudian ia masuk rumah, dan ia tidak lagi
keluar hingga shalat ‘Ashar”. Hisyaam berkata : “Lalu aku menyebutkan hal itu
kepada Naafi – atau disebutkan hal itu kepadanya - , maka ia berkata :
“Disebutkan hal itu kepada Ibnu ‘Umar, dan ia tidak mengingkarinya”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/187 (4/243) no. 5891].
Sanad riwayat ini shahih. Hisyaam bin ‘Urwah
lebih tsiqah daripada ‘Abdul-Hamiid, dan ia (Hisyaam) termasuk
keluarga Ibnuz-Zubair, pemilik kisah.
Riwayat ini tidak menyebutkan
Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhu mendahulukan khuthbah sebelum
shalat.
Yang nampak – wallaahu a’lam –
riwayat inilah yang benar (mahfuudh). Dikuatkan lagi oleh riwayat :
b. ‘Athaa’
bin Abi Rabbah rahimahullah.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيفٍ الْبَجَلِيُّ، حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ، عَنْ الْأَعْمَشِ،
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، قَالَ: صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي
يَوْمِ عِيدٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رُحْنَا إِلَى
الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا " وَكَانَ
ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ، فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ:
أَصَابَ السُّنَّةَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Thariif Al-Bajaliy : Telah menceritakan kepada kami Asbaath, dari Al-A’masy,
dari ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ia berkata : “Ibnuz-Zubair shalat bersama kami
pada hari ‘Ied yang bertepatan dengan hari Jum’at di awal siang. Kemudian kami
berangkat untuk shalat Jum’at, namun ternyata ia tidak keluar untuk mengimami
kami. Lalu kami pun shalat sendiri. Waktu itu, Ibnu ‘Abbaas berada di Thaaif.
Ketika pulang (ke Madiinah), kami menyebutkan hal itu kepadanya, lalu ia
berkata : ‘Ia telah melakukan sesuai dengan sunnah” [Diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 1071].
Riwayat ini menguatkan pernyataan sebelumnya
bahwa perkataan Ibnu ‘Abbaas tentang perbuatan Ibnuz-Zubair sesuai dengan
sunnah, adalah terkait pengguguran shalat Jum’at. Tidak disebutkan Ibnuz-Zubair radliyallaahu
‘anhumaamendahulukan khuthbah sebelum shalat.
Sanad riwayat ini lemah dengan sebab ‘an’anah Al-A’masy,
karena ia seorang mudallis.[3] Akan
tetapi riwayat ini shahih dengan jalur riwayat Wahb bin Kaisaan di atas, dan
dikuatkan juga oleh riwayat :
ثنا عَمْرُو بْنُ
عَلِيٍّ، ثنا أَبُو عَاصِمٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ: اجْتَمَعَ
يَوْمُ فِطْرٍ وَيَوْمُ جُمُعَةٍ زَمَنَ ابْنِ زُبَيْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ،
فَذُكِرَ ذَلِكَ لابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَصَابَ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin
‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, dari Ibnu Juraij, dari
‘Athaa’, ia berkata : “Telah berkumpul hari ‘Iedul-Fithr dan hari Jum’at di
jaman Ibnu Zubair. Lalu ia shalat dua raka’at. Kemudian, disebutkanlah hal itu
kepada Ibnu ‘Abbaas dan ia berkata : “Ia telah benar” [Diriwayatkan oleh
Al-Faryaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedain hal. 219 no. 153; shahih].
Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 1072
dari jalan Yahyaa bin Khalaf, dari Abu ‘Aashim dengan lafadh :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ:
قَالَ عَطَاءٌ: اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ
الزُّبَيْرِ، فَقَالَ: عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، فَجَمَعَهُمَا
جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى
صَلَّى الْعَصْرَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Khalaf : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, dari Ibnu Juraij, ia
berkata : Telah berkata ‘Athaa’ : “Telah berkumpul hari Jum’at dan hari
‘Iedul-Fithri di jaman Ibnuz-Zubair. Ia (Ibnuz-Zubair) berkata : ‘Dua hari raya
telah berkumpul dalam satu hari’. Lalu ia ia pun menjamaknya dengan melakukan
shalat dua raka’at di waktu pagi. Ia tidak menambahnya hingga ia mengerjakan
shalat ‘Ashar” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1072; shahih].
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq 3/303
no. 5725 tanpa tambahan perkataan dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa seperti riwayat Abu Daawud di atas.
Diriwayatkan juga ‘Abdurrazzaaq 3/303-304 no.
5726 dari jalan Ibnu Juraij (dari Abuz-Zubair, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa) dengan sanad shahih dengan tambahan perkataan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa.
Kesimpulan hukum yang dapat ditarik dari atsar Ibnuz-Zubair radliyallaahu
‘anhu :
· Meskipun
sanadnya mauquuf, namun secara hukum ia adalah marfuu’berdasarkan
perkataan Ibnu ‘Abbaas bahwa perbuatan Ibnuz-Zubair radliyallaahu
‘anhum sesuai dengan sunnah.
· Tidak
benar Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa mendahulukan
khuthbah sebelum shalat, karena ini berasal dari kekeliruan periwayatan
‘Abdul-Hamiid bin Ja’far rahimahullah sebagaimana jalan-jalan
riwayat yang telah disebutkan di atas. Selain itu, juga bertentangan dengan
riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا
حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ
قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا
هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin
Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan. Dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah; keduanya
(Sufyaan dan Syu’bah) dari Qais bin Muslim, dari Thaariq bin Syihaab – dan ini
adalah hadits Abu Bakr - , ia (Thaariq) berkata : Orang pertama yang
berkhutbah pada hari raya (‘Ied) sebelum shalat didirikan adalah Marwan.
Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya : "Shalat (‘Ied)
hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah". Marwan menjawab :
"Sungguh, khutbah ini telah ditinggalkan". Kemudian Abu Sa’iid
berkata : "Adapun orang ini telah menunaikan kewajibannya. Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda
: ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia cegah
dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu
juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman"
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 49].
· Kewajiban
shalat Jum’at gugur apabila dua hari raya (‘Ied dan Jum’at) bertemu. Seseorang
diberikan rukhshah untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at
apabila telah melaksanakan shalat ‘Ied pada hari itu.
· Boleh
bagi seorang imam untuk meninggalkan shalat Jum’at jika sebelumnya telah
dilaksanakan shalat ‘Ied. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan memberitahukan
manusia satu sunnah bahwa kewajiban shalat Jum’at telah gugur dengan dilaksanakannya
shalat ‘Ied.
Namun pada asalnya, tetap dianjurkan bagi
imam untuk menegakkan shalat Jum’at untuk memfasilitasi orang-orang yang hendak
menunaikannya, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dulu
pun tetap menegakkan shalat Jum’at ketika dua hari raya tersebut bertemu,
sebagaimana riwayat :
4. Hadits
An-Nu’maan bin Basyiir radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَإسحاق، جميعا، عَنْ
جَرِيرٍ، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ الْمُنْتَشِرِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ سَالِمٍ مَوْلَى
النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: " كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي
الْجُمُعَةِ بِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ
الْغَاشِيَةِ، قَالَ: وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ
وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ ".
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Yahyaa, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan Ishaaq, semuanya dari Jariir – Yahyaa
berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir - , dari Ibraahiim bin
Muhammad bin Al-Muntasyir, dari ayahnya, dari Habiib bin Saalim maulaa
An-Nu’maan bin Basyiir, dari An-Nu’maan bin Basyiir, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ketika biasa membaca ketika shalat ‘Iedain dan
shalat Jum’at surat sabbihisma rabbikal-a’laa (QS. Al-A’laa)
dan hal ataaka hadiitsul-ghaasyiyyah (QS. Al-Ghaasyiyyah)”.
An-Nu’maan berkata : “Apabila berkumpul ‘Ied dan Jum’at dalam satu hari, maka beliau
membaca kedua surat tersebut dalam dua shalat (yaitu : shalat ‘Ied dan shalat
Jum’at – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 878].
Hadits ini menunjukkan bahwa beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tetap menegakkan shalat Jum’at ketika dua hari raya
berkumpul dalam satu hari.
Penegakan shalat Jum’at oleh imam juga
dilakukan oleh khalifah sepeningal beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
riwayat ‘Utsmaan yang dibawakan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/87-89
no. 471-473 di atas. Juga riwayat dari ‘Aliyradliyallaahu ‘anhu :
5. Atsar ‘Aliy
bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عَنِ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ،
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي يَوْمٍ، فَقَالَ: " مَنْ
أَرَادَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ
"، قَالَ سُفْيَانُ: يَعْنِي يَجْلِسُ فِي بَيْتِهِ
Dari Ats-Tsauriy, dari ‘Abdullah (bin
Syubrumah), dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari ‘Aliy, ia berkata : “Telah
berkumpul dua hari raya dalam satu hari”. ‘Aliy melanjutkan : “Barangsiapa yang
hendak mengumpulkannya (dengan mengerjakan shalat ‘Ied dan shalat Jum’at),
silakan melakukannya. Dan barangsiapa yang ingin duduk, silakan untuk duduk”.
Sufyaan berkata : “Yaitu : duduk di rumahnya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq
no. 5731; shahih].
حَدَّثَنَا أَبُو
الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ:
" اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ عَلِيٍّ فَصَلَّى بِالنَّاسِ،
ثُمَّ خَطَبَ عَلَى رَاحِلَتِهِ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الْعِيدَ، فَقَدْ قَضَى جُمُعَتَهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ "
Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash,
dari ‘Abdul-A’laa, dari Abu ‘Abdirrahmaan, ia berkata : “Telah berkumpul dua
hari raya di jaman ‘Aliy, lalu ia shalat bersama orang-orang. Kemudian ia
berkhuthbah di atas ontanya. Ia berkata : ‘Wahai sekalian manusia, barangsiapa
di antara kalian menyaksikan ‘Ied, sungguh ia telah melaksanakan shalat
Jum’atnya, insya Allah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/187
(4/242) no. 5888].
Riwayat ini lemah dengan sebab ‘Abdul-A’laa
bin ‘Aamir Al-Kuufiy. Akan tetapi ia dikuatkan oleh riwayat sebelumnya.
Tersisa satu pertanyaan :
“Seandainya shalat ‘Ied telah menggugurkan
shalat Jum’atnya, apakah ia masih harus mengerjakan shalat Dhuhur ?”.
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka
berpendapat bahwa shalat ‘Ied otomatis juga menggugurkan shalat Dhuhurnya. Di
antara ulama yang dikatakan berpendapat demikian adalah ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah rahimahullah berdasarkan
riwayat yang telah disebutkan di atas bahwa Ibnuz-Zubair radliyallaahu
‘anhu tidak menambahkan shalat (setelah pelaksanaan ‘Ied) hingga
shalat ‘Ashar. Alasan lain, kewajiban pokok pada hari Jum’at adalah shalat
Jum’at, dan shalat Dhuhur adalah penggantinya (bagi yang tidak melaksanakan
shalat Jum’at). Jika yang pokok telah gugur, maka penggantinya pun otomatis
gugur.
Ulama lain berpendapat bahwa kewajiban yang
gugur hanyalah shalat Jum’atnya saja, dan ia tetap harus mengerjakan shalat
Dhuhur (jika tidak mengerjakan shalat Jum’at).Pendapat inilah yang raajih. Dalil
mereka dan sekaligus jawaban terhadap pendapat pertama adalah sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah ta’ala :
أَقِمِ الصَّلاةَ
لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ
الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh.
Sesungguhnya salat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)” [QS.
Al-Israa’ : 78].
Ayat di atas telah menjelaskan waktu-waktu
shalat secara global. Firman Allah ta’ala {لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ} ‘dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam’; mengandung empat macam waktu
shalat, yaitu Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’. Dan kemudian ditambah satu
lagi dengan kelanjutannya : {وَقُرْآنَ الْفَجْرِ} ‘dan Qur’aanal-Fajr’ –
yaitu waktu Fajar/Shubuh.
Oleh karena itu, yang menjadi asal/pokok
kewajiban adalah shalat Dhuhur. Barangsiapa yang luput mengerjakan shalat
Jum’at, ia tetap wajib mengerjakan shalat Dhuhur. Shalat ‘Ied sendiri hukumnya
hanyalah sunnah muakkadah saja menurut pendapat yang shahih. Jika demikian,
bagaimana shalat sunnah dapat menggugurkan shalat wajib (shalat Jum’at dan
Dhuhur sekaligus) ?.
Kedua : Dalil-dalil yang berbicara tentang berkumpulnya
dua hari raya di atas hanyalah menyatakan penguguran kewajiban menghadiri
shalat Jum’at saja. Tidak ada satu pun yang menyatakan adanya pengguguran
kewajiban shalat Dhuhur.
Ketiga : Tidak ada riwayat shahih dan sharih dari
salaf yang menyatakan adanya pengguguran shalat Dhuhur dan shalat Jum’at
sekaligus ketika telah dilakukan shalat ‘Ied. Bahkan ‘Athaa’ sendiri
mengerjakan shalat Dhuhur :
عَنْ عَطَاءِ بْنِ
أَبِي رَبَاحٍ، قَالَ: صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي
يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ
يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا " وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ
بِالطَّائِفِ، فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: أَصَابَ
السُّنَّةَ
Dari ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ia berkata :
“Ibnuz-Zubair shalat bersama kami pada hari ‘Ied yang bertepatan dengan hari
Jum’at di awal siang. Kemudian kami berangkat untuk shalat Jum’at, namun
ternyata ia tidak keluar untuk mengimami kami. Lalu kami pun shalat sendiri.
Waktu itu, Ibnu ‘Abbaas berada di Thaaif. Ketika pulang (ke Madiinah), kami
menyebutkan hal itu kepadanya, lalu ia berkata : ‘Ia telah melakukan sesuai
dengan sunnah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1071].
Perkataan ‘kami pun shalat sendiri’
menunjukkan ia tetap mengerjakan shalat Dhuhur, karena pada waktu itu, shalat
Jum’at tidak didirikan.
Keempat :
Pernyataan bahwa Ibnuz-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa tidak
menambahkan shalat hingga shalat ‘Ashar didasarkan fakta bahwa ‘Athaa’ tidak
melihat Ibnuz-Zubair keluar rumah mengimami manusia, sebagaimana terdapat dalam
riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/187 (4/243) no. 5891 di atas. Namun, menyimpulkan
fakta ini sebagai dalil Ibnuz-Zubair tidak mengerjakan shalat Dhuhur terlalu
lemah, karena bukan mustahil Ibnuz-Zubair mengerjakan shalat Dhuhur di rumah
sehingga tidak diketahui 'Athaa' rahimahullah.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah ketika
ditanya apakah ‘Ied juga otomatis menggugurkan shalat Dhuhur, beliau menjawab :
الصواب في ذلك أنه
يجب عليه إما صلاة الجمعة مع الإمام، لأن الإمام سوف يقيم الجمعة، وإما صلاة
الظهر؛ لأن عموم قوله تعالى: {أقم الصّلوٰة لدلوك الشّمس إلىٰ غسق الّيل وقرءان
الفجر إنّ قرءان الفجر كان مشهوداً} (يعني لزوالها)، {إلىٰ غسق الّيل وقرءان الفجر
إنّ قرءان الفجر كان مشهوداً} يتناول يوم العيد الذي وافق يوم الجمعة.
وعلى هذا فيجب على
المرء إذا صلى مع الإمام يوم العيد الذي وافق يوم الجمعة، يجب عليه إما أن يحضر
إلى الجمعة التي يقيمها الإمام، وإما أن يصلي صلاة الظهر، إذ لا دليل على سقوط
صلاة الظهر، والله تعالى يقول: {أقم الصّلوٰة لدلوك الشّمس إلىٰ غسق الّيل وقرءان
الفجر إنّ قرءان الفجر كان مشهوداً}، والظهر فرض الوقت وقد قال النبي صلى الله
عليه وسلم: "وقت الظهر إذا زالت الشمس".
“Yang benar tentang hal tersebut, tetap wajib
baginya, apakah ia mengerjakan shalat Jum’at bersama imam karena imam akan
menegakkan shalat Jum’at; atau ia mengerjakan shalat Dhuhur, karena keumuman
firman-Nya ta’ala : ‘Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh.
Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)’ (QS.
Al-Israa’ : 78), yaitu : setelah tergelincirnya matahari. ‘Sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu
disaksikan (oleh malaikat)’; mencakup hari ‘Ied yang bertepatan dengan hari
Jum’at.
Oleh karena itu, wajib bagi seseorang pada
hari ‘Ied yang bertepatan dengan hari Jum’at, wajib baginya apakah ia
menghadiri shalat Jum’at yang ditegakkan oleh imam, ataukah mengerjakan shalat
Dhuhur karena tidak ada dalil yang menyatakan gugurnya shalat Dhuhur. Dan Allah ta’ala berfirman
: ‘Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya salat shubuh itu disaksikan
(oleh malaikat)’ (QS. Al-Israa’ : 78). Dhuhur adalah waktu yang wajib
(untuk shalat). Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda : ‘Waktu Dhuhur adalah ketika matahari mulai tergelincir”
[sumber : http://ar.islamway.com/fatwa/18682].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[2] Adapun ulama yang
menshahihkan riwayat ini antara lain Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalamShahiih
Sunan Abi Daawud 1/296 dan Asy-Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwainiy dalam Ghautsul-Makduud 1/260-261.
Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/10/jika-ied-dan-jumat-bertemu.html#more dengan Bahan bacaan : Tanwiirul-‘Ainain oleh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, Subulus-Salaam oleh Ash-Shan’aniy, dan yang lainnya].
sumber gambar: indonesian.irib.ir
sumber gambar: indonesian.irib.ir