Ini adalah kisah nyata yang saya
temui beberapa hari yang lalu saat ikut shalat berjamaah di sebuah mushalla.
Ketika saya sampai di mushalla, ternyata imam sedang duduk tahiyat pertama.
Artinya, imam berada dalam rakaat kedua. Saya yang terlambat langsung mengambil
shaf dan berencana mengikuti imam yang sedang duduk tahiyat awal. Belum jadi
saya takbiratul ihram, anehnya ma’mum di samping saya yang tadinya juga
ikut imam ternyata berdiri. Saya yang belum jadi takbir melihat saja tingkah si
ma’mum ini. Ternyata, setelah berdiri beberapa saat orang ini langsung rukuk,
i’tidal, dan sujud. Asumsi saya, si ma’mum ini sedang mengejar imam. Lalu saya
putuskan untuk berdiri di sisi shaf yang lain untuk shalat dan mengikuti imam.
Pembaca semua mungkin sudah
mengerti apa yang saya maksud dengan kata “mengejar”. Mengejar di sini bukan
dalam artian imam lari lalu dikejar oleh ma’mum. Kata mengejar di sini dalam
artian sedang shalat, ada ma’mum yang telambat (masbuq) lalu ikut shalat
berjamaah dan mengejar keterlambatannya sendiri tanpa mengikuti imam.
Dari kejadian ini mungkin banyak
pertanyaan yang kita munculkan. Di antaranya, bagaimana ketentuan mengikuti
imam dalam shalat? Jika kita terlambat dan mendapati imam sedang duduk tahiyat
awal misalnya, apa yang seharusnya kita lakukan? Kita takbir dan langsung
mengikuti imam, atau harus mengejar ketertinggalan kita? Bagaimana cara menilai
satu rakaat yang kita ikuti dengan imam jika kita adalah ma’mum yang terlambat?
Berikut ini saya ketengahkan
beberapa hadis Nabi SAW yang saya kutip dari Fiqh al-Sunnah karya Sayyid
Sabiq.[1]
Ketentuan mengikuti imam
Dalam shalat berjama’ah, wajib
hukumnya ma’mum mengikuti imam dan tidak boleh mendahului imam.
Hadis dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda
إنما
جعل الإمام ليؤتم به, فلا تختلف عليه. فإذا كبر فكبروا, وإذا ركع فركعوا, وإذا قال
سمع الله لمن حمده فقولوا أللهم ربنا لك الحمد, وإذا سجد فسجدوا, وإذا صلى قاعدا
فصلوا قعودا أجمعون
“Dijadikannya seseorang yang
memimpin shalat menjadi imam agar diikuti. Maka jangan kalian berbeda
dengannya! Apabila imam takbir, maka kalian juga harus takbir; apabila imam
rukuk, maka kalian juga rukuk; apabila imam membaca sami’allahu liman
hamidah, maka bacalah Allahumma Rabbana Laka al-Hamdu; apabila imam
sujud, maka kalian harus ikut sujud; dan apabila imam duduk, maka kalianpun
harus duduk”. (H.R. Syaikhani)
Sementara dalam riwayat Ahmad dan
Abu Dawud disebutkan
إنما
الإمام ليؤتم به. فإذا كبر فكبروا, ولا تكبروا حتى يكبر. وإذا ركع فركعوا, ولا
تركعوا حتى يركع. وإذا سجد فسجدوا, ولا تسجدوا حتى يسجد
“Sesungguhnya imam itu untuk
diikuti. Apabila imam takbir, maka kalian juga harus takbir. Jangan kalian
takbir sebelum imam melakukan takbir! Apabila imam rukuk, maka kalian juga
harus rukuk. Jangan melakukan rukuk sebelum imam melakukan rukuk! Apabila imam
sujud, maka kalian harus ikut sujud. Jangan kalian sujud sebelum imam melakukan
sujud!” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadis lain dari Abu Hurairah R.A.
ia berkata bahwa Rasulullah bersabda
أما
يخسى أحدكم إذا رفع رأسه قبل الإمام أن يحول الله رأسه رأس حمار أو يحول الله
صورته صورة حمار
“Apakah kalian yang mengangkat kepalanya sebelum imam tidak
takut jika kepala kalian diganti Allah dengan kepala onta? Atau bentuk kalian
diganti Allah dengan bentuk onta?” (H.R. Jama’ah ahli hadis).
Dari Anas Rasulullah SAW bersabda
أيها
الناس, إني إمامكم فلا تسبقوني بالركوع ولا بالسجود ولا بالقيام ولا بالقعود ولا
بالانصراف
“Wahai manusia! Sesungguhnya saya ini adalah imam kalian. Maka
janganlah kalian mendahului saya saat rukuk, sujud, berdiri, duduk, dan jangan
berpaling atau merubah gerakan shalat!” (H.R. Ahmad dan Muslim).
Diriwayatkan dari al-Barra’ ibn
‘Azib, dia berkata
كنا
نصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم فإذا قال سمع الله لمن حمده لم يحن أحد منا ظهره
حتى يضع النبي صلى الله عليه وسلم جبهته على الأرض
“Pada saat kami shalat bersama Nabi SAW, apabila nabi membaca sami’allahu
liman hamidahu, tidak seorangpun di antara kami yang membungkukkan
punggungnya sebelum nabi meletakkan dahinya di tempat sujud” (H.R. Jama’ah Ahli
Hadis)
Hadis pertama menyebutkan secara
tegas bahwa imam itu untuk diikuti oleh ma’mum. Bahkan, hadis kedua menyebutkan
tidak boleh mendahului imam. Hadis ketiga menyebutkan adanya ancaman Nabi bagi
mereka yang mendahului imam. Bahkan secara tegas pada hadis keempat Nabi SAW
melarang ma’mum mendahuluinya. Hadis kelima menceritakan bagaimana perilaku
sahabat saat shalat berjamaah bersama Nabi SAW. Pada kelima tersebut disebutkan
setelah selesai ruku’ dan akan sujud, tidak seorangpun di antara para sahabat
yang membungkukkan punggungnya untuk sujud sebelum nabi meletakkan dahinya di
tempat sujud.
Dari beberapa hadis di atas
dipahami bahwa dalam shalat berjama’ah wajib hukumnya mengikuti imam. Ulama
sepakat mengatakan batal shalat ma’mum yang mendahului imam saat takbiratul
ihram dan salam. Selain takbiratul ihram dan salam,
ulama berbeda pendapat menilainya. Di antaranya pendapat Imam Ahmad yang
mengatakan batal shalat ma’mum yang mendahului imam dalam gerakan apapun.
Sedangkan jika gerakan ma’mum serentak dengan imam dianggap makruh.
Ma’mum yang Masbuk dan Cara Penghitungan
Satu Rakaat
Siapa yang datang terlambat dalam
shalat (ma’mum yang masbuq) hendahlah melakukan takbiratul ihram
dalam keadaan berdiri, lalu mengikuti imam dalam keadaan apa imam didapatinya. Dia
tidak dihitung sebagai satu raka’at, kalau tidak mengikuti imam dalam keadaan
imam rukuk. Hitungan mendapatkan rukuk ini minimal sampainya tangan ma’mum di
lututnya sebelum imam melakukan i’tidal.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia
berkata, Rasulullah bersabda
إذا
جئتم إلى الصلاة و نحن سجود فاسجدوا ولا تعدوه شيئا ومن أدرك الركعة فقد أدرك
الصلاة
“Apabila kalian menghadiri shalat berjama’ah sementara menemukan
kami sedang sujud, maka hendaklah kalian juga ikut sujud, dan jangan dihitung
itu satu raka’at! Siapa yang rukuk bersama imam berarti dihitung satu rakaat
shalat”. (H.R. Abu Dawud, Ibn Khuzaimah, al-Hakim) hadisnya shahih.
Jadi seorang ma’mum yang masbuk
hendaklah melakukan apapun gerakan shalat yang dilakukan imam. Apabila ma’mum
yang masbuq menemukan imam sedang berdiri, maka ma’mum yang masbuq
ini hendaklah bertakbiratul ihram lalu ikut berdiri. Jika didapati imam sedang
rukuk, maka ma’mum yang masbuq hendaklah melakukan takbiratul ihram
lalu ruku’ bersama imam. Dalam dua kondisi ini shalatnya ma’mum dihitung
mendapatkan satu rakaat bersama imam.
Namun, jika seorang ma’mum yang masbuq
menemukan imam sedang i’tidal, maka ma’mum yang masbuq ini hendaklah
bertakbiratul ihram lalu ikut berdiri dalam keadaan i’tidal. Jika ma’mum yang masbuq
menemukan imam sedang sujud, maka ma’mum yang masbuq ini hendaklah
bertakbiratul ihram lalu ikut sujud bersama imam dan ma’mum yang lainnya, begitu
seterusnya. Hanya saja dalam kondisi ini, ma’mum yang mengikuti imam ini tidak
dihitung shalatnya satu raka’at bersama imam. Selanjutnya dia tidak boleh
berdiri sebelum imam melakukan salam. Setelah imam melakukan salam, barulah ma’mum
berdiri menyempurnakan kekurangan rakaat shalatnya yang tertinggal.
Sebagai contoh pada shalat
zhuhur, seorang ma’mum yang mendapati imam sedang dalam keadaan tahiyat
pertama, maka ia harus bertakbiratul ihram lalu langsung ikut duduk tahiyat
bersama dengan imam dan ma’mum yang lainnya. Selanjutnya, ma’mum menikuti semua
gerakan shalat yang dilakukan imam. Apabila imam melakukan salam, maka ma’mum
yang masbuq tadi berdiri dan melanjutkan shalatnya yang tersisa dua raka’at
lagi. Kenapa dua raka’at, padahal dia ikut duduk tahiyat bersama imam pada
rakaat kedua? Jawabannya, karena ma’mum yang masbuq ini mendapati imam ini
dalam keadaan sedang tahiyat pertama. Kendatipun dia ikut melaksanakan tahiyat,
tapi itu tidak dihitung satu raka’at karena penghitungan satu raka’at adalah dengan
mendapatkan ruku’.
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), cet. ke-4,
jilid ke-1, h. 196 dan 198.
Kirain apaan?
ReplyDeleteternyata....
DeleteIlmu manfaat
ReplyDeleteSemoga bermanfaat. Aamiin
Delete