Setiap akan memasuki pergantian tahun baru, selalu ada diskusi netizen tentang tahun baru. Bahkan setelah tahun baru itu datang dan berlalu, diskusi itu masih menghiasi ruang chatting dan komentar di dunia maya. Melalui postingan kali ini saya akan berbagi sekelumit persoalan tahun baru, termasuk pelaksanaan kegiatan/ perayaan tahun baru.
Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru. Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Hukum Merayakan Tahun Baru
Mayoritas pendapat mengatakan tidak boleh, bahkan secara tegas disebutkan haram. Pendapat yang mengharamkan beralasan:
Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,
Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.
Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru. Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Hukum Merayakan Tahun Baru
Mayoritas pendapat mengatakan tidak boleh, bahkan secara tegas disebutkan haram. Pendapat yang mengharamkan beralasan:
Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,
من تشبه بقوم فهو منهم
“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,
من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة
“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”
Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,
Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, menurut pendapat ini termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
Keempat, Allah berfirman menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah yang pilihan),
Jangankan untuk merayakan tahun baru masehi, untuk merayakan tahun hijriah sebagian pendapat juga mengharamkan dengan alasan Hanya Idul Adhha dan Idul Fithri yang dirayakan. Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin untuk merayakan hanya Idul Adhha dan Idul Fithri. Rasulullah saw bersabda: Likulli ummatin ’iidan wa haadzihi ’iidunaa: ’iidul adhha wa ’iidul fithri [Setiap umat memiliki hari raya. Dan inilah hari raya kita: Idul Adhha dan Idul Fithri]. Dengan kata lain (menurut pendapat ini), Rasulullah saw melarang merayakan hari-hari selain Idul Adhha dan Idul Fitri, termasuk awal tahun hijriyah 1 Muharram.
Para Sahabat Nabi tidak ada yang merayakan Tahun baru Islam. Perlu diketahui, Penanggalan Islam mulai dipakai pada masa pemerintahan Amirul Mu`minin ’Umar bin Khaththab ra. Padahal mereka menggunakan penanggalan Islam dan ada yang masih hidup hingga akhir masa Bani Umayyah. Tapi sekali lagi tidak ada satu pun sahabat Nabi yang merayakannya. Artinya, mereka bersepakat bahwa Awal Tahun Hijriyah tidak dirayakan. (Perayaan) Tahun Baru Islam baru diadakan pada Abad ke-4 H di masa Kekhilafahan Fathimiyah yang beraliran Syi’ah Ismailiyah yang berpusat di Kairo Mesir.
Rasulullah saw melarang tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang-orang kafir). Orang-orang kafir biasa merayakan tahun baru mereka. Orang Cina merayakannya dengan Imlek. Biasanya mereka merayakan dengan berpawai berikut liong dan barongsainya. Orang Romawi Kuno dan dilanjutkan oleh orang Nasrani merayakan tahun baru masehi Gregoriannya dengan perayaan kembang api. Orang Yahudi juga merayakan tahun baru penanggalan Yahudinya. Oleh karena itu merayakan tahun baru merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Kebiasaan yang tidak boleh menjadi kebiasaan umat Islam.
Pendapat Lain
يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)
قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر
“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk Madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, menurut pendapat ini termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
Keempat, Allah berfirman menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah yang pilihan),
و الذين لا يشهدون الزور …
“Dan orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur…” Sebagian ulama menafsirkan kata ‘az-Zuur’ pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir. Artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir berarti dia bukan orang baik.
Jangankan untuk merayakan tahun baru masehi, untuk merayakan tahun hijriah sebagian pendapat juga mengharamkan dengan alasan Hanya Idul Adhha dan Idul Fithri yang dirayakan. Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin untuk merayakan hanya Idul Adhha dan Idul Fithri. Rasulullah saw bersabda: Likulli ummatin ’iidan wa haadzihi ’iidunaa: ’iidul adhha wa ’iidul fithri [Setiap umat memiliki hari raya. Dan inilah hari raya kita: Idul Adhha dan Idul Fithri]. Dengan kata lain (menurut pendapat ini), Rasulullah saw melarang merayakan hari-hari selain Idul Adhha dan Idul Fitri, termasuk awal tahun hijriyah 1 Muharram.
Para Sahabat Nabi tidak ada yang merayakan Tahun baru Islam. Perlu diketahui, Penanggalan Islam mulai dipakai pada masa pemerintahan Amirul Mu`minin ’Umar bin Khaththab ra. Padahal mereka menggunakan penanggalan Islam dan ada yang masih hidup hingga akhir masa Bani Umayyah. Tapi sekali lagi tidak ada satu pun sahabat Nabi yang merayakannya. Artinya, mereka bersepakat bahwa Awal Tahun Hijriyah tidak dirayakan. (Perayaan) Tahun Baru Islam baru diadakan pada Abad ke-4 H di masa Kekhilafahan Fathimiyah yang beraliran Syi’ah Ismailiyah yang berpusat di Kairo Mesir.
Rasulullah saw melarang tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang-orang kafir). Orang-orang kafir biasa merayakan tahun baru mereka. Orang Cina merayakannya dengan Imlek. Biasanya mereka merayakan dengan berpawai berikut liong dan barongsainya. Orang Romawi Kuno dan dilanjutkan oleh orang Nasrani merayakan tahun baru masehi Gregoriannya dengan perayaan kembang api. Orang Yahudi juga merayakan tahun baru penanggalan Yahudinya. Oleh karena itu merayakan tahun baru merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Kebiasaan yang tidak boleh menjadi kebiasaan umat Islam.
Pendapat Lain
Bagi sebagian yang bermaksud ingin melaksanakan perayaan tahun baru dengan tanpa bermaksud menyukseskan peringatan (ibadah) acara tahun baru agama lain dan hanya sekedar mengisinya dengan kegiatan, sebaiknya menghindari. Ini demi kehati-hatian. Kalupun mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat seperti merenung; muhasabah; instrospeksi diri; menyusun rencana masa ke depan dalam hal ini tentunya berpulang kepada kita. Mengambil moment tahun baru sebagai kegiatan mungkin tidak mengapa, tapi jika ada momentum lain, apakah kita tidak mengambilnya. Jika mengkhususkan tahun baru untuk kegiatan itu, mungkin di sini yang perlu ditinjau ulang. Seolah-olah hari lain tidak baik. Tuhan ciptakan semua hari dengan kebaikan tanpa dikhususkan sama sekali.
Sejarah Tahun Baru Hijriyah
Bangsa Arab sebelum Islam sudah mengenal sistem kalender. Jauh sebelum diutusnya Rasululah SAW. mereka sudah mengenal nama-nama bulan dan juga sudah mengenal urutan tanggal di dalam bulan itu. Bahkan mereka pun sudah tahu bahwa dalam satu tahun itu ada 12 bulan. Yang belum mereka punya hanyalah penetapan hitungan tahun. Jadi kalau ditanyakan kepada mereka, "Hari ini hari apa, tanggal berapa dan bulan apa?", mereka bisa menjawab dengan tepat. Tapi kalau ditanya, "Sekarang tahun berapa?", maka mereka belum punya penetapan hitungan tahun.
Awal mulanya penetapan tahun hijriyah adalah ketika Khalifah Umar bin Al-Khattab menerima surat balasan atas surat yang dikirimkan. Balasan surat itu diawali dengan ungkapan yang kurang lebih begini ,"...saya telah menerima surat Anda yang tidak berangka tahun itu...".
Saat itu, umat Islam memang belum memiliki hitungan angka tahun yang disepakati. Yang mereka kenal hanyalah penanggalan dengan sistem qamariyah yang mengacu kepada peredaran bulan terhadap bumi. Mereka sudah menggunakan hitungan hari dalam sebulan dan mereka juga telah mengenal nama-nama bulan yang setahunnya ada 12 bulan. Namun mereka belum punya hitungan tahun kecuali dengan mengaitkan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah.
Misalnya peristiwa serangan tentara bergajah kepada Ka'bah di Mekkah dijadikan salah satu patokan dalam penyebutan angka tahun. Maka kalau ada suatu kejadian, mereka akan mengatakan bahwa peristiwa x terjadi pada tahun kesekian dari peristiwa penyerbuan Ka'bah. Tapi penetapan ini tidak pernah diresmikan sehingga belum menjadi standar perhitungan kalender yang diakui secara umum.
Di masa kekhalifahan kedua, Khalifah Umar r.a. berinisiatif untuk bermusyawarah bersama para shahabat lainnya dalam menetapkan hitungan tahun yang mereka sepakati. Ada banyak usulan untuk dijadikan patokan dalam memulai hitungan tahun. Misalnya tahun lahirnya Rasulullah SAW, atau tahun awal mula turunnya Al-Quran, atau tahun terjadinya perang Badar, tahun terjadinya pembebasan kota Mekkah dan sebagainya. Namun akhirnya mereka sepakat untuk menjadikan tahun di mana Rasulullah SAW hijrah sebagai hitungan awal tahun Islam. Sebab peristiwa hijrah ini menjadi awal mula dari tegaknya Islam sebagai sebuah negara, bukan sekedar sistem peribadatan saja. Jadi secara resmi agama Islam menjadi sebuah badan hukum adalah sejak terjadinya hijrah ke Madinah. Dan ini adalah pilihan yang tepat, karena ajaran Islam ini memang seharusnya menjadi sebuah institusi resmi yang berbadan hukum, yaitu sebuah negara. Sehingga apa pun yang dilakukan di dalam agama ini punya landasan hukum. Pasca hijrah Rasul itulah Islam menjadi sebuah negara yang berdaulat, resmi dan syah serta diakui oleh masyarakat international.
Perlu juga dipahami bahwa yang dijadikan patokan bukanlah bulan di mana beliau hijrah, melainkan tahun di mana beliau hijrah. Jadi meski beliau hijrah di bulan Sya'ban, namun bulan pertama dalam kalender Islam tetap bulan Muharram, sebagaimana sudah mereka kenal selama ini.
Pendapat Yang Membolehkan Perayaan Tahun Baru Hijriyah
Kalau memahami latar belakang sejarah ini, pada hakikatnya merayakan tahun baru Islam adalah memperingati hari berdirinya agama Islam sebagai sebuah institusi resmi yang berbadan hukum. Dengan bahasa orang Indonesia, tahun baru Islam adalah hari 'proklamasi' berdirinya negara Islam secara formal pertama kali di muka bumi, negara milik umat Islam sedunia.
Maka agak berbeda dengan perayaan hura-hura malam tahun baru masehi yang konon ditetapkan berdasarkan tahun kelahiran nabi Isa a.s., perayaan tahun baru hijriyah adalah untuk mengenang berdirinya Islam sebagai sebuah negara. Sebagaimana setiap negara merayakan hari jadi mereka, tak terkecuali Saudi Arabia yang beberapa tahun lalu baru saja merayakan hari jadi ke-100 tahun.
Hal yang perlu diingat adalah Rasulullah SAW sendiri tidak mengajarkan atau mencontohkan sebuah 'ritual ibadah khusus' untuk peringatan tahun baru. Maka bila kita ciptakan sebuah jenis ibadah khusus yang baru di luar apa yang telah ditetapkan oleh beliau, tentu sebuah bid'ah yang sesat. Tapi kalau kita tidak melakukan ritual ibadah, melainkan hanya melakukan hal-hal positif yang di luar urusan ubudiyah mahdhah (di luar ritual peribadatan), tentu tidak ada larangan.
Kalau secara rutin dan terus menerus dan dikhususkan kita mengadakan acara shalat tahajjud bersama dengan mengumpulkan banyak jamaah setiap malam tahun baru hijriyah dengan niat khusus yaitu untuk beribadah menyambut tahun baru, maka dikhawatirkan kita akan menjadi sebuah ritaul bi'dah yang tidak diajarkan oleh beliau SAW. Sebab shalat tahajjud adalah ibadah ritual yang pelaksanaannya harus mengacu kepada tata cara yang beliau ajarkan, termasuk dalam momentum pelaksanaannya.
Tapi kalau membuat acara lain yang tidak terkait ibadah ritual seperti aneka lomba, festival, olah raga, seminar dan lainnya, tidaklah wilayah yang bisa dikategorikan bid'ah. Sama saja kalau di bulan Ramadhan kita mengadakan pesantren kilat, ceramah tarawih, kuliah shubuh dan aneka aktifitas di luar peribadatan khusus lainnya. Meski beliau tidak mencontohkan bikin acara-acara itu, tapi bukan berarti menjadi larangan.
Berpulang Kepada Kita
Sejarah Tahun Baru Hijriyah
Bangsa Arab sebelum Islam sudah mengenal sistem kalender. Jauh sebelum diutusnya Rasululah SAW. mereka sudah mengenal nama-nama bulan dan juga sudah mengenal urutan tanggal di dalam bulan itu. Bahkan mereka pun sudah tahu bahwa dalam satu tahun itu ada 12 bulan. Yang belum mereka punya hanyalah penetapan hitungan tahun. Jadi kalau ditanyakan kepada mereka, "Hari ini hari apa, tanggal berapa dan bulan apa?", mereka bisa menjawab dengan tepat. Tapi kalau ditanya, "Sekarang tahun berapa?", maka mereka belum punya penetapan hitungan tahun.
Awal mulanya penetapan tahun hijriyah adalah ketika Khalifah Umar bin Al-Khattab menerima surat balasan atas surat yang dikirimkan. Balasan surat itu diawali dengan ungkapan yang kurang lebih begini ,"...saya telah menerima surat Anda yang tidak berangka tahun itu...".
Saat itu, umat Islam memang belum memiliki hitungan angka tahun yang disepakati. Yang mereka kenal hanyalah penanggalan dengan sistem qamariyah yang mengacu kepada peredaran bulan terhadap bumi. Mereka sudah menggunakan hitungan hari dalam sebulan dan mereka juga telah mengenal nama-nama bulan yang setahunnya ada 12 bulan. Namun mereka belum punya hitungan tahun kecuali dengan mengaitkan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah.
Misalnya peristiwa serangan tentara bergajah kepada Ka'bah di Mekkah dijadikan salah satu patokan dalam penyebutan angka tahun. Maka kalau ada suatu kejadian, mereka akan mengatakan bahwa peristiwa x terjadi pada tahun kesekian dari peristiwa penyerbuan Ka'bah. Tapi penetapan ini tidak pernah diresmikan sehingga belum menjadi standar perhitungan kalender yang diakui secara umum.
Di masa kekhalifahan kedua, Khalifah Umar r.a. berinisiatif untuk bermusyawarah bersama para shahabat lainnya dalam menetapkan hitungan tahun yang mereka sepakati. Ada banyak usulan untuk dijadikan patokan dalam memulai hitungan tahun. Misalnya tahun lahirnya Rasulullah SAW, atau tahun awal mula turunnya Al-Quran, atau tahun terjadinya perang Badar, tahun terjadinya pembebasan kota Mekkah dan sebagainya. Namun akhirnya mereka sepakat untuk menjadikan tahun di mana Rasulullah SAW hijrah sebagai hitungan awal tahun Islam. Sebab peristiwa hijrah ini menjadi awal mula dari tegaknya Islam sebagai sebuah negara, bukan sekedar sistem peribadatan saja. Jadi secara resmi agama Islam menjadi sebuah badan hukum adalah sejak terjadinya hijrah ke Madinah. Dan ini adalah pilihan yang tepat, karena ajaran Islam ini memang seharusnya menjadi sebuah institusi resmi yang berbadan hukum, yaitu sebuah negara. Sehingga apa pun yang dilakukan di dalam agama ini punya landasan hukum. Pasca hijrah Rasul itulah Islam menjadi sebuah negara yang berdaulat, resmi dan syah serta diakui oleh masyarakat international.
Perlu juga dipahami bahwa yang dijadikan patokan bukanlah bulan di mana beliau hijrah, melainkan tahun di mana beliau hijrah. Jadi meski beliau hijrah di bulan Sya'ban, namun bulan pertama dalam kalender Islam tetap bulan Muharram, sebagaimana sudah mereka kenal selama ini.
Pendapat Yang Membolehkan Perayaan Tahun Baru Hijriyah
Kalau memahami latar belakang sejarah ini, pada hakikatnya merayakan tahun baru Islam adalah memperingati hari berdirinya agama Islam sebagai sebuah institusi resmi yang berbadan hukum. Dengan bahasa orang Indonesia, tahun baru Islam adalah hari 'proklamasi' berdirinya negara Islam secara formal pertama kali di muka bumi, negara milik umat Islam sedunia.
Maka agak berbeda dengan perayaan hura-hura malam tahun baru masehi yang konon ditetapkan berdasarkan tahun kelahiran nabi Isa a.s., perayaan tahun baru hijriyah adalah untuk mengenang berdirinya Islam sebagai sebuah negara. Sebagaimana setiap negara merayakan hari jadi mereka, tak terkecuali Saudi Arabia yang beberapa tahun lalu baru saja merayakan hari jadi ke-100 tahun.
Hal yang perlu diingat adalah Rasulullah SAW sendiri tidak mengajarkan atau mencontohkan sebuah 'ritual ibadah khusus' untuk peringatan tahun baru. Maka bila kita ciptakan sebuah jenis ibadah khusus yang baru di luar apa yang telah ditetapkan oleh beliau, tentu sebuah bid'ah yang sesat. Tapi kalau kita tidak melakukan ritual ibadah, melainkan hanya melakukan hal-hal positif yang di luar urusan ubudiyah mahdhah (di luar ritual peribadatan), tentu tidak ada larangan.
Kalau secara rutin dan terus menerus dan dikhususkan kita mengadakan acara shalat tahajjud bersama dengan mengumpulkan banyak jamaah setiap malam tahun baru hijriyah dengan niat khusus yaitu untuk beribadah menyambut tahun baru, maka dikhawatirkan kita akan menjadi sebuah ritaul bi'dah yang tidak diajarkan oleh beliau SAW. Sebab shalat tahajjud adalah ibadah ritual yang pelaksanaannya harus mengacu kepada tata cara yang beliau ajarkan, termasuk dalam momentum pelaksanaannya.
Tapi kalau membuat acara lain yang tidak terkait ibadah ritual seperti aneka lomba, festival, olah raga, seminar dan lainnya, tidaklah wilayah yang bisa dikategorikan bid'ah. Sama saja kalau di bulan Ramadhan kita mengadakan pesantren kilat, ceramah tarawih, kuliah shubuh dan aneka aktifitas di luar peribadatan khusus lainnya. Meski beliau tidak mencontohkan bikin acara-acara itu, tapi bukan berarti menjadi larangan.
Berpulang Kepada Kita
Akhirnya, semua itu berpulang kepada kita. Pada dasarnya setiap apa yang kita perbuat kita yang akan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan. Termasuk dalam peringatan dan perayaan tahun baru, baik tahun baru Masehi, maupun tahun baru hijriyah. Wallahu A'lam.
(diolah dari berbagai sumber)
Post a Comment