Materi ini pertama kali disampaikan dalam Khutbah Jum'at di Masjid al-Imam Kotobaru Kambang
13 Dzulhijjah adalah hari terakhir penyembelihan hewan qurban (hari nahar). Semoga kita bisa bertemu dengan ibadah qurban tahun depan. Harapan bertemu dengan ibadah qurban tahun depan tentunya dimaksudkan agar kita kembali bisa melaksanakan ibadah tahunan ini di tahun-tahun berikutnya.
13 Dzulhijjah adalah hari terakhir penyembelihan hewan qurban (hari nahar). Semoga kita bisa bertemu dengan ibadah qurban tahun depan. Harapan bertemu dengan ibadah qurban tahun depan tentunya dimaksudkan agar kita kembali bisa melaksanakan ibadah tahunan ini di tahun-tahun berikutnya.
Kepada kaum muslimin yang telah berqurban tahun ini, semoga amal
ibadah qurbannya diterima Allah dan semoga tahun depan juga kembali ikut
berqurban. Sementara bagi kaum muslimin yang belum ikut menjadi peserta qurban,
semoga tahun depan dapat ambil bagian dalam kesempatan ibadah yang datangnya
cuma satu kali dalam satu tahun.
Saya sangat miris ketika mengetahui di sebuah kampung—tempat saya shalat Idul Adha tahun ini—tidak ada melakukan penyembelihan hewan qurban. Miris karena beberapa alasan. Alasan pertama, masyarakat di tempat saya shalat itu tidak mengecap nikmatnya daging qurban. Sebagai perbandingan, di tempat saya tinggal, sebuah mushalla dengan jumlah KK-nya cuma 60 KK, menikmati daging qurban lebih kurang enam kilo satu KK. Karena jumlah sapi yang dipotong ada sepuluh ekor. Alasan kedua, mengapa tidak ada satu ekorpun hewan qurban yang mereka sembelih. Padahal, ibadah ini cuma satu kali dalam satu tahun.
Apakah mereka belum mengetahui hukum ibadah qurban? Apakah mereka tidak mengetahui ganjaran/ nilai yang disediakan bagi para peserta qurban? Apakah memang tidak ada satu orangpun masyarakat yang mampu untuk berqurban? Apakah mereka tidak tahu bahwa di tempat lain ada nenek tua yang kesehariannya sebagai pemulung mampu berqurban? Juga ada seorang tukang becak yang ikut berqurban. Atau apakah mereka tidak punya strategi khusus untuk mensiasati agar bisa ambil bagian dalam ibadah ini?
Saya sangat miris ketika mengetahui di sebuah kampung—tempat saya shalat Idul Adha tahun ini—tidak ada melakukan penyembelihan hewan qurban. Miris karena beberapa alasan. Alasan pertama, masyarakat di tempat saya shalat itu tidak mengecap nikmatnya daging qurban. Sebagai perbandingan, di tempat saya tinggal, sebuah mushalla dengan jumlah KK-nya cuma 60 KK, menikmati daging qurban lebih kurang enam kilo satu KK. Karena jumlah sapi yang dipotong ada sepuluh ekor. Alasan kedua, mengapa tidak ada satu ekorpun hewan qurban yang mereka sembelih. Padahal, ibadah ini cuma satu kali dalam satu tahun.
Apakah mereka belum mengetahui hukum ibadah qurban? Apakah mereka tidak mengetahui ganjaran/ nilai yang disediakan bagi para peserta qurban? Apakah memang tidak ada satu orangpun masyarakat yang mampu untuk berqurban? Apakah mereka tidak tahu bahwa di tempat lain ada nenek tua yang kesehariannya sebagai pemulung mampu berqurban? Juga ada seorang tukang becak yang ikut berqurban. Atau apakah mereka tidak punya strategi khusus untuk mensiasati agar bisa ambil bagian dalam ibadah ini?
Empat pertanyaan di atas adalah beberapa pertanyaan yang mengusik
saya dan juga mungkin mengusik kaum muslimin lainnya. Bahkan, Mungkin banyak
pertanyaan yang muncul di kepala kita. Postingan ini tidak akan menjawab semua
pertanyaan itu secara detail.
Memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum berqurban. Ada yang mengatakan wajib hukumnya bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan sunah mu’akadah. Jika masyarakat yang tidak melaksanakan pemotongan hewan qurban itu memang tidak mengetahui hukumnya dan keutamaan ibadah qurban, maka tanggung jawab kita bersama untuk menyampaikannya kepada mereka.
Memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum berqurban. Ada yang mengatakan wajib hukumnya bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan sunah mu’akadah. Jika masyarakat yang tidak melaksanakan pemotongan hewan qurban itu memang tidak mengetahui hukumnya dan keutamaan ibadah qurban, maka tanggung jawab kita bersama untuk menyampaikannya kepada mereka.
Bagi yang mampu berqurban, sementara tidak melaksanakan ibadah
qurban, dilarang oleh Rasulullah untuk mendekati tempat shalat.[1] Jika kita bandingkan dengan hadis lain
mengatakan bahwa wanita haid sekalipun diperintahkan untuk pergi ke lapangan
tempat shalat.[2] Apa yang ada dalam pikiran kita jika perempuan
haid diperintah untuk ikut datang ke lapangan, sementara orang mampu yang tidak
berqurban tidak boleh mendekati tempat shalat.
Jika diminta pendapat masing-masing kita
tentang kadar “mampu” ini tentunya setiap orang berbeda-beda. Namun, jika kita
punya motivasi ibadah yang tinggi—seperti pemulung dan tukang becak yang dapat
kita katakan sebagai perwakilan kaum papa—tentunya iman kita akan mendorong
kita untuk ikut berqurban. Terlepas dari berapa ganjaran yang diberikan Allah
bagi kita, kita akan ikut serta dalam kesempatan ibadah tahunan ini.
Ada di antara kita yang mampu membayar kredit
kendaraan atau furnitur dengan angsuran yang harus dibayar setiap bulannya. Misalnya,
kredit yang dibayar setiap bulan Rp. 300.000,-, maka setahunnya berjumlah Rp.
3.600.000,-. Atau bagi para perokok misalnya, pernahkah menghitung berapa biaya
yang dikeluarkan untuk membeli rokok setahun? Jika harga rokoknya Rp. 5000,-
saja satu hari, maka setahun akan mengeluarkan uang sebanyak Rp. 1.285.000,-. Sedangkan
biaya qurban tidak sampai sejumlah itu. Artinya jika kita mau menabung Rp. 5000,- perhari,
tentunya kita akan bisa ikut berqurban. Inilah siasat yang saya maksud untuk
bisa ikut ambil bagian dalam mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah
qurban.
Berikut ini saya buatkan rincian besaran biaya qurban sekaligus besaran tabungan perbulan, perminggu atau perhari.
Berikut ini saya buatkan rincian besaran biaya qurban sekaligus besaran tabungan perbulan, perminggu atau perhari.
Besaran Biaya Qurban
|
Cicilan Perbulan
|
Cicilan Perminggu
|
Cicilan Perhari
|
2.000.000,00
|
166.666,67
|
38.461,54
|
5.479,45
|
1.900.000,00
|
158.333,33
|
36.538,46
|
5.205,48
|
1.800.000,00
|
150.000,00
|
34.615,38
|
4.931,51
|
1.700.000,00
|
141.666,67
|
32.692,31
|
4.657,53
|
1.600.000,00
|
133.333,33
|
30.769,23
|
4.383,56
|
1.500.000,00
|
125.000,00
|
28.846,15
|
4.109,59
|
1.300.000,00
|
108.333,33
|
25.000,00
|
3.561,64
|
1.250.000,00
|
104.166,67
|
24.038,46
|
3.424,66
|
1.200.000,00
|
100.000,00
|
23.076,92
|
3.287,67
|
1.100.000,00
|
91.666,67
|
21.153,85
|
3.013,70
|
1.050.000,00
|
87.500,00
|
20.192,31
|
2.876,71
|
1.000.000,00
|
83.333,33
|
19.230,77
|
2.739,73
|
Dari tabel di atas terlihat, jika biaya qurban di sebuah masjid/ mushalla adalah sebesar Rp. 1.300.000,-, maka bisa disiasati dengan menabung kepada panitia atau ditabung sendiri dengan besaran perbulannya Rp. 109.000,- atau perminggunya Rp. 25.000,- atau perharinya Rp. 3.600,-.
Akhirnya semua itu berpulang kepada kita. Apakah kita mau ikut ambil bagian dalam ibadah ini dengan cara mensiasatinya, maka tabel di atas sangat membantu. Selamat Beribadah. Semoga bermanfaat.
[1] Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا
يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.”
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.”
HR. Ibnu Majah No. 3123,
Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam
Syu’abul Iman No. 7334
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi menyepakati hal ini.
Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6490, namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr, No. 102.
Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth mendhaifkan hadits ini, dan beliau mengkritik Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dengan sebutan: “wa huwa wahm minhuma – ini adalah wahm (samar/tidak jelas/ragu) dari keduanya.” Beliau juga menyebut penghasanan yang dilakukan Syaikh Al Albani dengan sebutan: “fa akhtha’a – keliru/salah.”(Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 8273)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi menyepakati hal ini.
Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6490, namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr, No. 102.
Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth mendhaifkan hadits ini, dan beliau mengkritik Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dengan sebutan: “wa huwa wahm minhuma – ini adalah wahm (samar/tidak jelas/ragu) dari keduanya.” Beliau juga menyebut penghasanan yang dilakukan Syaikh Al Albani dengan sebutan: “fa akhtha’a – keliru/salah.”(Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 8273)
[2] عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ
وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ
وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ
إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ
جِلْبَابِهَا. [رواه الجماعة واللفظ لمسلم[.
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah bahwa ia
berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami supaya menyuruh mereka keluar pada
hari Idul Fitri dan Idul Adha: yaitu semua gadis remaja, wanita sedang haid dan
wanita pingitan. Adapun wanita-wanita
sedang haid supaya tidak memasuki lapangan tempat shalat, tetapi menyaksikan
kebaikan hari raya itu dan panggilan kaum Muslimin. Aku bertanya: Wahai
Rasulullah, bagaimana salah seorang kami yang tidak mempunyai baju jilbab?
Rasulullah menjawab: Hendaklah temannya meminjaminya baju kurungnya. [HR.
al-Jama‘ah, lafal dari Muslim].
Post a Comment