Revitalisasi Tiga Lembaga Pendidikan

Revitalisasi terhadap tiga lembaga pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat. Bagaimana caranya “Hidup yang Menghidupkan” tiga lembaga pendidikan itu.
Pertama, penguatan keluarga. Ada masalah besar dalam masyarakat kita yaitu tingginya angka perceraian. Menganalisisnya tidak hanya cukup dengan masalah ekonomi. Walaupun laporan Mahkamah Syar’iyyah  menyampaikan faktor utama penyebab tingginya angka perceraian di Aceh Tengah adalah faktor ekonomi. Tapi pasti ada faktor lain yang mungkin tidak muncul ke luar. Untuk mencari tahu faktor lain itu tentunya tidak cukup hanya dengan seminar ini saja.
Masing-masing kita harus berbuat pada level kita masing-masing. Akademisi dengan mengemukakan konsepnya. Dinas Syariat Islam sebagai pelaksananya. Orang tua juga harus belajar bagaimana membina dan mendidik anak-anaknya di zaman sekarang yang berbeda dengan zamannya dulu.
Yang kedua, penguatan institusi sekolah. Ada anggapan seolah-olah bahwa sekolah adalah lembaga yang bertanggung jawab menghasilkan anak yang baik. Orang tua seolah-olah tidak bertanggung jawab mendidik anak karena tanggungjawab sudah diarahkan ke sekolah. Harus ada sinergi antara unsur-unsur yang terlibat dalam pendidikan sekolah.
Di antara fokusnya adalah menguatkan kapasistas guru. Pengelolaan sekolah misalnya, sekolah dikelola dengan model abad 20 sementara anak-anak hidup di abad 21. Ulama merekomendasikan bahwa guru harus menguatkan diri dengan kearifan lokal. Persoalannya sudahkan guru kita paham dengan kearifan lokal. Contoh adat sumang misalnya, apakah sama sumang yang dimaksud tahun 80-an dengan sumang sekarang ini? Sementara telah terjadi perubahan di masyarakat kita.
Terkahir penguatan lembaga masyarakat. Dalam muzakarah ulama beberapa saat yang lalu juga muncul usulan adanya beberapa kewenangan yang diberikan kepada unsur-unsur tertentu.
Kata kuncinya adalah bagaimana membangun sinergi antara 3 lembaga ini. Untuk membangun sinergi itu perlu juga disampaikan kaitannya dengan bentuk intervensi yangdapat merubah perilaku masyarakat.

Pertama, politic intervention, ini menarik bagi pengambil kebijakan, tapi tidak bertahan lama. Kedua, pedagogic intervention tidak menarik bagi pembuat kebijakan. Ketiga, sosio-cultural intervention, kelemahannya prosesnya lama, butuh waktu, tidak menarik secara politik. Tapi penelitian menunjukkan hasil intervensi jenis ketiga ini bisa bertahan lama.
Nilai-nilai budaya yang dipahami secara baik dan berkelanjutan itulah yang akan membuat sebuah bangsa menjadi maju, dihormati, menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, dan mudah tidak dijajah oleh budaya lain yang belum tentu sesuai dengan norma dan budaya kita.
Dengan nilai budaya yang kita punya tidak mustahil bisa menghantarkan kita kepada pemecahan persoalan kita hari ini sebagaimana yangtelah dibahas oleh para ulama.
Itulah penyampaian Dr. Almusanna, M.Ag, Direktur Program Pascasarjana  STAIN Gajah Putih Takengon, Pada saat Seminar Dosen Jurusan Ushuluddin dan Dakwah STAIN Gajah Puith Takengon, Rabu, 23 Desember 2015 di Aula Bior STAIN Gajah Putih Takengon.

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes