Ada beberapa hal yang menjadi
catatan saya. Pertama rasional itu integral dalam sistem
Islam. wahyu diawali dengan perintah membaca. Menurut Quraish Shihab makna ‘allama yang diulangi dua kali dalam wahyu
pertama itu mempunya makna bahwa ada dua cabang ilmu di situ, ‘allama bil qolam dalam pengertian ilmu yang dipelajari. ‘Allama al-insan ma lam ya’lam,
mengandung pengertian pengajaran Tuhan syang sifatnya supra rasional.
Kedua al-Qur’an sangat banyak memerintahkan menggunakan rasio. Ketiga, Nabi Muhammad
memerintahkan kita untuk menggunakan rasio. Ada hadis populer yang menceritakan
satu episode Nabi menyuruh mu’as untuk menjadi qadhi di Yaman. Nabi bertanya
kepada Mu’az, bagaimana engkau sebagai seorang qadhi akan memutuskan perkara
yang dihadapakan kepadamu? Muaz menjawab, saya akn memutuskannya berdasarkan
Al-Qur’an. Jika kamu tidak menemukannya dalam al-Qur’an? Maka saya akan
memutuskannya berdasarkan sunnah rasulnya. Jika kamu juga tidak menemukannya
pada sunnah? Maka aku akan berijtihad dengan menggunakan rasioku.
Jadi, tidak ada alasan bagi
kita untuk tidak menggunakan rasio.
Itulah penyampaian Prof. Dr. Hasan Asari, MA, WAkil Rektor I UIN Sumatera Utara pada saat Seminar Nasional STAIN Gajah Putih.
Berikut ini juga kami tuliskan jawaban dan komentar beliau terkait pertanyaan dan komentar dari peserta seminar.
Mengakomodir kearifan lokal bisa mereduksi rasionalitas, bisa juga tidak. Tergantung dari mana kita lihat. Ibarat main catur, kita yang menentukan kemana kita akan melangkah. Setiap local wisdom dibentuk oleh proses sejarah sehingga wujud budaya yang dilahirkan itu bisa mengakar kuat pada suatu masyarakat. Itu bukan harga mati, tapi harus dihargai. Ia bukan seperti rukun islam. Dalam ushul fiqh misalnya, islam bukan satu sistem tertutup, tapi tertata. Saya kira local wisdom bisa rasional dan bisa tidak rasional.
Berikut ini juga kami tuliskan jawaban dan komentar beliau terkait pertanyaan dan komentar dari peserta seminar.
Mengakomodir kearifan lokal bisa mereduksi rasionalitas, bisa juga tidak. Tergantung dari mana kita lihat. Ibarat main catur, kita yang menentukan kemana kita akan melangkah. Setiap local wisdom dibentuk oleh proses sejarah sehingga wujud budaya yang dilahirkan itu bisa mengakar kuat pada suatu masyarakat. Itu bukan harga mati, tapi harus dihargai. Ia bukan seperti rukun islam. Dalam ushul fiqh misalnya, islam bukan satu sistem tertutup, tapi tertata. Saya kira local wisdom bisa rasional dan bisa tidak rasional.
Fitarah manusia baik. Akumulasi pengalaman manusia dalam sistem adat
manapun pasti membawa kebaikan. Kalau semua orang gayo jahat dari dulu, tentu sekarang
tidak adaorang gayo yang hidup.
Pemikiran Islam kacau, saya setuju. Karena cara berfikir kita kacau. Karena
lebih banyak yang tidak ditarik dari sumber asasi. Mulai dari dasar.
Kolonialisme itu mendidirikan sekolah. Padahal dulu kita sudah punya dayah,
lalu Belanda datang. Dia bela sekolah Belanda dan dayah ditekan.
Kemudian sekolah belanda itu lahir lagi. 300 tahun dijajah melahirkan generasi
yang terlalu mengaggungkan Belanda. Warisannya dilanjutkan oleh pemerintah
kita. Tahun 1983 saya yang alumni pesantern dengan ijazah pesantren tidak bisa
diterima masuk IAIN Medan. Saya baru bisa masuk IAIN ketika sudah dapat ketebelece
dari kiyai. Artinya, tahun itu belum diakui oleh perintah lembaga pesantren.
Kita harus belajar dari sejarah, tapi jangan
dimakan mentah-mentah.
Post a Comment