Materi ini pertama kali disampaikan dalam acara pengajian Jum'at Muhammadiyah-Aisiyah Bale Atu Aceh Tengah
Satu di antara keimananan yang mesti diyakini oleh setiap mukmin adalah iman kepada Rasul. Setiap mukmin percaya bahwa Allah mengutus para rasul untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Melalui risalah itu Allah membimbing manusia ke jalan-Nya.
Di antara para rasul Allah tersebut ada yang disebut dengan “nabi yang
ummi”, yang tidak lain adalah Nabi Muhammad Saw. Ada yang memahami bahwa makna
“nabi yang ummi” adalah nabi yang buta huruf, tidak bisa menulis dan membaca.
Dengan keadaan “buta huruf” tersebut maka mustahil tuduhan kepada beliau bahwa
al-Qur’an adalah buatan beliau.
Agaknya, maksud pernyataan yang mengatakan makna “nabi yang ummi” itu
adalah dalam rangka memperkuat keimanan kepada al-Qur’an yang berasal dari
Allah buakan buatan Nabi Muhammad. Namun sayangnya, argumen seperti ini
sekaligus juga menciderai keimanan kepada Nabi Muhammad yang dikenal dengan
sifat cerdasnya (fathanah).
Postingan ini ingin melihat kembali makna “nabi yang ummi” dengan mengkaji
makna ummi yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an.
Informasi al-Qur’an tentang “nabi yang ummi”
Penyebutan “nabi yang ummi” di dalam al-Qur’an terdapat pada Q.S. al-A’raf
ayat 157-158.
158.
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu
semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia,
supaya kamu mendapat petunjuk."
Ada beberapa hal
yang diinformasikan oleh ayat diatas—namun tidak menginformasikan makna “nabi
yang ummi”—di antaranya:
1.
Ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelum dan
sesudahnya yang secara keseluruhan berbicara tentang Nabi Musa As. dan ummat
yahudi, mulai dari ayat 103 surat ini.
2.
Allah menetapkan rahmatnya (ayat 156) bagi orang
yang bertakwa, orang membayar zakat, dan orang yang beriman dengan ayat-ayat
Allah.
3.
Lalu ayat
157 menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang yang beriman dengan ayat-ayat
Allah tersebut, yaitu orang –orang yang mengikuti al-rasul al-nabiyya
al-ummiyya[1] yang keberadaanyya
sudah dijelaskan juga oleh Allah di dalam kitab mereka Taurat dan Injil.
4.
al-rasul al-nabiyya al-ummiyya tersebut memerintahkan mereka kepada yang
ma’ruf; mencegah mereka dari kemungkaran; menghalalkan segala yang baik dan
mengharamkan segala yang buruk bagi mereka dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka dengan
menetapkan syari’at baru yang dibawa oleh al-rasul al-nabiyya al-ummiya tersebut[2]
5.
Maka seharusnya mereka yang percaya kepada
ayat-ayat Allah—Taurat dan Injil—tersebut diminta untuk beriman kepada al-rasul
al-nabiyya al-ummiy, memuliakannya, menolongnya serta mengikuti al-Qur’an
yang diturunkan kepadanya (ujung ayat 157). Lebih tegas Allah memerintahkan
kepada al-rasul al-nabiyya al-ummiya untuk menyerukan kepada seluruh ummat
manusia—termasuk kepada mereka yang dulunya percaya kepada Taurat dan
Injil—untuk beriman kepada Allah dan al-rasul al-nabiyy al-ummiy (ayat
158).
6.
Al-rasul al-nabiyy al-ummiy tersebut juga beriman kepada Allah dan ayat-ayat
serta kitab-kitabnya, termasuk kitab sebelumnya. Oleh karena itu, ikutilah al-rasul
al-nabiyy al-ummiy tersebut agar kamu mendapat petunjuk (ujung ayat 158).
7.
Ayat 157-158 di atas menyebut istilah al-rasul
al-nabiyy al-ummiy (rasul nabi yang
ummi) bagi Nabi Muhammad Saw. Namun, ayat ini tidak menjelaskan apa maksud
“nabi yang ummi” tersebut.
8.
Namun, ada penjelasan yang bisa ditangkap bahwa al-rasul
al-nabiyy al-ummiy tersebut a)
tertulis keberadaanya di dalam Taurat dan Injil (ayat 157) dan b) dia juga
beriman kepada Allah dan ayat-ayat dan kitab-kitab Allah, termasuk Taurat dan
Injil (ayat 158).
Dari delapan poin pemahaman dan kesimpulan—sementara dan sangat terbatas dibandingkan
ayat al-Qur’an yang berasal dari Allah Yang Tidak Terbatas—di atas, belum bisa
dipahami makna al-rasul al-nabiyy al-ummiy apalagi jika dipahami dengan
makna buta huruf dan tidak pandai tulis baca. Oleh karena itu, butuh pengkajian
lebih lanjut terhadap makna kata ummiy ini di dalam ayat-ayat lain.
Informasi
al-Qur’an tentang kata Úmmiyyun dan Ummiyyin (Orang-orang atau
kaum yang ummiy)
Dalam al-Qur’an selain menyebut kata al-ummiy dalam bentuk mufrad
(tunggal), juga ditemukan penyebutan kata ini dalam bentuk jamak yaitu al-ummiyyun
dan al-ummiyyin.
Q.S.
al-Baqarah/2: 78
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا
يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ(78)
78. Dan diantara mereka ada yang ummiy, tidak
mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka
hanya menduga-duga
Ayat di atas cukup jelas menginformasikan bahwa di antara orang Yahudi ada
yang ummiy, yaitu tidak mengetahui kitab Taurat kecuali dugaan dan
layaknya cerita dongeng.
Q.S. Ali Imran/3:
20
فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ
وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
وَالْأُمِّيِّينَ ءَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ
تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ(20)
20. Kemudian jika mereka mendebat kamu
(tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada
Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." Dan katakanlah
kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi:
"Apakah kamu (mau) masuk Islam." Jika mereka masuk Islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka
kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya.
Ayat di atas paling tidak menginformasikan bahwa Allah memerintahkan Nabi
Muhammad untuk menyerukan Islam kepada dua kelompok umat, pertama kaum yang telah
diberi al-Kitab, kedua kaum yang ummiy. Dalam hal ini kaum yang ummiy
disebutkan bergandengan dengan kaum yang diberi kitab.
Siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang telah diberi al-Kitab? Melihat
munasabah ayat, maka dipahami dengan kaum Yahudi yang menerima Kitab Taurat dan
ummat Nasrani yang menerima kitab Injil. Lalu siapa yang dimaksud dengan kaum
yang ummiy? Maka mafhum mukhalafah-nya (analogi terbalik) adalah
bukan dari kaum Yahudi dan Nasrani yang menerima al-Kitab Taurat dan Injil.
Jika bukan dari kaum/ bangsa Yahudi dan Nasrani, maka dari kaum apakah mereka?
Ayat ini tidak menginformasikan secara langsung dan tegas jenis kaum apa.
Q.S. Ali Imran/3:
75
وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ
إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ
إِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لَيْسَ عَلَيْنَا
فِي الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ
يَعْلَمُونَ(75)
75.
Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta
yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika
kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali
jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka
mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummiy. Mereka
berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.
Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua jenis sifat sebagian Ahli
Kitab. Pertama, ada orang Ahli Kitab yang jujur dan amanah dalam persoalan
titipan atau pinjam-meminjam harta dalam jumlah yang besar. Karena jujur dan
amanahnya, mereka mengembalikan harta orang yang dipinjami apa adanya. Sifat kedua adalah sebaliknya,
yaitu di antara mereka ada orang yang dititipi atau dipinjami dengan harta yang
sedikit, tapi tidak mengembalikannya. Mereka akan mengembalikannya jika selalu
diminta. Jika malas sering memintanya, maka jangan harap akan dikembalikan.
Mengapa mereka melakukan itu? Karena mereka beranggapan bahwa menipu atau
berlaku yang demikian kepada kaum yang ummi bukanlah suatu dosa bagi mereka.
Apa yang dipahami dari ayat ini? Paling tidak yang dimaksud dengan kaumyang
ummi adalah bukan kaum Ahli Kitab. Artinya, kaum yang ummiy itu adalah
kaum di luar kaum mereka.
Q.S.
al-Jumu’ah/62: 2
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي
الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي
ضَلَالٍ مُبِينٍ(2)
2.
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummiy seorang Rasul dari golongan
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
Ayat di atas paling tidak menginformasikan: a) Allah mengutus Rasul
kepada kaum yang ummiy, yang mana rasul tersebut berasal dari kaum
tersebut bukan dari luar kaumnya; b) Rasul ummiy—dan berasal dari kaum yang ummiy—itu
mengajarkan kepada kaumnya al-Kitab danal-Hikmah.
Kesimpulan
Dari beberapa redaksi ayat yang menyebut istilah kaum yang ummiy
dipahami bahwa al-Qur’an menyebutkan istilah ummiyun atau ummiyyin ditujukan
untuk:
1.
Istilah bagi sebagian orang Yahudi yang tidak
pernah membaca Taurat (Q.S. al-Baqarah/2: 78;
2.
Istilah bagi kaum yang belum diberi al-Kitab,
yaitu bukan bangsa Yahudi dan juga bangsa Nasrani (Q.S. Ali Imran/3: 20);
3.
Istilah bagi bangsa selain kaum Ahli kitab yang dianggap
rendah oleh kaum Ahli Kitab sehingga dianggap tidak berdosa jika tidak membayar
hutang atau mengambalikan pinjaman kepada mereka (Q.S. Ali Imran/3: 75);
4. Kaum yang Allah utus
rasul kepada mereka dari kaum mereka sendiri. Bahkan rasul yang diutus tersebut
membacakan ayat-ayat Allah kepada kaumnya, mensucikan dan
mengajarkan kaumnya Kitab dan Hikmah.
Dari beberapa penjelasan di atas dipahami bahwa istilah ummiy yang dilekatkan
kepada Nabi Muhammad Saw. kurang tepat jika dipahami dengan nabi yang tidak
pandai membaca dan menulis. Sebaliknya, penulis lebih condong memahami nabi
yang ummiy itu dengan pengertian nabi yang bukan berasal dari kaum
Yahudi dan Nasrani dan juga tidak pernah membaca kitab ummat Yahudi (Taurat)
dan Nasrani (Injil).
Demikianlah penjelasan makna nabi yang ummiy dengan memahami redaksi ayat-ayat
al-Qur’an yang menyebut istilah yang sama di tempat lain. Semoga bermanfaat,
dan semoga shalawat dan salam senantiasa Allah berikan kepada beliau. Amin.
Wallahu A’lam.
[1] Kata al-rasul dengan bentuk isim
mufrad ma’rifah (kata benda tunggal definitf) yang maknanya sudah jelas—bukan
dalam bentuk nakirah yang dimaknai dengan makna yang umum—menuju kepada Nabi
Muhammad Saw.
[2] Dalam
syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat
yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri
untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau
tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan
kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
Post a Comment