Tangisan Sang Juara (cerpen 500 kata)

Seorang ibu yang sedang mengendong anak bayinya berdiri di pinggir jalan melambaikan tangannya. Lambaian tangan ini biasanya adalah isyarat untuk memberhentikan sebuah angkutan umum. Tidak jauh dari tempat berdirinya si ibu, berdiri juga seorang siswa SMP. Tapi, siswa ini sedang menangis.

Saya rem motor secara mendadak dan berhenti sekitar 5 meter dari mereka berdiri. Si ibu menghampiri saya. “Sampai ke Koto Raya Pak?” Tanya si ibu.

Saya menganggukkan kepala sebagai tanda iya.

“Boleh anak saya menumpang sampai ke SMP Pak?”, tanya si ibu.

“Boleh. Silakan”, jawab saya.

Lalu si ibu menyuruh anaknya untuk menumpang dengan saya. Tapi si anak enggan. Saya lihat anak ini sedang menangis. Ibunya kembali menyuruh “Ayo Nak. Cepat! Bapak ini sudah menunggu”.

Anak SMP ini akhirnya berlari menuju saya yang sudah berhenti di pinggir jalan. Dia tetap saja menangis. Sebelum sampai di tempat saya, si anak mengguncang sebuah papan reklame sambil menangis. Saya menyimpulkan bahwa anak ini sedang mengekspresikan protesnya kepada ibunya.

Akhirnya si anak mengiyakan permintaan Ibunya dan menumpang dengan saya. Saya penasaran mengapa anak ini menangis dan mengguncang papan reklame sebelum menumpang dengan saya. Saya beranikan diri bertanya kepada anak ini. “Mengapa menangis?”

Anak ini menjawab, “Saya ketinggalan mobil berangkat ke sekolah karena tadi disuruh Ibu mengasuh adik Pak”.

Saya baru tahu mengapa ibu ini membantu anaknya mencarikan tumpangan untuk anaknya. Memang di sini tidak setiap waktu ada mobil angkutan yang lewat. Jika telat, maka telat juga sampai di sekolah. Wajar kiranya kalau mobil yang membawa anak sekolah ini penuh sampai ke atapnya. Lucu memang, tapi itulah keadaan di sini. Jangan dibayangkan mobil yang mereka tumpangi adalah mobil angkutan umum seperti mini bus.
Sarana Transportasi Massal di Kampung
Mobil ini
biasa disebut oto cigak baruak,  yaitu sebuah istilah bagi mobil pick up dan dibuatkan bangku tempat duduknya sampai tiga buah bersusun di dalamnya. Anak perempuan biasanya duduk di dalam, yang laki-laki biasanya bergelantungan di belakang, dan bahkan duduk di atas atap tenda mobil. Ini mungkin alasan mengapa istilah cigak-baruak (monyet-beruk) menempel pada mobil ini.

Kok harus menangis? Takut telat sampai di sekolah?” saya kembali bertanya.

Iya pak” jawab anak ini.

Memang sekarang sudah telat? Itu di depan kita mobil yang membawa anak sekolah. Kita bisa kejar kok.” Timbal saya.

Pertanyaan saya alihkan kepada uang jajan, sebab saya masih ragu bisa jadi anak ini menangis karena uang jajannya tidak diberikan orang tua atau tidak cukup untuk bayar ongkos angkutan. “Berapa jajan sehari?”

Tujuh ribu Pak” jawabnya.

Kalau naik angkutan berapa ongkos pulang-pergi?” Lanjut saya.

“Dua ribu” jawabnya.

Berarti jajannya lima ribu?” saya mencoba menyimpulkan.

“Iya Pak. Tapi saya ada ikut julo-julo (semacam arisan). Ndak semua uang jajan itu saya habiskan” imbuhnya.

Saya mulai simpatik dengan anak ini. Pertanyaan saya lanjutkan tentang sekolah. “kelas berapa sekarang?”.

Kelas satu Pak” jawabnya.

“Semester satu dapat ranking berapa?”, lanjut saya.
Dengan semangat dia menjawab “Rangking satu Pak”.

“Hebat”. Pujian saya keluar secara spontan. Dalam hati saya berkata pantas dia menangis hanya karena takut telat sampai di sekolah. Ternyata Dia sang juara.

“Di sini Pak” Lanjutnya. Kamipun berhenti tepat di depan gerbang SMPN 3 Lengayang.


           Balaiselasa, 05 Mei 2012

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes