Seorang ibu yang sedang
mengendong anak bayinya berdiri di pinggir jalan melambaikan tangannya. Lambaian tangan ini biasanya adalah isyarat
untuk memberhentikan sebuah angkutan umum. Tidak jauh dari
tempat berdirinya si ibu, berdiri juga seorang siswa SMP. Tapi, siswa ini sedang menangis.
Saya rem motor secara mendadak dan berhenti sekitar 5 meter dari mereka berdiri. Si ibu menghampiri saya. “Sampai ke Koto Raya Pak?” Tanya si ibu.
Saya menganggukkan kepala sebagai tanda iya.
“Boleh anak saya
menumpang sampai ke SMP Pak?”, tanya si ibu.
“Boleh. Silakan”, jawab
saya.
Lalu si ibu menyuruh anaknya untuk menumpang
dengan saya. Tapi si anak enggan. Saya lihat anak ini sedang menangis. Ibunya kembali menyuruh “Ayo Nak. Cepat! Bapak ini sudah
menunggu”.
Anak SMP ini akhirnya berlari menuju saya yang
sudah berhenti di pinggir jalan. Dia tetap saja menangis. Sebelum sampai di
tempat saya, si anak mengguncang sebuah papan reklame sambil menangis. Saya
menyimpulkan bahwa anak ini sedang mengekspresikan protesnya kepada ibunya.
Akhirnya si anak
mengiyakan permintaan Ibunya dan menumpang dengan saya. Saya penasaran mengapa anak ini menangis dan mengguncang papan
reklame sebelum menumpang dengan saya. Saya beranikan diri bertanya kepada anak
ini. “Mengapa menangis?”
Anak ini menjawab, “Saya ketinggalan
mobil berangkat ke sekolah karena tadi disuruh Ibu mengasuh adik
Pak”.
Saya baru tahu mengapa ibu ini membantu
anaknya mencarikan tumpangan untuk anaknya. Memang di sini tidak setiap waktu
ada mobil angkutan yang lewat. Jika telat, maka telat juga sampai di sekolah.
Wajar kiranya kalau mobil yang membawa anak sekolah ini penuh sampai ke
atapnya. Lucu memang, tapi itulah keadaan di sini. Jangan dibayangkan mobil
yang mereka tumpangi adalah mobil angkutan umum seperti mini bus.
Mobil ini biasa disebut oto cigak baruak, yaitu sebuah istilah bagi mobil pick up dan dibuatkan bangku
tempat duduknya sampai tiga buah bersusun di dalamnya. Anak perempuan biasanya
duduk di dalam, yang laki-laki biasanya bergelantungan di belakang, dan bahkan
duduk di atas atap tenda mobil. Ini mungkin alasan mengapa istilah cigak-baruak
(monyet-beruk) menempel pada mobil ini.
Sarana Transportasi Massal di Kampung |
“Kok harus menangis? Takut telat sampai di sekolah?” saya kembali
bertanya.
“Iya pak” jawab anak ini.
“Memang sekarang sudah telat? Itu di depan kita
mobil yang membawa anak sekolah. Kita bisa kejar kok.” Timbal saya.
Pertanyaan saya alihkan kepada uang jajan,
sebab saya masih ragu bisa jadi anak ini menangis karena uang jajannya tidak
diberikan orang tua atau tidak cukup untuk bayar ongkos angkutan. “Berapa jajan
sehari?”
“Tujuh ribu Pak” jawabnya.
“Kalau naik angkutan berapa ongkos
pulang-pergi?” Lanjut saya.
“Dua ribu” jawabnya.
“Berarti jajannya lima ribu?” saya mencoba
menyimpulkan.
“Iya Pak. Tapi saya ada ikut julo-julo (semacam
arisan). Ndak semua uang jajan itu saya habiskan” imbuhnya.
Saya mulai simpatik dengan anak ini.
Pertanyaan saya lanjutkan tentang sekolah. “kelas berapa sekarang?”.
“Kelas satu Pak” jawabnya.
“Semester satu dapat ranking berapa?”, lanjut
saya.
Dengan semangat dia menjawab “Rangking satu
Pak”.
“Hebat”. Pujian saya keluar secara spontan. Dalam hati saya berkata pantas dia menangis
hanya karena takut telat sampai di sekolah. Ternyata Dia sang juara.
“Di sini Pak” Lanjutnya.
Kamipun berhenti tepat di depan gerbang SMPN 3 Lengayang.
Balaiselasa, 05 Mei 2012
Post a Comment