Di mano bumi dipijak, di situ langik dijunjuang.
Di mano sumua dikali, di situ aie disauak.
Di mano nagari dihuni, di sinan adat dipakai.
Pepatah adat ini mungkin sudah sering terdengar di telinga kita. Namun, pepatah adat ini sekarang mulai tergerus oleh nilai-nilai dan budaya yang datang dari luar seperti sifat siapa lu siapa gue atau sifat egois yang mementingkan diri sendiri dan tidak mau bermasyarakat, budaya hedonisme dan hilangnya nilai-nilai dan semangat gotong royong.
Agaknya, pepatah adat ini dapat siang dipatungkek, malam dipakalang. Karena pepatah ini mengajarkan kepada setiap anak Minangkabau untuk bisa menyesuaikan diri di manapun dia berada.
Satu di antara penyesuaian diri hidup bermasyarakat adalah pepatah hinggok mancakam tabang manumpu. Dalam konsep awalnya, pepatah ini biasa ditujukan untuk masuk dan bergabung dengan suatu kaum atau suku di Minangkabau. Contoh seorang laki-laki suku Bendang Melayu dari Kabupaten Tanah Datar menikah dengan seorang perempuan di Kabupaten Pesisir Selatan. Maka laki-laki suku Bendang Melayu ini harus mencari suku yang terdekat dengan suku asalnya di daerah Pesisir Selatan. Maka dilaksanakanlah proses adat diisi limbago dituang.
Bagi masyarakat urban Minangkabau yang tinggal di rantau, petuah itu masih tetap dipegang teguh. Aplikasinya agak sedikit berbeda. Di rantau sistem kekerabatan berdasarkan suku atau kaum bergeser menjadi sistem kekerabatan kelompok. Kelompok ini bisa dalam bentuk kelompok berdasarkan satu nagari, kelompok atas nama kecamatan atau kabupaten. Juga ada kelompok dalam bentuk kesamaan profesi atau pekerjaan. Apapun nama kelompoknya, pergeseran sistem kekerabatan itu kini menjadi sebuah kemestian. Karena kita makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.
Home > Urang Minang > Di Mano Bumi Dipijak, Di Situ Langik Dijunjuang
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment