Ketika Allah Gunakan Kata "Kami" Dalam Al-Qur'an

Selesai shalat shubuh pagi ini, seorang penceramah menyampaikan kultum (kuliah tujuh menit) dengan membahas Surah al-Hijir ayat 9.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur'an dan Kami jualah yang menjaganya.

Penceramah mengatakan dalam ayat ini Allah menyebut Nahnu nazzalna yang berarti Kami yang menurunkan. Allah tidak sebut Ana. Lalu penceramah membandingkan dengan surah al-Qadr. Katanya surah al-Qadr tidak menyebut nahnu nazzalna tapi anzalna yang berarti saya turunkan.

Saat itu saya terperanjak di tempat duduk. Sambil bergumam saya berkata dalam hati semoga penceramah ini mau belajar Bahasa Arab lebih giat lagi. Dia sepertinya keliru memahami kata anzalna. Dikiranya pelaku kata kerja anzalna adalah "saya". Padahal pelakunya juga "Kami". Hanya saja muncul dengan kata dasar berbeda. Kata anzalna berasal dari kata anzala. Sedangkan nazzalna berasal dari kata nazzala. Kedua kata ini dipahami dalam makna "menurunkan". Pelaku kata kerja ini sama-sama nahnu. In sya Allah di lain kesempatan saya akan posting terkait makna nazzala dan anzala dalam konteks turunnya al-Qur'an.

Kembali ke kasus tadi, perlu menjadi perhatian bagi semua orang betapa pentingnya pengetahuan tentang Bahasa Arab. Banyak alasan untuk belajar Bahasa Arab. Di antara alasan terpenting adalah karena ia adalah bahasa Al-Qur'an. Salah memahami dan memaknainya, berakibat salah dalam memahami sumber ajaran. Pada postingan terdahulu saya juga pernah sampaikan kekeliruan pelafalan takbir dan lafal ibadah lainnya. Di antara faktornya diduga juga karena tidak memahami Bahasa Arab.

Makna Kata "Kami" Dalam Al-Qur'an
Kurang fair juga kalau postingan ini hanya menjelaskan urgensi Bahasa Arab. Perlu juga saya komentari sekilas ayat sembilan surah al-Hijr terutama makna "Kami" yang Allah sebut dalam ayat ini.

Ada dua kemungkinan makna ketika Allah menyebut kata "Kami" dalam al-Qur'an. Pertama, kata ini dipahami dengan pengertian muadzdzam linafsihi (membesarkan/ menunjukkan ke-Mahaagungan diri-Nya). Artinya Allah menggunakan "Kami" adalah untuk menunjukkan diri-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Besar, Tuhan Yang Maha Agung.

Jika dicontohkan dalam keseharian ada juga penggunaan kata kami yang digunakan seseorang ketika berbicara. Padahal orang yang berbicara sendiri. Begitu juga ketika berbicara kepada seseorang dengan menggunakan kamu (antum), padahal lawan bicaranya hanya satu orang yang seharusnya digunakan kata ganti engkau (anta/anti).

Dalam kasus ayat di atas Allah menunjukkan ke-Mahabesaran-Nya dengan menurunkan al-Qur'an. Artinya, turunnya al-Qur'an adalah suatu peristiwa yang besar. "Aktor" dari peristiwa besar itu adalah Allah Yang Besar. Peristiwa besar itu tidak akan terwujud kecuali atas skenario Tuhan Yang Maha Besar. Tidak ada yang bisa menurunkan al-Dzikra kecuali Zat Yang Maha Besar Kuasa-Nya.

Kedua, penggunaan "Kami" dalam arti adanya keterlibatan unsur lain selain Allah. Dalam konteks turunnya al-Qur'an pada kasus ayat sembilan surah al-Hijr di atas, ada keterlibatan unsur lain dalam proses turunnya al-Qur'an yaitu Jibril a.s. Bahwa turunnya al-Qur'an kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara malaikat Jibril a.s.

Kedua makna di atas bisa dipahami  secara terpisah dan bisa juga digabung pemahamannya. Jika dipahami dalam makna pertama, maka makna "Kami Yang Menurunkan al-Qur'an" dapat dipahami bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah Yang Maha Besar. Jika dipahami dengan makna yang kedua, maka dipahami bahwa turunnya al-Qur'an kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara malaikat Jibril a.s. Kedua makna di atas pada hakikatnya tidak bertentangan. Bisa saja digabung pemahaman keduanya sehingga dipahami bahwa turunnya al-Qur'an adalah suatu peristiwa besar. Adanya Keterlibatan unsur lain pada proses turunnya al-Qur'an tidak mengurangi ke-Mahabesar-an Allah.

Contoh lain misalnya dalam penciptaan manusia. Penciptaan manusia itu adalah suatu perkara yang besar. Allah yang menciptakan manusia. Manusia terlahir dari proses perkawinan orang tua. Namun, kelahiran seorang anak tidak terwujud hanya dengan keberadaan orang tua saja. Ada keterlibatan Tuhan dalam proses itu. Tidak bisa dikatakan bahwa setiap orang yang menikah pasti punya anak. Karena keberadaan anak pasti atas izin Allah. Lihat ayat tentang penciptaan manusia yang Allah gunakan kata ganti "Kami" sebagai pelakunya.

Wallahu A'lam.

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes