Kedudukan Perempuan Menurut Model Pemahaman Tajdid

Pada postingan sebelumnya telah disampaikan penyampaian Prof. Al Yasa tentang tiga model pemahaman keagamaan. Postingan ini adalah lanjutan dari penyampaian beliau pada tema yang sama. Namun, bagian ini khusus membahas contoh model pemahaman model tajdid terkait mengangkat harkat dan kedudukan perempuan. Pemahaman yang dipakai bukan menyamakan antara perempuan dan laki-laki, tapi mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang dalam hal-hal tertentu hampir sama dengan laki-laki. Betul ada yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak bisa jadi wali nikah. Perempuan hamil dan menyusui. 

Dalam model pemahaman tajdid, perempuan bertanggung jawab untuk dirinya. Sebagaimana laki-laki bertanggung jawab terhadap dirinya. Jika kaum perempuan ingin masuk surga, maka perempuan bertanggung jawab dengan amal. Alquran tegas menyebutkan bahwa orang mukmin laki-laki dan perempuan yang beramal saleh akan diberi ganjaran oleh Allah. Tanggung jawab perempuan juga dalam hal menafkahi dirinya. Karena setiap orang bertanggung jawab menafkahi dirinya. 


Orang tua wajib mendidik anak-anaknya. Tidak hanya anak laki-laki, tapi juga anak perempuan. Anak perempuan harus disekolahkan sebagaimana anak laki-laki disekolahkan. Orang tua bisa berdosa jika tidak menyekolahkan anak perempuannya. Jika anak laki-laki dikuliahkan, maka anak perempuan juga dikuliahkan. Dalam beberapa kesempatan pengajian di rumah warga, saya biasa bertanya kepada tuan rumah, di mana anaknya sekolah. Termasuk yang ditanya anak perempuannya disekolahkan di mana.

Anak perempuan tidak boleh dikungkung di rumah. Perempuan bisa berkiprah di ruang publik. Berorganisasi adalah bagian dari ruang publik yang juga diisi oleh perempuan. Di Muhammadiyah, sebagai organisasi yang memakai model pemahaman tajdid, ada organisasi perempuan Aisyiyah dan Nasiatul Aisyiyah. 

Kalau beraktivitas di ruang publik, bagaimana dengan wajah dan suara perempuan? Ada hadis yang mengatakan wajah aurat. Tapi hadis yang mengatakan wajah tidak aurat lebih banyak. Dalam ibadah haji menggunakan cadar tidak dibolehkan. Maka di luar ibadah haji boleh memakai cadar. Tapi, tidak sunnah apalagi wajib. Begitu juga suara perempuan. Tidak ada hadis yang mengatakan suara perempuan adalah aurat. Bahkan ada sahabat yang mengetahui fulanah dari suaranya.
Tentang salat perempuan yang lebih baik di kamar. Betul ada hadis yang mengatakan itu. Tapi, ada juga hadis lain yang mengatakan kalau perempuan minta izin untuk pergi salat ke masjid dan mendengar khutbahku, kata Nabi Saw., maka tidak boleh dilarang. Makna minta izin di sini bukan sebenar-benar minta izin. Tapi perempuan yang hendak salat di masjid, harus memberi tahu mahromnya. Karena mahromnya tidak boleh melarang. Karena ada pengajian dan ceramah di masjid, maka di masjid Muhammadiyah disediakan tempat bagi perempuan yang ingin ikut mendengar khutbah, ceramah dan pengajian.
Contoh lain. Istri harus patuh pada suami dalam hal rumah tangga. Istri juga harus patuh pada orang tua suaminya. Tidak ada yang memutus hubungan anak perempuan dengan orang tuanya setelah ia menikah. Anak perempuan tetap punya hubungan dengan orang tuanya. Jika diminta memberi khutbah nikah, biasa saya sampaikan bahwa dengan menikah hubungan anak perempuan tidak putus dengan orang tuanya. Anak perempuan tetap wajib merawat orang tuanya dan orang tua suaminya. Begitu juga suami tetap wajib merawat orang tuanya dan orang tua istrinya. Laki-laki harus merasa bersalah ketika tidak bisa merawat orang tua istrinya.
Dalam konteks harta warisan. Sebelum Islam, perempuan tidak punya hak waris. Ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Saw. perihal dia yang tidak punya anak laki-laki. Kepada siapa hartanya nanti akan diwariskan. Lalu turun ayat Alquran yang mengatakan bahwa bagi perempuan ada hak warisan. 
Di indonesia ada harta bersama karena kita memberi penghargaan kepada perempuan. Tidak demikian halnya dengan perempuan di negara Islam lainnya. Mengapa ada harta bersama? Alasannya karena di Indonesia, perempuan juga bekerja. Betul suami kepala keluarga. Tapi, perempuan adalah pasangan bagi laki-laki. Status istri bukan bawahan, dan status suami bukan atasan.
Itulah di antara penyampaian Prof. Dr. H. Al Yasa Abubakar, MA., Guru Besar Fiqih UIN Arraniry Banda Aceh, dalam pengajian Muhammadiyah Cabang Kota Takengon pada hari Jumat 4 Rajab 1439 H/ 20 April 2018.
______

BACA JUGA penyampaian Prof. Al Yasa tentang:

Peran Ulama Dalam Penguatan Ekonomi Ummat

Tiga Model Pemahaman Keagamaan

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes