Sepinya Salat Zuhur dan Asar Di Kampung-Kampung

Kemarin saya berkesempatan melaksanakan salat zuhur dan asar di kampung berbeda dengan pengalaman berbeda. Kepergian saya ke kampung-kampung tersebut dalam rangka melaksanakan tugas dari instansi tempat saya bekerja. Saya ingin menyampaikan kondisi sepinya pelaksanaan ibadah salat wajib di masjid tersebut.

Salat zuhur saya laksanakan di sebuah masjid di pinggir jalan lintas antar kabupaten. Masjid ini berjarak lebih kurang satu kilometer dari kantor kecamatan dan lima ratus meter dari pasar. Salat zuhur dihadiri oleh tiga belas orang jamaah termasuk satu imam dan saya beserta anak. Di luar saya dan anak yang bukan warga setempat, hanya ada sepuluh orang makmum dan satu imam. Dilihat dari usia jamaah, dua orang jamaah berusia antara 40 sampai 50 tahunan. Sisanya antara 50 sampai 70 tahunan. Hal yang menyedihkan dari pelaksanaan salat zuhur siang itu adalah tidak ada di antara jamaah itu yang berusia di bawah 40 tahunan.

Setelah selesai salat, saya melihat ada dua orang pemuda berusia antara 30 sampai 40 tahunan. Ternyata, dua orang makmum masbuk ini adalah orang yang berhenti singgah untuk salat. Keduanya bukan warga kampung setempat.

Sebelum berangkat meninggalkan masjid ini, saya melihat ada anak muda berusia dua puluh tahunan yang pergi mandi ke tempat mandi yang ada di sebelah masjid. Semoga dia mau mewakili generasi muda yang salat di masjid ini. Tapi, sepertinya tidak ada tanda dia akan salat di masjid. Dia tidak membawa sarung. Sementara pakaiannya tidak menutup aurat.

Terbesit tanya dalam diri ini. Andai orang-orang tua yang berjamaah hari ini suatu saat meninggal, apakah masih ada salat berjamaah lima waktu di masjid ini.

Dua minggu sebelumnya, saya menemukan hal yang lebih menyedihkan. Tapi di masjid yang berbeda. Lebih kurang tiga kilometer arah timur pusat kecamatan. Namun bukan di tepi jalan lintas yang menghubung antar kabupaten. Hanya jalan yang menghubungkan antara kecamatan.

Masjid ini lebih indah dan bagus dibanding masjid di pusat kota kecamatan. Di antara kemegahan masjid ini adanya menara masjid. Namun "kemakmuran" bangunan masjid ini tidak berbanding lurus dengan "kemakmuran" pelaksanaan ibadah salat lima waktunya.

Saya sampai di masjid ini sebelum masuknya waktu zuhur. Saya berwudu di tempat wudu yang juga sekaligus tempat pemandian umum. Saya temukan ada seorang yang mencuci di sana. Ketika waktu salat masuk jam 12.35 Wib., belum ada yang datang untuk azan. Saya tidak berani lancang menghidupkan pengeras suara dan melakukan azan. Sambil menunggu ada yang datang, saya lanjutkan salat rawatib. Sampai jam 12.55 tidak ada jamaah yang datang. Akhirnya saya salat sendiri. Setelah selesai rawatib, saya keluar. Saat itu baru ada seorang yang siap mandi masuk ke masjid untuk salat zuhur.

Kesimpulan saya sementara, masjid ini hanya untuk singgah salat bagi mereka yang ingin salat. Di masjid ini tidak ada kegiatan salat berjamaah di siang hari. Mungkin karena masyarakatnya sibuk bekerja di sawah atau ladang. Entah di waktu Magrib, Isya dan Subuh. Ada kegiatan salat Jumat di masjid ini ditandai dengan adanya mimbar dan jadwal kutbah Jumat yang tertera di dinding.

Pertanyaan saya waktu itu, beginikah kondisi masjid di kampung-kampung? Mengapa pengurus masjid tidak memberi tugas khusus atau mengapa tidak ada yang mau menjalankan tugas sebagai muadzin atau imam di masjid kampung? Atau memang masjid hanya sebagai simbol keagamaan semata tanpa dimakmurkan dengan pelaksanaan ibadah. Wallahu A'lam.

Pada perjalanan pulang, saya mengambil rute berbeda. Berharap di sepanjang jalan bisa bertemu orang menjual durian. Tentunya bisa juga survey pelaksanaan salat asar di kampung yang lain.

Saya dan anak berhenti salat di sebuah masjid yang besar namun belum siap. Masjid ini terletak juga di pinggir jalan lintas yang menghubungkan antar kabupaten. Di dalam masjid telah ada dua orang. Satu muazin yang masih muda. Berusia kira-kira 25 tahun. Satu lagi bapak tua berusia kira-kira 70 tahun. setelah selesai tahiyatul masjid, datang satu jamaah lagi berusia kira-kira 50 tahun. Beliau ternyata yang jadi imam memimpin salat. Total hanya ada satu imam dan empat orang makmum termasuk saya dan anak saya. Terkahir, datang satu orang makmum masbuk berusia kira-kira 4o tahunan.

Dari tiga masjid di atas, ada kesedihan yang mendalam bagi saya. Betapa masjid yang ada tidak difungsikan untuk pelaksanaan ibadah lima waktu. Penyebabnya bisa beragam.

Hal lain yang menjadi perhatian saya tidak adanya anak muda yang salat di masjid. Masjid yang menyelenggarakan salat, ternyata didominasi oleh jamaah yang sudah tua-tua. Andai generasi tua ini meninggal, maka tinggallah masjid sebagai bangunan tempat salat Jumat saja. Semoga satu masjid yang tidak melaksanakan salat zuhur itu bukan karena generasi tuanya telah meninggal semua.




Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes