Awal Tahun Hijriah

Firman Allah dalam Surah al-Taubah ayat 36

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ...
“Sesungguhnya hitungan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan dalam kitab (ketetapan) Allah pada hari Dia ciptakan langit dan bumi; di antaranya ada empat bulan mulia, itulah agama yang lurus, maka janganlah kalian berbuat aniaya terhadap diri kalian di dalamnya...”. (Q.S. At-Taubah: 36)



Kita telah meninggalkan tahun 1439 hijriah dan berada pada bulan Muharram tahun 1440 hijriah. Agar pergantian bulan dan tahun tidak berlalu begitu saja tanpa ada peringatan dan pelajaran bagi kita, maka melalui kesempatan Jumat ini kami sampaikan tiga hal yang perlu jadi perhatian bagi kita di awal tahun hijriah ini.

Pertama, tahun terjadinya peristiwa hijrah adalah titik tolak dasar perhitungan tahun dalam Islam yang digagas di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Karena peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw adalah peristiwa besar dalam sejarah dan juga punya banyak aspek dalam ajaran Islam, maka tidak ada salahnya kita mengambil hikmah dari peristiwa hijrah tersebut. Di antaranya, 1) Hijrah adalah upaya mempertahankan keimanan. 2) Hijrah mesti didasari dengan niat yang ikhlas karena Allah, bukan karena tujuan duniawi.

Nabi dan para sahabat yang berhijrah meninggalkan kampung halaman, tanah kelahiran yang di cintai. Di sana mereka dibesarkan. Ada banyak kenangan mereka di tanah itu. Di sana juga mereka punya penghidupan. Sedangkan di tempat yang baru, belum jelas apa sumber penghidupan mereka. Tidak ada saudara, sanak famili dan handai tolan di sana. Tapi karena hijrah adalah perintah Allah. Di samping itu, juga ada desakan dan tekanan yang kuat terhadap kaum muslimin dari pihak kafir sekampungnya. Maka hijrahnya Nabi Muhammad Saw dan para sahabat adalah dalam rangka mempertahankan keimanan yang ada, meskipun harus meninggalkan tanah kelahirannya.

Bagi kita yang berhijrah dengan meninggalkan perbuatan dosa di masa lalu, berpindah kepada kondisi dengan tekad yang kuat untuk senantiasa beramal saleh, maka hendaknya kita berhijrah juga dalam rangka mempertahankan keimanan kita. Sebagai bukti bahwa kita adalah orang-orang yang beriman, mari kita berhijrah dengan meninggalkan kebiasaan jelek menuju kebiasaan baik. Mari kita berhijrah dari memakan riba menuju sistem keuangan yang bebas riba. Mari kita berhijrah dari tidak menutup aurat menuju amal saleh dengan menutup aurat. Mari kita berhijrah dengan meninggalkan perbuatan dosa kecil. Pendek kata, hendaknya sebagai pembuktian keimanan yang ada dalam diri kita, mari kita berhijrah meninggalkan tradisi jelek menuju tradisi yang baik.

Bagi kita yang berhijrah, hendaknya juga didasari dengan niat yang ikhlas karena Allah. Bukan karena tujuan duniawi. Dalam hadis yang sangat populer disampaikan oleh ‘Umar bin Khatab, bahwa Rasulullah bersabda

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan untuk apa dia hijrah.
Bagi kita yang berniat dan bertekad untuk melakukan perubahan dalam diri, sikap dan perilaku kita. Sekecil apapun niat dan tekad itu, hendaknya didasari dengan niat yang ikhlas.

Kedua, momentum pegantian tahun hendaknya juga kita gunakan dalam rangka instrospeksi diri kita. Mari kita menghisab amal perbuatan kita di tahun yang lalu dan mempersiapkan amal soleh untuk tahun yang akan datang. Dalam surah al-Hasyr Allah perintahkan kepada orang beriman untuk bertakwa kepada Allah dan melihat, atau mengevaluasi apa yang telah mereka perbuat untuk hari esok. Hari esok dimaknai dalam kehidupan dunia dan juga esok dalam pengertian kehidupan akhirat. Maka bagi kita yang telah mengevaluasi masa lalu, kurang bijak kiranya jika tidak memperbaiki kesalahan dan kekurangan masa lalu itu.

Ketiga, Kaitan dengan bulan Muharram. Kita disunnahkan berpuasa tasu’a dan 'Asyura. Dalam sebuah hadis dari Ibnu 'Abbas Rasulullah bersabda

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالُوا: هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْهَرَ اللهُ فِيهِ مُوسَى، وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ

Dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata: "Rasulullah hadir di kota Madinah, kemudian beliau menjumpai orang Yahudi berpuasa di bulan ‘Asyura, kemudian mereka ditanya tentang puasanya tersebut, mereka menjawab: hari ini adalah hari di mana Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Musa AS dan Bani Israil atas Firaun, maka kami berpuasa untuk menghormati Nabi Musa. Kemudian Nabi bersabda: Kami (umat Islam) lebih utama dengan Nabi Musa dibanding dengan kalian, Kemudian Nabi Muhammad memerintahkan untuk berpuasa di hari ‘Asyura." 

Dalam riwayat lain, para sahabat kemudian bertanya pada Nabi, bahwa hari ‘Asyura adalah hari yang dimuliakan oleh orang Yahudi dan Nasrani. Kemudian Nabi bersabda: Insya Allah tahun depan kita berpuasa di hari yang ke Sembilan. Dari hadis tersebut di atas, Imam Syafii berpendapat bahwa sunat hukumnya berpuasa di hari Sembilan (Tasu'a) dan sepuluh ('Asyura) di bulan Muharram. Karena Nabi telah melaksanakan puasa di hari ‘Asyura dan berniat puasa di hari ke Sembilan di bulan Muharram. Puasa di hari ke sembilan memiliki tujuan untuk membedakan antara puasa orang Islam dan orang Yahudi. Dari beberapa riwayat hadis di atas ulama menyimpulkan bahwa sunat hukumnya  untuk berpuasa di hari ke Sembilan dan hari kesepuluh bulan Muharram, dan makruh hukumnya jika kita hanya puasa di hari ke sepuluh saja karena ada keserupaan dengan orang Yahudi.
_____
Disampaikan pertama kali dalam khutbah Jumat di Masjid Al-Abrar Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah pada tanggal 4 Muharram 1440 H/ 14 Agustus 2018 M

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes