Sarung, Peci dan Baju Koko

Beberapa waktu yang lalu pernah ada dua orang pemuda yang datang ke mushalla menjelang salat Isya. Ia tidak masuk ke dalam mushalla. Ia hanya berdiri di pagar lalu memanggil seseorang dari dalam mushalla. Keluarlah salah seorang pengurus musahalla. Lalu dua orang pemuda ini memberikan dua buah amplop kepada pengurus. Setelah itu, dua pemuda in berlalu tanpa masuk ke dalam mushalla.

Sebelum sampai di mushalla, kedua pemuda ini sempat menanyakan pak imam kepada seseorang. Barangkali, ia bermaksud menitipkan dua aplop tersebut kepada pak imam. Berhubung pak imam sudah berangkat ke mushalla, maka kedua pemuda ini terus ke mushalla. Tapi, hanya sampai pagar dan tidak masuk ke dalam.

Saya menduga, kedua pemuda ini memberikan amplop berisi uang untuk membayar zakat fitrah karena memang sedang berlangsung penerimaan zakat fitrah di mushalla ini. Atau jika bukan zakat fitrah, bisa juga ia menitipkan sumbangan untuk anak yatim atau infak pembangunan mushalla.

Saya lantas bertanya sendiri di dalam hati. Apa gerangan yang terjadi dengan kedua pemuda ini. Mengapa ia tidak mau masuk ke mushalla? Apa karena yang datang ke mushalla umumnya orang tua-tua berusia 45 tahun ke atas? Mungkinkah ia memang tidak pernah diajak untuk datang ke mushalla sejak kecil sehingga tidak terbiasa datang ke mushalla? Ataukah karena ia tidak merasa nyaman datang ke mushalla karena tidak pakai sarung, peci dan baju koko? Jawaban pasti tentu kedua orang pemuda ini yang tahu.

Semoga ia tidak masuk ke mushalla bukan karena takut datang ke mushalla karena di waktu kecil pernah dipersekusi oleh jama'ah. Karena di sebagian tempat ada jama'ah yang tua-tua menghardik atau memarahi anak-anak karena mengganggu kekhusyukan ibadah.

Jika keduanya tidak ke mushalla hanya karena ia tidak memakai sarung, baju koko dan peci, tentu ini keliru. Ada anggapan pada sebagian masyarakat bahwa untuk salat di masjid atau mushalla harus menggunakan pakaian khusus berupa sarung, peci dan baju koko. Memang kedua pemuda ini tidak memakai sarung, peci dan baju koko. Mereka memakai celana jeans. Satu orang memakai kaos oblong dan satu orang lagi memakai kemeja lengan pendek. Tapi, mereka terlihat rapi.

Dalam keseharian kita melihat umumnya orang datang ke masjid atau mushalla menggunakan sarung, berbaju koko dan memakai peci. Bahkan ada juga yang memakai gamis layaknya pakaian orang di Arab. Kalaupun ada orang yang tidak pakai sarung, baju koko atau pakaian khusus, paling tidak umumnya selalu ke masjid atau mushalla memakai peci atau songkok.

Ada di beberapa tempat, peci dijadikan syarat untuk melakukan pekerjaan tertentu. Jika tidak memakai peci, maka dianggap tidak sopan atau tidak beradat. Seperti kegiatan mamanggia baralek (mengundang untuk datang ke pesta atau hajatan)  atau saat manatiang/manghidang (menghidang) makanan pada acara baralek. Pantang secara adat melakukan ini tidak pakai peci atau kupiah.

Tidak ada yang salah dengan memakai peci, sarung dan baju koko tersebut ke masjid atau mushalla. Pakaian tersebut bahkan sudah menjadi ciri tersendiri seperti pakaian santri di nusantara. Namun, menganggap sarung, baju koko dan peci sebagai pakaian khusus ke masjid atau mushalla juga kurang tepat. Anggapan ini hanya akan menguntungkan penjual pakaian saja. Lihatlah iklan sarung dan baju koko ramai di media jauh hari sebelum ramadhan. Sama halnya seperti iklan sirup yang seolah-olah diidentikkan dengan minuman berbuka atau berhari raya.

Menarik informasi yang disampaiakan Prof. Irwan Abdullah, seorang antropolog yang juga merupakan guru besar antropologi di Universias Gajah Mada Jogjakarta. Menurutnya, dalam anggapan sebagian masyarakat di Bantul, agama terlalu arogan dan punya supremasi yang tinggi. Ia mencontohkan solat harus pakai baju koko, peci, dan sarung. Petuah agama itu terlalu tinggi dan tidak bisa dicerna oleh masyarakat pinggiran di Bantul. Ada sebuah pengajian, bernama pengajian Padang Bulan yang diasuh Emha Ainun Najib. Emha mengatakan, "Kamu nggak usah sombong di hadapan Tuhan. Lebih baik kamu solat dengan pakaian ke sawah dan sederhana di pematang sawah dari pada tidak solat karena alasan pakaian tidak bagus". Akhirnya pengajian padang bulan ini diikuti banyak orang. Artinya, dalam konteks ini Emha “menurunkan” standar agama sehingga dipakai oleh orang miskin di pedesaan.

Betapa banyak orang tidak ke masjid atau mushalla untuk solat dengan alasan pakaian tidak rapi. Ada orang yang beraktifitas di sekitar masjid, lalu saat ada panggilan azan mereka tidak solat ke masjid. Mereka tidak percaya diri untuk beribadah hanya karena pakai baju kaus, tidak pakai sarung atau tidak ada peci. Solat tidak mengharuskan tiga jenis pakaian ini. Solat hanya mengharuskan pakaian yang dipakai itu bersih tidak mengandung najis dan menutup aurat.

Tidak salah memakai sarung, baju koko dan peci ke masjid. Tapi salah jika menganggap ketiganya syarat untuk sahnya beribadah. Semoga bermanfaat.  


Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes