Pertama, terjadinya gerhana adalah mutlak kuasa Allah bukan semata-mata fenomena alam belaka.
Allah yang menciptakan matahari, bumi dan bulan. Allah yang menjadikannya berputar pada sumbunya dan beredar menurut garis edarnya. Firman Allah dalam surah Yasin ayat 37 sampai ayat 40
وَءَايَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ(37)وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ(38)وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ(39)لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ(40)
Suatu tanda juga (atas kekuasaan Allah) bagi mereka adalah malam. Kami pisahkan siang dari (malam) itu. Maka, seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan. (Suatu tanda juga atas kekuasaan Allah bagi mereka adalah) matahari yang berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan
(Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Begitu juga) bulan, Kami tetapkan baginya tempat-tempat peredaran sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir,) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S. Yaasiin/36:37-40)
Dalam surah al-Mu’minun ayat 23 juga disebut demikian. Wa huwalladzi khalaqallaila wannahara wassyamsa walqamara kullun fi falakiyyasbahuun. Allahlah yang menjadikan malam dan siang, matahari dan bulan. Semuanya itu beredar pada garis edarnya.
Tidak patut dan tidak pantas bagi orang yang beriman kepada Allah untuk mengatakan bahwa terjadinya gerhana bulan ataupun gerhana matahari sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat kita dulu ketika belum mengenal agama. Sebagian masyarakat Indonesia dulu membunyikan kentongan ketika terjadi gerhana. Dalam keyakinan mereka gerhana bulan terjadi karena raksasa jahat memakan bulan. Maka mereka memukul gentongan bersama-sama untuk mengusir raksasa tersebut. Atau seperti keyakinan masyakarat Arab sampai saat terjadinya gerhana di masa Nabi Muhammad Saw. Masyarakat jahiliyah meyakini bahwa gerhana terjadi berkaitan dengan kelahiran atau kematian seseorang.
Kedua, bagaimana sikap kita ketika terjadi gerhana. Pada masa Rasulullah SAW. Pernah terjadi gerhana matahari. Gerhana tersebut terjadi setelah kematian anak beliau Ibrahim bin Muhammad. Persis seperti keyakinan masyarakat jahiliyah, bahwa gerhana terjadi karena kematian putra Baginda Rasulullah SAW. Namun, Rasulullah SAW membantah keyakinan tersebut dan memerintakan ummat muslim untuk berdoa kepada Allah, mengumandangkan takbir, shalat gerhana dan bersedekah.
Dalam hadis yang disampaikan oleh Aisyah RA:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Dari Aisyah bahwasanya dia berkata, “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah SAW. Kemudian beliau mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau berdiri dalam shalatnya dengan berdiri yang lama, kemudian rukuk dengan memanjangkan rukuknya, kemudian berdiri dengan lama berdirinya, namun tidak selama yang pertama. Kemudian beliau rukuk dan memanjangkan rukuknya, namun tidak selama rukuknya yang pertama.
Kemudian beliau sujud dengan memanjangkan sujudnya, beliau kemudian mengerjakan rakaat kedua seperti pada rakaat yang pertama. Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau menyampaikan khutbah di hadapan orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya.
Lalu bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidaklah gerhana itu disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.” (HR al-Bukhari, hadirs nomor 986).
Demikianlah yang diajarkan oleh Islam bagaimana sikap kita terkait apa yang disebut oleh sebagian orang dengan istilah fenomena alam. Masyarakat primitif dulu menyembah matahari, bulan atau yang disimbolkan/ dipersonkan dalam bentuk patung atau dewa seperti dewa matahari, dewa bulan dan sebagainya. Dalam keyakinan masyarakat Romawi disediakan hari tertentu untuk menyembah dewa tertentu. Sunday sebagai hari dewa matahari. Monday sebagai hari menyembah dewa bulan. Saturday sebagai hari menyembah dewa saturnus.
Tidak demikian dengan Islam. Islam menyebut nama hari dengan istilah ahad, itsnain, tsulatsa, rabi', khomis, jum'ah dan sabt. Di Indonesia penamaan hari itu berasal dari nama hari dalam istilah Islam tersebut. Islam tidak membawa embel-embel penyembahan dewa atau berhala dalam nama hari. Islam melarang menyembah matahari dan bulan. Islam memerintahkan kita menyembah Allah Sangat Pencipta matahari, bulan dan semua makhluk. Firman Allah dalam surah al-Fushilat ayat 37
وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.
Demikianlah ajaran Islam menyikapi kekuasan Allah yang sebenarnya bukan fenomena alam semata.
Ketiga, mari kita introspeksi diri kita. Istilah populer yang sering disampaikan oleh ustadz atau buya adalah muhasabah, menginstropeksi diri sendiri.
Sudahkah doa, takbir, sholat dan sedekah kita sejalan dengan ketentuan Allah SWT? Apakah kita berdoa sebagai wujud tawadu' kita kepada Allah atau bentuk keserakahan kita yang menginginkan semuanya melampaui kebutuhan dan kesanggupan kita menerimanya sehingga melupakan ketentuan Allah dalam berdoa. Doa adalah perintah Allah Yang serba Maha. Kita manusia punya keterbatasan. Dalam rangkaian ayat puasa kita tahu bahwa perintah berdoa dibarengi dengan prasyarat memenuhi perintah Allah SWT.
Begitu juga dengan takbir yang kita kumandangkan. Apakah hanya sebatas kata-kata yang kita bantah dengan sikap dan perbuatan kita. Kita katakan Allah Maha Besar. Tapi perbuatan kita lebih membesarkan pekerjaan, membesarkan harta. Terdengar oleh kita panggilan azan. Tapi kita anggap kecil panggilan itu. Karena pekerjaan kita belum selesai. Saat itu kita mengecilkan panggilan Zat Yang Maha Besar dan membesarkan pekerjaan kita.
Demikian juga dengan sedekah kita. Mari kita instrospeksi bersama. Masihkah kita tetap bersedekah kendatipun Ramadhan telah berlalu? Bagi yang masih tetap bersedekah, sudahkah sedekah kita bebas dari pamrih dan pujian dari yang menerima? Apakah sedekah kita masih membedakan orang yang taat dan yang kurang taat beragama? Banyak pertanyaan yang bisa kita tanyakan kepada diri kita dan hanya kita yang tahu jawabanya.
Keempat sebagai bagian dari masyarakat modern yang hidup di era pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, kita dibantu oleh ilmu pengetahuan untuk meyakini kejadian gerhana tanpa mengaitkannya dengan mitos tertentu. Dengan ilmu hisab atau lebih luasnya ilmu astronomi, kita dapat menghitung kapan akan terjadi gerhana berikutnya. Kita dapat menghitung waktu kapan matahari akan terbit, tergelincir, terbenam atau menghitung waktu shalat sampai sekian tahun yang akan datang. Dengan ilmu hisab juga kita dapat menghitung berapa hari umur satu bulan. Itulah kecanggihan ilmu hari ini. Tapi, ilmu tersebut tidak dapat mengetahui kapan terjadinya kiamat. Carilah ilmu sebanyak-banyaknya, sehingga dengan ilmu tersebut semakin kuat keimanan kita kepada Allah. Sehingga setinggi-tingginya ilmu manusia, masih terbatas oleh ilmu Allah. Terakhir, doa kita semoga terjadinya gerhana dapat lebih memperkuat iman kita kepada Allah SWT. Sehingga kita semakin taat, ibadah kita semakin baik. Aamiin