Pada postingan sebelumnya telah disampaikan pengertian tafsir secara etimologi, maka pada postingan kali ini akan disampaikan pengertian tafsir secara terminologi. Dalam hal ini juga terdapat beberapa
perbedaan pendapat, di antaranya:
a.
Pendapat
Abd al-Azhîm al-Zarqânî dalam Manâhil al-'Irfân fî 'Ulûm al-Qur`ân
mengatakan:
"ilmu yang
membahas tentang al-Qur`ân dari segi dilâlah-nya berdasarkan maksud
yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia"
b.
Menurut
Khâlid bin Utsmân al-Tsabt dalam Qowâ'id al-Tafsîr, tafsir adalah:
"Ilmu yang
membahas tentang keadaan al-Qur`ân dari segi dilâlah-nya
berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia"
Ada beberapa titik perhatian rumusan tafsir dari definisi
yang diberikan al-Zarqânî dan Khâlid bin Utsmân al-Tsabt, yaitu:
1)
Membahas
tentang al-Qur`ân
Ilmu ini hanya membahas ilmu al-Qur`ân. Maka tidak termasuk ke dalam
kategori ini ilmu-ilmu lain.
2)
Membahas
maksud ayat
Berdasarkan definisi di atas, maka hal-hal di luar pembahasan yang
berhubungan dengan maksud ayat tidak dikategorikan kepada tafsir seperti ilmu rasm,
ilmu qira'at.
3)
Sesuai
dengan kemampuan manusia
Penafsiran yang dilakukan terhadap al-Qur`ân adalah sebatas kemampuan
manusia. Dengan kata lain, hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia
bukanlah termasuk lapangan kajian tafsir. Tidak perlu memaksakan diri untuk
mengetahui tafsir al-Qur`ân karena dapat menyeret mufasir kepada
penafsiran-penafsiran yang menyimpang dan melewati batas.
c.
Dalam al-Mu'jam
al-Wasîth disebutkan bahwa tafsir al-Qur`ân adalah:
"Penjelasan
makna al-Qur`ân dan menghasilkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah
dan hukum-hukum dari ayatnya."
Fokus tafsir dari definisi di atas adalah dengan
menjelaskan makna al-Qur`ân akan diperoleh darinya kaidah-kaidah,
rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum. Artinya, sasaran akhir tafsir
adalah mengeluarkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan
hukum-hukum.
d.
Pendapat
al-Imam Muhammad al-Thâhir bin 'Âsyûr:
"Tafsir
adalah nama ilmu yang membahas tentang penjelasan makna-makna dari lafaz al-Qur`ân
dan apa yang dihasilkan dari pembahasan tersebut, baik berupa keringkasan atau
penjabaran"
Pengertian ini menyebutkan tafsir dengan ilmu. Kendatipun
tujuannya sama dengan definisi pada poin c, namun di sini disebutkan adakalanya
tafsir berupa peringkasan dan adakalanya ia berupa penjabaran.
e.
Pendapat
Syaikh Thâhir al-Jazirî dalam al-Taujîh:
شرح اللفظ المستغلق عند السامع بما هو أفصح عنده بما يرادفه
أو يقاربه أو له دلالة عليه بإحدى طرق الدللات[5]
"Menerangkan
maksud lafaz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih
memperjelas kepada maksud barunya, baik dengan mengemukakan sinonimnya, kata
yang mendekati sinonimnya atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai
petunjuk melalui suatu jalan dalâlah."
Titik
perhatian dari rumusan ini adalah lafaz yang sulit dipahami. Untuk memahaminya
ada beberapa cara yang dapat ditempuh yaitu:
1) Mencarikan lafaz lain yang semakna dengan kata tersebut
(sinonim kata).
2) Mencarikan lafaz-lafaz yang mendekati sinonim lafaz yang
sulit dan rumit untuk dipahami.
3) Menguraikan atau menjelaskan maksud lafaz-lafaz yang
sulit dipahami tersebut.
f.
Pendapat
Syaikh al-Jurjanî dalam al-Ta'rîfât:
"Tafsir
ialah menjelaskan makna ayat dari segala aspek persoalan, kisah, asbâb al-Nuzûl, dengan menggunakan lafaz yang menunjukkan kepadanya secara
terang"
Titik
perhatian dalam rumusan ini ialah ayat al-Qur`ân yang merupakan kelompok yang
terpadu dari lafaz-lafaz. Tafsir menurut al-Jurjanî adalah kajian yang membahas
al-Qur`ân dari segi:
1)
Persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan makna ayat.
2)
Kisah-kisah
yang terdapat di dalam al-Qur`ân.
3)
Asbâb
al-Nuzûl
g.
Sementara
al-Zarkasiy merumuskan tafsir dengan:
علم يعرف به كتاب الله
المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم و بيان معانيه و استخراج احكامه و حكمه[7]
"Ilmu
untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi, menjelaskan maknanya
serta mengeluarkan hukum atau hikmah darinya"
h.
Rumusan
tafsir menurut al-Kilbî dalam al-Tashîl:
"Menguraikan
al-Qur`ân dan menguraikan maknanya, memperjelas makna tersebut sesuai dengan
tuntutan nash atau adanya isyarat yang mengarah ke arah penjelasan tersebut
atau dengan mengetahui rahasia terdalamnya."
Titik
perhatian kedua definisi terakhir ini adalah persoalan:
1)
Pemahaman
terhadap al-Qur`ân.
2)
Menjelaskan
makna ayat.
3)
Mengeluarkan
hukum-hukum.
4)
Menggali
hikmah-hikmah Titik fokus definisi ini adalah ilmu.
Hanya saja al-Zarkasiy menyebutnya dengan ilmu, sedangkan
al-Kilbî tidak menyebutnya sebagai ilmu. Kedua definisi ini lebih mengacu dan
lebih mengarah kepada urgensi tafsir karena tujuan utama tafsir adalah usaha
yang dilakukan dalam memahami al-Qur`ân, mengeluarkan hukum-hukum serta
mengambil pelajaran-pelajaran yang terdapat di dalam al-Qur`ân.
Menurut Ruysdi AM, ketika mengomentari berbagai definisi
tafsir[9], sepertinya ada kesepakatan tentang tafsir dikontekskan sebagai
"ilmu" yang instrumental dalam membahas al-Qur`ân. Sedangkan
selebihnya dihubungkan dengan "orientasi" detail dan general
kajiannya. Tafsir belum lagi dipisahkan antara sebagai "konsep ilmu"
dan sebagai "konsep metodik", sehingga ketika ia dibahas cenderung
menimbulkan kerancuan yang kemudian akan berimplikasi pula terhadap wacananya.
Contoh kongkrit tentang kerancuan ini adalah di satu sisi rumusan tafsir
membicarakan tentang proses penurunan dan klasifikasi teks al-Qur`ân, dan di
sisi lain rumusan ini membicarakan kegiatan kajian teks al-Qur`ân yang
menghasilkan produk hukum dan lainnya. Sudah semestinya perlu ada pemisahan
aspek yang termasuk ke dalam rumusan definisi di mana ia berposisi sebagai ilmu
dan di mana pula ia sebagai metode.
Jalan tengah untuk merumuskan kembali definisi klasik tafsir
ini agaknya perlu dua rumusan yang berbeda paradigmanya. Pertama, tafsir
sebagai ilmu dengan definisi yang merumuskan aspek-aspek terkait seperti asbâb
al-nuzûl, makkiyah dan madaniyyah, muhkam dan mutasyabih, nâsikh dan mansûkh, 'âm dan khâsh, mutlaq dan muqayyad,
mantûq dan mafhûm, amtsâl, kisah dan lain sebagainya yang berhubungan dengan persoalan instrumental.
Kedua, tafsir sebagai metode dengan definisi yang merumuskan aspek-aspek
terkait seperti petunjuk-petunjuk, hukum-hukum, perintah dan larangan, halal
dan haram, janji dan ancaman, makna-makna dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan produktifitas.
Dengan demikian, tafsir mempunyai dua "wajah";
ada ilmu yang membahas sesuatu yang berkenaan dengan al-Qur`ân (aspek
ekstrinsik) dan ada pula cara mengkaji sesuatu yang terkandung dalam al-Qur`ân
(aspek intrinsik). Pemaknaan tafsir ke dalam dua pilahan ini tetap dibenarkan
dan sah karena tidak menyimpang dari makna dasar dan makna pengembangannya.
Rif'at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan meramu beberapa
definisi di atas menjadi:
"Usaha yang bertujuan menjelaskan al-Qur`ân atau
ayat-ayatnya atau lafaz-lafaznya agar
yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit
dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga al-Qur`ân sebagai pedoman hidup
manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan demi tercapinya
kehidupan dunia dan akhirat."[10]
Dari pengertian tafsir ini dapat ditarik beberapa unsur
pokok yang harus diperhatikan dalam memahami pengertian tafsir dan hal ini juga
bisa dijadikan pedoman bagi seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur`ân sehingga
usaha yang dilakukan dalam rangka menafsirkan al-Qur`ân menemukan sasaran yang
dituju. Unsur-unsur pokok itu adalah: [11]
a.
Hakekatnya
adalah menjelaskan maksud ayat al-Qur`ân yang sebagian besar masih dalam bentuk
yang sangat global.
b.
Tujuannya
untuk memperjelas apa yang sulit dipahami dari ayat-ayat al-Qur`ân, sehingga
apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. dalam firman-Nya itu dapat dipahami dan
dihayati.
c.
Sasarannya
agar al-Qur`ân sebagai pedoman hidup dan hidayah dari Allah benar-benar
berfungsi sebagaimana tujuan al-Qur`ân diturunkan.
d.
Sarana
pendukung pekerjaan menafsirkan al-Qur`ân itu meliputi beberapa ilmu yang
berhubungan dengan al-Qur`ân.
e.
Upaya
menafsirkan al-Qur`ân bukan untuk mengatakan demikianlah yang pasti dikehendaki
oleh Allah Swt. dalam firman-Nya. Namun, pencarian makna itu hanyalah menurut
kadar kemampuan manusia dengan segala keterbatasannya.
Dari pembahasan di atas dapat diketahui ternyata
penafsiran terhadap al-Qur`ân memang seharusnya merupakan sebuah upaya yang
sungguh-sungguh sehingga keberadaan al-Qur`ân sebagai petunjuk dan pedoman
dapat dirasakan oleh manusia. Tentunya seberapa besar kemampuan dan kesungguhan
manusia, tetap itu adalah upaya dalam pandangan dan jangkauan manusia.
Kendatipun penafsiran itu hanya sebatas kemampuan manusia—yang bisa jadi benar
dan sesuai dengan maksud yang dituju oleh Allah Swt. sebagai yang punya al-Qur`ân,
atau tidak sesuai sama sekali—dalam memahaminya, tapi upaya yang sungguh-sungguh
itu dituntun, diarahkan dan punya dasar dan perangkat keilmuan yang jelas. Jika
ia dilaksanakan dengan dasar, tuntunan, sistem dan metode yang benar, maka
sangat kecil kemungkinan upaya penafsiran itu jauh atau tersesat dari
kebenaran.
[1] Muhammad ‘Abd al-Azhîm
al-Zarqânî
(selanjutnya ditulis al-Zarqânî), Manâhil al-'Irfân fî 'Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr Ihya'
al-Turats al-Arabiy, 1995), cet. ke-1, juz ke-2, h. 334.
[2] Khâlid bin Utsmân al-Tsabt (selanjutnya ditulis al-Tsabt), Qowâ'id al-Tafsîr Jam'an wa Dirâsasatan,
Arab Saudi: Dâr
ibn 'Affân,
1997), jilid ke-1, cet. ke-1, h. 29.
[5] Rif'at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan (selanjutnya ditulis Rif'at),
Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. Ke-2, h. 140.
[7] Badr al-Dîn Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Bahâdir al-Zarkasyî
(selanjutnya ditulis al-Zarkasyî),
al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur`ân, (di-tahqîq oleh Muhammad
Abû al-Fadhl Ibrâhîm), (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1957), juz ke-2, h. 163-164.
[9] Lihat Rusydi AM, Ulumul Qur'an I, (Padang: IAIN IB Press,
1999), cet ke-1, h. 123-124.
[10] Rif'at, op. cit., h. 143.
[11] Ibid.
Post a Comment