Kata
sunnah berasal dari bahasa Arab سنة (sunnah). Secara bahasa, kata السنة
(al-sunnah) berarti السيرة حسنة كانت أو قبيحة (Ibn Manzhûr, 2003: VI/716) (perjalanan
hidup yang baik atau yang buruk). Pengertian di atas didasarkan kepada hadis
Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:
من سن في الإسلام سنة حسنة
فله أجرها و أجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء. و من سن سنة سيئة
فعليه وزرها و وزر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء.
Artinya:
Barangsiapa membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya
sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah yang buruk maka dia akan memperoleh
dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa
mereka sedikit pun.
Para
ahli hadis (muhadditsûn), ahli ushûl (ushûliyyun), dan ahli fiqh (fuqahâ’)
berbeda pendapat dalam memberikan batasan makna atau pemakaian istilah hadis
dan sunnah.
Menurut
ahli hadis, sunnah, sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb,
adalah:
كل ما أثر عن النبي صلى
الله عليه و سلم، من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة سواء أ
كان قبل البعثة … أم بعدها.( ‘Ajjâj
al-Khathîb, 1989: 19)
Artinya:
Setiap perkataan, perbuatan, persetujuan, bentuk fisik, akhlak, atau perjalanan
hidup yang diriwayatkan dari Nabi Saw baik sebelum menjadi rasul … atau
sesudahnya.
Diantara
persoalan yang menonjol yang diangkatkan dari pengertian sunnah di atas adalah
masuknya unsur sebelum kenabian kedalam pengertian sunnah.
Didasarkan
pada sejarah kehidupan Muhammad, maka diperoleh fakta bahwa sikap dan perilaku
Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi/rasul sangat baik, hal ini dapat
diperhatikan dari informasi berikut:
Perjalanan
hidup Nabi Saw, merupakan bagian dari perjalanan hidupnya yang harum, seperti
pertapaannya di gua hira’, perjalanan hidupnya yang baik dan perbuatannya yang
mulia sebelum kenabian. Karena perjalanan hidupnya sebelum kenabian termasuk
keimanan kepada keberadaan Nabi Saw dan membenarkannya dalam klaim risâlah.
Sayyidah Khadîjah Ra menyatakan perjalanan hidupnya yang baik dan perbuatannya
yang mulia sebelum kenabian, bahwa Muhammad menduga Allâh akan menghinakannya
ketika dia kembali kepada Khadijah dari Gua Hirâ’ yang menggetarkan jantungnya
setelah didatangi Malaikat. (Muhammad) berkata kepadanya: “Aku takut pada
diriku. Al-Sayyidah Khadîjah berkata: “
كلا و الله ما يحزيك الله
أبدا، إنك لتصل الرحم و تحمل الكل و تكسب المعدوم و تقري الضيف و تعين على نوائب
الحق.
Artinya:
Tidak, Allâh tidak akan menghinakanmu selamanya. Karena engkau menyambung
shilaturrahmi, menanggung kesulitan, mencari yang hilang, memuliakan tamu dan
menolong dalam mewakili kebenaran.
Dalam
riwayat al-Bukhâriy dalam Kitâb al-Tafsîr (تصدق الحديث) demikian pula dalam riwayat Muslim.
Kisah
ini dimuat dalam Shahîh al-Bukhâriy, Kitab Bad al-Wahy [I] Bab 3 hadis nomor 3.
(al-Bukhâriy, 2004: 13)
Ini
merupakan sejarah seorang yang dikreasikan Allâh sendiri dan dipersiapkan untuk
mengemban risalah penutup ini, maka Allâh Swt memelihara Nabi Saw sebelum
risalah, dan mencegahnya dari sesuatu yang hina, sehingga sejarahnya sebelum
risalah tidak menjadi sebab berpalingnya masyarakat darinya dan dari dakwahnya.
Allâh SWT memilih orang yang layak untuk mengemban risalah-Nya dan bisa
melaksanakan kewajibannya sebagaimana firman Allâh SWT:
الله يصطفي من الملائكة
رسلا و من الناس (Q.
S. Al-Hajj/23: 75).
Dan
sebagaimana firman Allah SWT
الله أعلم حيث يجعل رسالته (Q. S. al-An’âm/6: 124).
Allâh
SWT tidak memilih untuk mengembannya orang yang menjadi sebab berpalingnya
masyarakat dari risalahnya. Justru itu, sejarahnya dapat dijadikan bukti
pengakuan risalahnya, bahwa dia jujur tidak berdusta selamanya, kisah berikut
menjadi bukti:
Riwayat
dari Ibn ‘Abbâs Ra, dia berkata:
لما نزلت: “و أنذر عشيرتك
الأقربين و رهطك منهم المخلصين. خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم حتى صعد الصفا
فهتف: “يا صباحاه”. فقالوا: “من هذا؟”. فاجتمعوا إليه فقال: “أ رأيتم إن أخبرتكم
أن خيلا تخرج من سفح هذا الجبل، أ كنتم مصدقي؟ قالوا ما جربنا عليك كذبا”. قال:
“فإني نذير لكم بين يدي عذاب شديد”. قال أبو لهب: “تبا لك ما جمعتنا إلا لهذا”. ثم
قام فنزلت: “تبت يدا أبي لهب و تب”. “و قد تب” هكذا قرأها الأعمش يومئذ (al-Bukhâriy, 2007: 737).
Artinya:
Ketika ayat [و أنذر عشيرتك الأقربين و رهطك منهم
المخلصين] Rasûlullâh Saw
keluar dan mendaki bukit al-Shafâ, kemudian dia berkata: “Wahai hari shubuh!
Mereka bertanya: “Apa ini?” maka mereka berkumpul di sekelilingnya. Dia
bertanya: “Bagaimana pendapat kamu sekalian: “Jika aku mengkhabarkan bahwa kuda
keluar dari lembah bukit ini, apakah kamu mempercayaiku? Mereka menjawab: “Kami
belum pernah mendengarmu berdusta”. Nabi Saw berkata: “Sesungguhnya aku adalah
pember kabar buruk bagi kamu sekalian dihadapan kamu sekalian ada azab yang
pedih”. Abû Lahab berkata: “Celakalah kamu, kamu mengumpulkan kami hanya untuk
ini, kemudian dia berdiri. Kemudian turun ayat: “Cealakalah kedua tangan Abiy
Lahab, sungguh dia celaka”. Dan “Dan sungguh dia telah celaka”. Demikian
al-A’masy membacanya.
Dengan
demikian Rasûlullâh Saw sudah memberikan bukti kepada mereka dan mereka sendiri
bersaksi bahwa dia jujur dan dipercaya. Dan inilah rahasia kegusaran
orang-orang kafir Makkah terhadapnya. Jika tidak demikian, maka mereka tidak
merisaukannya dan meragukannya dan dakwahnya dari peristiwa sejarah sebelumnya.
Heraklius—Raja Romawi—menjadikan sifatnya, perjalanan hidupnya yang baik sebelum
kenabian sebagai bukti kebenaran kenabiannya dan kebenaran ajaran yang
dibawanya. Dia mengetahuinya dari Abû Sufyân ibn Harb, pemimpin orang-orang musyrik ketika itu, dan Abû Sufyân tidak bisa
berdusta dalam ceritanya.
Didalam
riwayat Heraklius dari Abd Allâh ibn Abbâs, bahwa Heraklius bertanya kepada Abû
Sufyân ibn Harb dari Rasûlullâh Saw, di antara
hal yang ditanya Heraklius kepada Abû Sufyân:
Artinya:
Apakah kamu menuduhnya berdusta sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya
sekarang? Aku menjawab: “Tidak”. … apakah dia …? Aku menjawab: “Tidak”.
Heraklius bertanya kepada Abû Sufyan: “Aku bertanya kepadamu: “Apakah kamu
menuduhnya berdusta sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya sekarang? Kamu
mengaku “tidak”. Maka aku tahu bahwa dia tidak akan mengajak manusia kepada
kebohongan dan berdusta kepada Allâh”. Aku bertanya: “Apakah dia curang?” kamu
mengaku: “Tidak” demikian pula para rasul, mereka tidak akan berlaku curang.
Disamping
itu, kita harus mengetahui bahwa Allâh berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia,
bahwa Nabi Saw telah dididik diatas standar nilai akhlak yang agung, dalam
surat Makkiyah dalam surat Alquran yang awal turun, yakni surat al-Qalam,
dimana Allâh SWT berfirman:
و إتك لعلى خلق عظيم. (Q. S. Al-Qalam/4).
[dan
sesungguhnya kamu berada dalam akhlak yang agung]. Allah menetapkannya dalam
akhlak yang baik –dalam bentuk sifat malu, kemuliaan, kesantunan, lapang dada,
berani dan lainnya.
Demikianlah
di antara sikap dan tingkah
laku Muhammad prakenabian.
Menurut
ahli ushul, antara lain, al-Syâthibiy (ahli Ushûl al-Fiqh dari Madzhab Mâlikiy)
mengemukakan tiga pengertian untuk penggunaan kata sunnah.
Pertama,
ما جاء منقولا عن النبي
صلى الله عليه و سلم على الخصوص مما لم ينص عليه في الكتاب العزيز، بل إنما نص من
جهته عليه الصلاة و السلام، كان بيانا لما في الكتاب أو لا.(Al-Syâthibiy, [t. th.]: II/IV/3)
Artinya:
Sesuatu yang berasal dari Nabi Saw secara khusus yang nashnya tidak terdapat
dalam al-Kitâb al-’Azîz, tetapi terdapat dalam sabda Nabi Saw, sebagai penjelas
(ajaran) yang terdapat dalam al-Kitâb atau bukan (penjelas).
Kedua,
مقابلة البدعة.(ibid.).
Artinya:
Anonim bid’ah.
Ungkapan
فلان على سنة
(si Fulan melaksanakan sunnah) dikemukakan apabila dia beramal sesuai dengan
amal Nabi Saw dan ungkapan فلان على بدعة (si Fulan melakukan bid’ah) dikemukakan
apabila dia beramal tidak sesuai dengan amal Nabi Saw.
Yang
dipandang dalam penggunaan ini adalah amal Nabi Saw, penggunaan kata sunnah
terkait dengan aspek ini, walaupun amal tersebut merupakan tuntutan al-Kitâb.
Ketiga,
ما عمل عليه الصحابة، وجد
ذلك في كتاب الله أو السنة أو لم يوجد. (ibid.).
Artinya:
Sesuatu yang diamalkan oleh para shahâbiy, baik yang ditemukan dalam Kitâb
Allâh atau sunnah maupun tidak.
Amal
shahâbat dikelompokkan ke dalam sunnah karena, antara lain, ia mengikuti sunnah
yang shahîh pada mereka yang
belum sampai kepada kita atau ijtihad yang mereka sepakati atau yang disepakati
oleh para Khalîfah mereka, karena ijmâ’ mereka diakui dan amal para Khalîfah
pada hakikatnya merujuk ke ijmâ’, dari segi menggiring masyarakat memenuhi
tuntutan kemashlahatan.
Pengertian
ini didukung oleh sabda Nabi Saw:
… عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين … (Abû Dâwud, 2007: IV/281).
Artinya:
… Hendaklah kamu sekalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalîfah
yang cerdas lagi diberi bimbingan (oleh Allâh).
Apabila
ketiga pengertian tersebut di atas dihimpun maka diperoleh empat elemen sunnah:
Perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Saw semuanya itu adakalanya diterima
dengan wahyu atau dengan ijtihad (didasarkan bahwa kebenaran ijtihad merupakan
haknya)— dan sesuatu yang berasal dari para shahâbiy atau khalîfah.
Demikianlah
perngertian sunnah menurut al-Syâthibiy.
Al-Âmidiy
(ahli Ushûl al-Fiqh dari Madzhab Syâfi’iy) mengemukakan dua pengertian untuk
penggunaan kata sunnah:
Pertama,
ما كان من العبادات نافلة
منقولة عن النبي عليه السلام. (ِAl-Âmidiy,
[t. th.]: I/145.).
Artinya:
Ibadah sunat yang diriwayatkan dari Nabi Saw.
Kedua,
ما صدر عن الرسول من
الأدلة الشرعية مما ليس بمتلو، و لا هو معجز، و لا داخل في المعجز .( Al-Âmidiy, loc. cit.).
Artinya:
Dalil-dalil syar’iyah yang bersumber dari Nabi Saw yang tidak dibacakan (oleh
Allâh melalui Jibril), bukan mukjizat dan tidak termasuk kelompok mukjizat.
Yang
dimaksud dengan sunnah menurut ahli ushûl al-fiqh untuk pengertian pertama
adalah pengertian yang pertamanya sedangkan untuk pengertian kedua adalah
adalah pengertian yang keduanya.
Dari
kedua pengertian tersebut ditemukan persamaan: keduanya sama-sama mengemukakan
bahwa ajaran yang terdapat dalam sunnah tidak terdapat nashnya dan atau penjelasannya
dalam Alquran dan keduanya sama-sama menyatakan bahwa sesuatu disebut sunnah
hanyalah sesuatu yang berasal dari Nabi Saw yang dapat dijadikan dalil hukum
syar’iy.
Muhammad
‘Ajjâj al-Khathîb (Ahli hadis di Universitas Damaskus) menyimpulkan pengertian
sunnah menurut ahli Ushûl al-Fiqh, dimana definisi yang dikemukakannya mencakup
kedua pengertian di atas— sebagai berikut:
كل ما صدر عن النبي صلى
الله عليه و سلم، غير القرآن الكريم، من قول أو فعل أو تقرير، مما يصلح أن يكون
دليلا لحكم شرعي. (Ajjâj
al-Khathîb, 1989: 19.).
Artinya:
Setiap perkataan, perbuatan, dan persetujuan —selain Alquran— yang bersumber
dari Nabi Saw yang pantas dijadikan dalil hukum syar’iy.
Menurut
ahli Fiqh, sunnah sebagaimana dikemukakan oleh al-Âmidiy adalah:
ما كان من العبادات نافلة
منقولة عن النبي عليه السلام. (Al-Âmidiy, [t. th.]): I/145.).
Artinya:
Ibadah sunat yang diriwayatkan dari Nabi Saw.
Muhammad
‘Ajjâj al-Khathîb menyimpulkan bahwa istilah sunnah mereka pakai untuk
menunjukkan salah satu bentuk atau sifat hukum, sebagaimana diungkapkan oleh
Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, adalah:
كل ما ثبت عن النبي صلى
الله عليه و سلم و لم يكن من باب الفرض و لا الواجب. (Ajjâj al-Khathîb, ibid.).
Artinya:
Setiap sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw dan tidak termasuk fardh dan
wâjib.
Perbedaan
pendapat di kalangan ahli di atas dilatarbelakangi oleh perbedaan spesialisasi
dan objek kajian mereka, sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka tekuni.
Objek
kajian ahli hadits adalah diri Nabi Saw dari segala aspeknya –sebagai imam yang
membimbing, mengarahkan, dan memberi nasehat—dimana Allah mengkhabarkan bahwa
dia merupakan contoh yang baik dan ikutan bagi orang Islam. Maka mereka meliput
segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Saw, baik yang bermuatan hukum dan
tidak.
Objek
kajian ahli ushul adalah Nabi Saw sebagai pembuat syari’at yang menjelaskan
kepada manusia aturan kehidupan, membuat kaidah-kaidah buat para mujtahid
sesudahnya, maka mereka meliput segala sesuatu yang berasal dari Nabi Saw yang
bermuatan dalil hukum.
Sementara
objek kajian ahli fiqh adalah perbuatan Nabi Saw yang bermuatan hukum syar’iy —
wujub,nadab, karahah, haram, ibâhah– maka mereka meliput perbuatan Nabi Saw
yang bermuatan hukum tersebut.
Anonim
kata سنة
adalah kata بدعة (bid’ah). Kata bid’ah adalah kosa kata bahasa Arab. Ia adalah
mashdardari kata بدع – يبدع. Kata بدعة berarti الأمر المستحدث (persoalan yang baru). Asal makna kata ini
adalah membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Pengertian ini didasarkan
pada ayat 9 surat al-Ahqaf.
ما كنت بدعا من الرسل.
Maksudnya,
aku bukanlah orang yang pertama membawa risalah dari Allah kepada manusia,
tetapi sudah terdapat para rasul sebelumku.
Secara
istilah, para ahli berbeda pendapat dalam memberikan pengertian bid’ah.
Al-Syathibiy
mengemukakan dua pengertian bid’ah.
Pertama:
طريقة في الدين مخترعة
تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه.
Kedua,
طريقة في الدين مخترعة
تضاهي الطريقة الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية. (Al-Syathibiy, al-I’tisham, I/37.).
Menurut
Ibn Taymiyah, bid’ah adalah:
ما خالفت الكتاب و السنة و
إجماع سلف الأمة من الإعتقادات و العبادات.
(Ibn Taymiyah, Majmu’ Fatawa Ibn Taymiyah,XVIII/346.).
ما أحدثه الناس من قول أو
عمل في الدين و شعائره مما لم يؤثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم و عن أصحابه. (‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, op. cit.: 23.).
Artinya:
Perkataan dan perbuatan dalam agama dan syi’arnya yang diadakan manusia yang
tidak bersumber daru Rasul Saw dan shahabatnya.
Pengertian
bid’ah yang pertama yang dikemukakan oleh al-Syathibiy adalah pengertian yang
dikemukakan oleh ahli yang tidak memasukkan adat dalam makna bid’ah dan hanya
mengkhususkannya untuk ibadah. Pengertian bid’ah yang kedua adalah pengertian
yang dikemukakan oleh ahli yang memasukkan adat dalam makna bid’ah. Berdasarkan
hal ini, bid’ah dibatasi pada sesuatu yang keluar dari gambaran Syâri’. Setiap
yang baru yang berhubungan dengan agama, seperti ilmu-ilmu yang membantu
memahami syari’ah, tidak termasuk bid’ah.
Pembatasan
pengertian bid’ah dengan keyakinan, perkataan, perbuatan yang diadakan manusia
dalam agama, baik dengan melakukan atau tidak melakukannya, dalam pengertian
keempat, dimaksudkan agar tidak masuk di dalamnya perbuatan yang diadakan
manusia sebagai tuntutan kemaslahatan dan perbuatan yang sejalan dengan prinsip
syari’ah yang tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw.
Sebagian
ahli, misalnya al-’Izz ibn ‘Abd al-Salam, mempergunakan kata bid’ah untuk sesuatu
yang diadakan manusia dalam selain agama, baik dengan melakukan atau tidak
melakukannya sebagai tuntutan kemaslahatan dan perbuatan yang sejalan dengan
prinsip syari’ah yang tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw. Maka dia membagi
bid’ah menjadi wajibah, muharrimah, mandubah, makruhah, dan mubahah.
Menurut
al-’Izz, diantara contoh bid’ah wajibah adalah menekuni ilmu nahu yang
dipegunakan untuk memahami firman Allah dan Rasul-Nya Saw, menghafal kata-kata
gharib dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan kodifikasi ushul al-fiqh dan lainnya.
(Abd al-Salam, …: 173.). Bid’ah yang dipandangnya wajib termasuk bagian
mashlahat. Diantara contoh bid’ah muharramah adalah bid’ah yang dilakukan oleh
aliran Qadariyah dan Mujassimah. Diantara contoh bid’ah yang makruhah adalah
membaca Alquran dengan lahn dimana lafazh Alquran berubah dari peruntukan kata
dalam bahasa Arab.
Di antara contoh bid’ah dalam keyakinan adalah antropomorpisme; dalam
perbuatan adalah bernadzar puasa dibawah terik matahari, dan; dalam perkataan
adalah zikir dengan suara yang sama dengan berjama’ah. Diantara bid’ah yang
terjadi dengan meninggalkan yang mubah tanpa udzur syar’iy dan sangat
berlebihan dalam ibadah adalah mengharamkan tidur, tidak menikah, tidak berbuka
puasa dan senantiasa berpuasa. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
… من رغب عن سنتي فليس مني.
Dalam hal ini, al-Syathibiy berpendapat: “Setiap orang
yang mengharamkan dirinya untuk memperoleh sesuatu yang dihalalkan Allah tanpa
uzur syar’iy maka ia keluar dari sunnah Nabi Saw, dan orang yang beramal tanpa
didasarkan sunnah dan menganggap dirinya mengamalkan agama maka pelakunya
disebut mubtadi’. (Al-Syathibiy, al-I’tisham. I/44).
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Ajjâj
al-Khathîb, Muhammad. Ushûl al-Hadis Ulûmuhu wa Mushthalahuhu . Bairût: Dâr
al-Fikr. 1989.
Al-Âmidiy,
Aliy ibn Abiy ‘Aliy ibn Muhammad Abû al-Hasan. al-Ihkâm fiy Ushûl al-Ahkâm
Bairût: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah. [t. th.].
Al-Khasyû’iy,
al-Khasyû’iy Muhammad. Ghayat al-Îdhâh fiy ‘Ulûm al-Ishthilâh. Al-Qâhirah:
Jâmi’at al-Azhar. 1424 H./2004.
Al-Syâthibiy,
Ibrâhim ibn Mûsâ al-Lakhmiy al-Gharnâthiy al-Mâlikiy Abû Ishâq. Al-Muwâfaqât
fiy Ushûl al-Syarî’ah. Bairût: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah. [t. th.].
Ibn
‘Abd al-Salam, Al-Izz. Qawa’id al-Ahkam.
Ibn
Hajar, Ahmad ibn ‘Aliy … al-’Asqalâniy. Syarh Nukhbat al-Fikr fiy Mushthalah
Ahl al-Âtsâr (SyarhNukhbat).
Ibn
Manzhûr, Muhammad ibn Mukarram. Lisân al-’Arab. Al-Qâhirah: Dâr al-Hadis.
Ibn
Taymiyah, Majmu’ Fatawa Ibn Taymiyah. XVIII/346.
Muslim,
Abu al-Husayn … ibn al-Hajjâj al-Qusyayriy al-Naysâbûriy. Shahîh Muslim.
Bairût: Dâr al-Fikr. t. th.
dikutip dari blog guru
saya Dr. H. Buchari, M, M.Ag
Baca Juga
dikutip dari blog guru saya Dr. H. Buchari, M, M.Ag di http://arichaniago.wordpress.com/2010/02/21/pengertian-sunnah/
ReplyDelete