Dalam sebuah kuliah shubuh, Dr. Syamsul Bahri, M.Ag, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Arraniry Banda Aceh menyampaikan sepenggal kisah yang tersisa pasca gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004. Berikut ini penyampaian kultum beliau.
--------
Setelah terjadinya tsunami, orang-orang yang selamat mengungsi di sekitar masjid. Kisah berikut adalah sepenggal kisah di pengungsian tempat saya mengungsi.
Para pengungsi telah kehilangan keluarga yang mereka cintai dan harta yang mereka miliki. Di antara pengungsi itu, ada seorang bapak yang berusia antara 55 sampai 60 tahun. Setiap hari bapak ini menangis. Dia menangis sepanjang hari. Anehnya, bapak ini menangis tidak berhenti. Dia hanya berhenti menangis pada waktu shalat, waktu makan, mandi dan aktifitas rutin lain. Di luar itu, bapak ini selalu menangis. Dalam dugaan banyak orang, bapak ini tidak gila. Buktinya bila tiba waktu shalat, dia shalat. Siap shalat dia menangis lagi. Bila tiba waktu makan, dia makan. Setelah selesai makan, dia kembali menangis. Begitu setiap harinya.
Banyak yang menasehati beliau agar sabar dengan musibah yang dialami. Sesama pengungsi menasehati beliau. "Apa yang menimpa bapak, juga menimpa kami. Bapak kehilangan rumah, kami juga. Bapak kehilangan keluarga, kami juga". Begitu nasehat yang disampaikan oleh sesama pengungsi. Namun, nasehat itu tidak bisa menghentikan bapak ini menangis.
Setelah dua minggu berikutnya bapak tua ini sudah tidak menangis lagi. Orang-orang menilai dia aneh. Mengapa dia tidak lagi menangis. Karena sebelumnya dia biasa menangis. Saya berusaha mencari tahu. Seorang mengatakan, bahwa bapak itu berhenti menangis semenjak bertemu relawan dari Jawa. Saya berusaha mencari tahu relawan itu, apa yang disampaikannya kepada bapak tua itu. Ternyata relawan itu adalah seorang psikolog dari Jakarta. Dia yang sering menemani bapak tua yang selalu menangis di pengungsian Darussalam Banda Aceh.
Saya temui psikolog ini. Saya tanyakan kepada beliau nasehat apa yang disampaikannya kepada bapak yang selalu menangis itu. Awalnya psikolog ini tidak mau mengatakan apa yang dilakukannya. Justru psikolog ini balik bertanya kepada saya, apa hubungan saya dengan bapak tua itu. Saya katakan tidak ada hubungan apa-apa. Saya hanya ingin tahu. Mungkin bisa saya bagi informasi berharga ini dengan mahasiswa saya atau saya sampaikan saat ceramah atau pengajian kepada para jamaah.
"Saya tidak mengatakan apa-apa kepada bapak itu. Saya suruh dia mengataka apa yang dialaminya. Saya hanya mendengarkan apa yang disampaikannya dari pagi sampai siang". Begitu jawaban psikolog itu. Ternyata ada dalam kondisi tertentu orang yang tidak butuh nasehat. Tapi saat itu dia butuh didengarkan. Bapak tua itu masuk dalam kategori ini.
Apa yang diceritakan bapak tua itu? Ternyata bapak tua itu adalah salah satu orang kaya di Banda Aceh waktu itu. Dia memiliki 12 toko yang sedang berkembang bisnisnya. Dia juga punya 22 damtruck. Rumahnya bertingkat. Dia juga punya beberapa rumah sewa. Sebelum terjadinya tsunami, ada yang menyampaikan nasehat kepada bapak ini untuk berbagi harta dengan anak-anaknya. Sisanya harta yang tinggal pada dirinya bisa diinfakkan dan diwakafkan. Bapak ini tidak mengindahkan nasehat itu. Tiga hari setelah itu terjadilah tsunami yang memusnahkan semua ruko, rumah, mobil dan kekayaannya. Bapak ini menangisi kesempatan yang hilang. "Sekarang hati saya sudah terbuka untuk berinfak dan bersedekah. Tapi apa daya, harta saya tidak ada lagi". Begitu yang disampaikan bapak tua itu. Inilah yang menyebabkan bapak tua ini menangis.
Betapa banyak di akhirat nanti orang yang minta dihidupkan dan dikembalikan ke dunia agar bisa bersedekah. Sebagaimana Firman Allah Surah al-Munafiqun ayat 10
Kita belum sampai pada keaadan seperti itu. Kita belum seperti keadaan bapak tua yang menangisi kesempatannya yang telah hilang. Kita masih hidup di dunia ini, dan belum berada pada kondisi seperti yang disebut dalam ayat 10 surah al-Munafiqun di atas. Mari kita gunakan kesempatan yang ada ini dengan sebaik-baiknya sebelum waktu penyesalan itu tiba.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment