Dalam suasana Syawal masih relevan
kiranya kita bahas tentang fitrah. Bagaimana kaitannya dengan kembali kepada
fitrah (idul Fithri)?. Kita kaji Firman Allah Surah Al-Rum ayat 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. al-Rum/ 30: 30)
Ayat ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad dan juga
kepada kita umat beliau untuk menghadapkan wajah, dalam artian diri dan segenap jiwa raga
kita, kepada al-Din dalam keadaan lurus. Menghadapkan segenap
jiwa raga itu tidak boleh tidak lurus. Harus benar-benar lurus keseluruhannya.
Seumpama kita berdiri di hadapan seseorang di arah barat, maka tidak boleh
menghadapkan kepala ke barat lalu dada menghadap ke utara atau sebaliknya. Maka
tidak boleh dalam keadaan menghadap kepada al-Din ini, dalam saat yang
bersamaan juga menghadap ke hal lain selain al-Din ini. Oleh karenanya
diperintahkan menghadapkan dan mengarahkan semua perhatian dengan lurus kepada
agama yang disyariatkan. Artinya menghadap secara totalitas.
Selanjutnya Allah memerintahkan kita
untuk tetap mempertahankan fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Dalam penggalan ayat ini ditemukan kata fithrah. Ibnu
Manzhur, dalam kamus Lisanul Arab menyebutkan kata fitrah berarti
sesuatu pengetahuan tentang Tuhan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang berarti penciptaan
awal yang belum ada contoh sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat
Fathir ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ (segala puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi).
Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui makna fathir al-samawati
wa al-ardhi sampai pada suatu hari melihat dua orang arab bertengkar
tentang kepemilikan sumur. Salah seorang dari mereka menyebutkan ana
fathartuha (saya yang pertama membuatnya).
Poin yang ingin saya sampaikan dari
pernyataan Ibnu Manzhur ini adalah bahwa fithrah adalah sesuatu yang
sengaja diciptakan oleh Allah lalu diberikan kepada manusia sebagai bekal bagi
manusia untuk sampai mengenal Allah atau untuk bertauhid. Sejalan dengan
pendapat di atas, Al-Raghib al-Ashfahaniy dalam kitab Mufradat-nya
menyebutkan bahwa fitrah adalah pengetahuan keimanan yang diberikan oleh Allah
kepada setiap manusia. Sampai di sini kita pahami bahwa fitrah (fithrah) adalah
potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap manusia untuk bertauhid dan
mengenal agama dengan baik.
Lalu Allah sebutkan tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Fitrah
itu tetap ada bagi setiap manusia. Fitrah yang Allah berikan itu tidak akan
berubah. Quraish Shihab menyebutkan bahwa sekelas Firaun yang mengaku sebagai
tuhan sekalipun di akhir hayatnya memunculkan pengakuan yang terlambat dengan
mengatakan “aku beriman dengan Tuhannya Musa dan Harun”. Pengakuan itu menurut
Quraish Shihab adalah fitrah beragama yang tetap itu.
Lalu muncul pertanyaan bagaimana
dengan orang yang ternyata sekarang kita temukan tidak beragama dengan agama
yang lurus? Nabi sebutkan dalam hadis yang
disampaikan oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:
وأخرج البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي
هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود
إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة
جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا
ان شئتم فطرة الله التي فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn Munzhir, Ibn
Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak
satupun bayi yang terlahir ke dunia ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu
kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi, nashrani atau
majusi. Seperti halnya binatang yang lahir sempurna. Apakah kamu menemukan ada
anggota badannya yang terpotong, kecuali jika kamu yang memotongnya?.” Kemudian
Abu Hurairah berkata: bacalah fithratallahi
(ayat 30 surat al-Rum).
Dalam hadis ini disebutkan bahwa tidak satu pun bayi yang terlahir ke dunia
ini kecuali atas dasar fitrah. Lalu kedua orang
tuanya, dalam hal ini sebagai
lingkungan terdekat bagi seorang bayi, yang
menjadikannya menganut agama Yahudi, Nasrani atau Majusi. Orang tua adalah lingkungan pertama
yang menjadikan anak bisa menjauhi fitrahnya. Tidak hanya orang tua.
Lingkungan, sekolah, kawan, bahkan masyarakat juga berpengaruh dalam
menciptakan anak akan tetap pada fitrahnya atau menjauhi fitrahnya.
Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa adanya fitrah keagamaan yang perlu
dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal ayat ini merupakan perintah untuk
mempertahankan dan meningkatkan apa yang selama ini telah dilakukan oleh Rasul
Saw., yakni menghadapkan wajah ke agama yang benar? Bukankah itu yang dinamai
oleh ayat ini sebagai fitrah? Bukankah itu yang ditunjukkannya sebagai agama
yang benar? Jika demikian, ayat ini berbicara tentang fitrah keagamaan.
Ayat di atas mempersamakan antara fitrah dengan agama yang
benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan “itulah agama
yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan dengan pernyataan
sebelumnya bahwa Alllah yang telah menciptakan manusia atas fitrah
itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama Islam adalah agama yang
sesuai dengan fitrah itu. Juga dipahami bahwa fitrah beragama akan membawa manusia kepada agama yang
lurus. Ketika ada orang yang tidak beragama sesuai dengan agama yang lurus (al-Din
al-Qayyim), itu karena ia telah lari menghindar dari fitrahnya. Sebagaimana
disebutkan oleh hadis di atas.
Sebagai bukti bahwa adanya fitrah beragama atau fitrah
ketauhidan yang diberikan kepada manusia adalah dengan adanya kesaksian manusia
pada saat sebelum ia dilahirkan ke atas bumi ini. Kesaksian itu adalah
menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan). Bagi kita umat Islam, informasi
tentang “perjanjian” kesaksian kita dengan Allah itu diinformasikan Allah dalam
Surah al-A’raf ayat 172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ
تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)". (Q.S. al-A'raf/ 7: 172)
Terkait penjelasan ayat ini kita bahas
pada pertemuan yang lain In Sya’a Allah.
Lalu Bagaimana Kaitan Fitrah
Dengan Idul Fitri?
Idul fitri adalah hari kemenangan
karena kita telah mengisi siang dan malam hari Ramadhan dengan puasa dan ibadah
sunnah lainnya dengan iman dan ikhlas. Sebagai ganjarannya, Allah ampuni dosa
kita yang telah berlalu. Itulah kemenangan yang kita rayakan dengan bertakbir membesarkan
Allah, bertahlil mengesakan Allah serta bertahmid memuji Allah.
Idul Fitri atau kembali fitrah
idealnya juga adalah kita kembali kepada fitrah bertauhid kita, fitrah kita beragama dan menjalankan ajaran agama.
Idul fitri adalah kembali menjalankan ajaran agama. Idul fitri bukanlah kita
yang telah menjalankan ajaran agama selama bulan Ramadhan, lalu kita lupakan
ajaran itu selepas Ramadhan. Baru akan kembali melaksanakan ajaran agama pada
bulan Ramadhan yang akan datang. Ini sejatinya bukanlah Idul Fitri.
Karena fitrah adalah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap manusia untuk bertauhid dan mengenal agama dan selanjutnya dapat menjalankan agama dengan baik, maka kembali kepada fitrah tentunya kembali melaksanakan ibadah wajib dan sunnah yang sudah dilaksanakan di bulan Ramadhan. Orang yang telah beridul Fitri tentunya kembali shalat ke masjid, kembali mengaji, bersedekah dan berderma, kembali mengikuti pengajian, kembali berpuasa dengan puasa sunnah. Pendek kata, orang yang telah beridul fitri adalah orang yang kembali menegakkan agama dalam dirinya. Bukan malah meninggalkan agama, apalagi malah kembali ke kubangan dosa dan maksiat lagi. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Bunyi ujung ayat 30 surah al-Rum ini.
Karena fitrah adalah potensi dasar yang diberikan oleh Allah bagi setiap manusia untuk bertauhid dan mengenal agama dan selanjutnya dapat menjalankan agama dengan baik, maka kembali kepada fitrah tentunya kembali melaksanakan ibadah wajib dan sunnah yang sudah dilaksanakan di bulan Ramadhan. Orang yang telah beridul Fitri tentunya kembali shalat ke masjid, kembali mengaji, bersedekah dan berderma, kembali mengikuti pengajian, kembali berpuasa dengan puasa sunnah. Pendek kata, orang yang telah beridul fitri adalah orang yang kembali menegakkan agama dalam dirinya. Bukan malah meninggalkan agama, apalagi malah kembali ke kubangan dosa dan maksiat lagi. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Bunyi ujung ayat 30 surah al-Rum ini.
Hadanallahu wa iyyakum. Billahi
taufiq walhidayah, warridho walinayah.
___
Disampaikan pertama kali untuk pengajian subuh di
Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah pada hari Kamis tanggal 14 Syawal 1439 H/ 28 Juni
2018 M
Post a Comment