Petuah Dari Sang Bijak(di)sana

Dalam sebuah WhatsApp Group (WAG) terjadi diskusi antara peserta. WAG tersebut adalah group yang sengaja dibuat oleh panitia sebuah seminar bagi peserta yang sudah registrasi. Artinya, para peserta yang terlibat dalam diskusi di WAG tersebut umumnya tidak saling kenal. Diskusi tersebut terus berlanjut walau seminarnya sudah selesai.

Suatu kali ada yang menulis. 
"Kita bersyukur bisa ikut seminar ini. Gratis tanpa uang pendaftaran. Dapat ilmu dan wawasan. Walau mungkin ada yang tidak dapat sertifikat".

Lalu ada yang menimpali.
"Suksesnya acara seminar tentu juga didukung oleh keberadaan peserta yang ikut berpartisipasi memeriahkan acara. Tanpa peserta, tentunya seminar hanya diikuti oleh narasumber dan panitia".

Tiba-tiba muncul petuah bijak dari yang lain dengan panggilan "saudaraku seiman". Peserta bijak ini menyampaikan jika bisa meyakinkan panitia bahwa hadir dari awal hingga akhir, in sya Allah dengan mudah akan dikabulkan. Ia juga menyeru agar legowo dan sabar atas segala kenyataan hidup. Karena segala sesuatu itu telah ditetapkan oleh Alloh subhanahu wata'ala.

Sang Bijak tersebut mendapat respon dari peserta diskusi. Tapi kali ini tidak di group lagi, melainkan secara pribadi dengan pesan langsung.

"Maaf saya japri. Sebelumnya saya sudah japri Bapak S. Tapi, mungkin beliau sibuk. Akhirnya sertifikat webinar belum sempat dikirim. Maaf jika saya tidak bisa meyakinkan panitia bahwa saya hadir dari awal".

Tapi sayangnya, respon dari Sang Bijak(di)sana tidak lagi bijak di sini. Ia justru terkesan mengolok-olok foto profil lawan bicaranya dengan latar payung raksasa seperti payung di pelataran Masjid Nabawi. Ia mengatakan "iya pak haji.. masya Alloh bisa umroh sekeluarga". Kesan mengolok-olok itu muncul bukan hanya karena tidak merespon substansi pembicaraan terkait sertifikat. Tapi kesan itu juga muncul karena yang bersangkutan tidak menggunakan foto profil sementara mengomentari foto profil lawan bicaranya. 

Ungkapan olok-olok dari Sang Bijak(di)sana tersebut tidak ditanggapinya.  Ia justru masih berusaha meyakinkan Sang Bijak(di)sana dengan mengirimkan bukti kehadiran sebagaimana dimaksud oleh panitia. 

Tapi sayang, Sang Bijak(di)sana tidak merespon bukti kehadiran yang dimaksud. Ia malah asyik melanjutkan olok-oloknya dengan ungkapan "itu foto editan ya? Biasanya sibuk lalu lalang orang".

Orang yang diolok-olok masih menahan dirinya. Tapi sepertinya pertahanannya hampir saja jebol. "Jangan berbicara seperti itu. Tidak sopan. Itu bukan foto umrah keluarga. Saya tidak pernah bermaksud show up ibadah saya. Itu bukan Masjid Nabawi. Jika sempat, berkunjunglah ke Masjid Baiturrahman Banda Aceh. Masjid saksi tsunami itu sekarang sudah seperti ini pelatarannya." 

Sang Bijak(di)sana lalu mengatakan "karena mungkin di Masjid Nabawi belum sempat misalnya. Lalu disempatkan di tempat lain. Dibuat mudah aja".
___

Sahabat semua. Ada banyak tanggapan, respon dan kesan yang muncul di dunia maya atau dunia virtual. 

Pertama, tentang foto profil. Ia bisa menjadi "simalakama". Di satu sisi ia adalah identitas agar yang bersangkutan diketahui adalah akun yang benar dan serius. Sekaligus juga untuk mengenali dan membedakan seseorang dengan nama yang mungkin sama dengan nama orang lain. Apalagi ada orang yang memakai gelar (laqab/kuniyah), nama samaran atau nama alias. Di sisi lain, terkadang ada orang menilainya sebagai hal yang negatif. Walaupun sang pemilik akun tidak berusaha negatif, tapi penilaian publik tentu tidak bisa dikendalikannya. Karena dunia maya adalah ruang publik. Orang bisa punya kesan yang beragam. Maka mari kita pikir ulang bagaimana baiknya menggunakan foto profil.

Kedua, jangan hakimi orang dengan ibadah kita. Tidak semua orang sama kuantitas dan kualitas ibadahnya. Terlebih ada ibadah tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan harta. Maka bagi orang yang sudah sering bolak-balik ke tanah suci haji dan umrah tidak layak mengolok-olok saudaranya yang lain yang mungkin belum seberuntung nasibnya. Begitu juga bagi ahli sedekah. Jangan menilai rendah kepada orang yang sedekahnya sedikit atau jarang terlihat bersedekah. Bagi ahli puasa, mentang-mentang selalu berpuasa sunnah lalu menganggap remeh orang yang tidak berpuasa sunnah. Bisa jadi orang lain punya kelaziman ibadah yang lain seperti solat malam atau rutin mengkhatamkan Al-Quran. Bagi yang rutin mengkhatamkan Al-Quran juga tidak patut mencela orang lain yang mengajinya cuma tiga ayat semalam. Pendek kata, mungkin orang lain juga punya kelaziman ibadah lain yang kita tidak tahu. Mari berhenti menilai ibadah orang berdasarkan kekuatan ibadah kita. Karena ibadah itu privasi seorang hamba dengan Tuhannya. Tapi sekali lagi, ini adalah kesan. Setiap orang punya kesan tersendiri terhadap orang lain di ruang publik. Termasuk postingan di blog ini tidak tertutup kemunkinan akan menimbulkan kesan yang beragam. Mari kita saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran. Semoga Allah ampuni segala dosa dan kesalahan kita. Aamiin.

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes