Mendustai Hari Pembalasan

Materi ini disampaikan pertama kali untuk Wirid Bulanan Ikatan Keluarga Sigiran (IKS) Aceh Tengah,  Selasa tanggal 20 Muharram 1439 H/   10 Oktober 2017 M
Keyakinan terhadap adanya hari akhir adalah bagian dari keimanan. Setiap pribadi mukmin meyakini adanya hari akhir. Namun, dalam praktek sehari-hari masih ada orang yang seolah-olah dia mengingkari adanya hari kiamat. Ada sebagian orang yang mendustai adanya hari pembalasan. Siapa orang yang dimaksud. Mari kita simak Firman Allah dalam surah al-Maun berikut ini.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ(1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ(2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ(3)
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Dalam terjemahan al-Qur’an yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama ataupun oleh penerbit yang lain, umumnya ditemukan terjemahan kata “yukadzdzibu biddin” dengan mendustakan agama. Terjemahan itu benar, tidak salah. Karena kata “Din” berarti agama. Namun kata ini juga berarti hisab atau hari pembalasan sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Fatihah, Maaliki yaumiddin".
Dalam kamus jika dilihat makna kata yang terdiri atas huruf dal, ya' dan nun, bermakna bahwa ada dua hal yang satu kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Dari kata ini muncul kata din yang dipahami dengan agama dan hari pembalasan dan juga muncul kata dain yang berarti hutang. Bukankah kedudukan sipemberi hutang lebih tinggi dari yang berhutang. Begitu juga, bukankah kedudukan sipemberi balasan di akhirat lebih tinggi dari orang yang menerima balasan kelak.
Kedua makna ini, agama ataupun hari pembalasan, bisa diterapkan dalam memahami ayat ini. Maka ada versi lain terjemahan ayat ini, yaitu “Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan? Yaitu orang yang menghardik anak yatim dan tidak mau menganjurkan memberi makan orang miskin.
Apa hubungannya menghardik anak yatim dan tidak mau menganjurkan memberi makan orang miskin dengan mendustakan hari kiamat?
Ada beberapa riwayat terkait latar historis (sabab nuzul) ayat ini. Satu di antaranya adalah riwayat terkait salah seorang tokoh masyarakat musyrik yang bernama Abu Sufyan. Abu Sufyan ini mempunyai kebiasaan menyembelih unta setiap minggu. Lalu daging unta itu ia bagikan kepada teman-teman dan kerabatnya. Suatu ketika ada seorang anak yatim menyaksikan itu dan meminta untuk dibagi daging itu. Jangankan dibagi daging, justru anak yatim ini dihardik dan didorong oleh Abu Sufyan. Lalu turun ayat ini.
Kembali kita kepada pertanyaan di atas. Apa hubungannya antara menghardik anak yatim dengan mendustakan kiamat? Jawabannya adalah karena yang ada dalam pikiran Abu Sufyan itu bahwa si anak yatim ini tidak perlu diberi daging. Tidak mungkin suatu saat ia akan membalas kebaikan yang diberikan kepadanya. Jangankan untuk memberi orang lain, untuk mencukupi kebutuhannya saja dia tidak bisa, sehingga dia meminta-minta. Artinya, tidak ada balasan yang akan diharapkan dari si anak yatim ini.
Sedangkan jika memberi kepada sesama tokoh masyarakat, atau sesama kawan-kawan dan koleganya, masih ada balasan yang diharapkan. Jika saat ini, Abu Sufyan yang memberi, maka suatu saat dia akan menerima balasan pemberian itu dari kawan-kawannya. Artinya, ada balasan yang diharapkan dari pemberian itu. Dalam pikiran Abu Sufyan bahwa balasan sebuah kebaikan itu adalah kini, saat ini, di dunia ini. Atau dengan kata lain, Abu Sufyan tidak yakin dan percaya bahwa ada “Zat” yang akan membalasi perbuatan baiknya itu kelak. Jika tidak di dunia ini, maka di akhiratlah masanya.
Ujung kaji dari riwayat ini, bahwa dengan tidak mau memberi kepada orang lain yang tidak mungkin diharapakan balasannya seolah-olah dia tidak percaya bahwa ada Allah yang akan membalasi kebaikan. Maka dari sini dikatakan bahwa di antara bentuk keimanan kepada Allah adalah dengan berbagi kepada orang lain. Dengan tidak mau berbagi kepada orang lain, seolah-olah dia tidak percaya bahwa suatu saat kebaikannya akan dibalasi di akhirat kelak. Maka dapat dikatakan bahwa di antara bentuk keimanan akan adanya hari akhir adalah mau berbagi dengan orang lain. Karena dengan berbagi ada ganjaran yang akan diterima di akhirat.
Kita kaitkan kajian ayat ini dengan sebuah hadis dari Abu Hurairah R.A., Bahwa Rasulullah Saw. bersabda
 
Siapa yang senantiasa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau (jika tidak bisa berkata baik, maka lebih baik baginya untuk) diam. Siapa yang senantiasa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa yang senantiasa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. (H.R. al-Bukhari nomor 6018 dan Muslim nomor 47)
Hadis ini diterjemahkan dengan senantiasa beriman dari paanan kata “kana dan yu’minu”. Dalam kaidah bahasa Arab, ketika kana digandeng dengan kata kerja bentuk sekarang dan yang akan datang (fi’il mudhari’/ present continious), maka ia mengindikasikan makna berketerusan, bukan sesekali. Dalam konteks redaksi hadis ini maknanya adalah orang yang senantiasa beriman kepada Allah dan hari akhir. Iman itu melekat selama-lamanya pada pribadi mukmin. Bukan sesaat ada lalu hilang, besoknya ada lagi, lalau hilang lagi seperti yang disampaikan group band Gigi dalam lagunya “amnesia”.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa ketika seorang berbuat dosa, maka saat itu dia tidak dalam keadaan beriman. “Tidak ada pezina yang di saat berzina dalam keadaan beriman. Tidak ada pencuri yang di saat mencuri dalam keadaan beriman. Begitu pula tidak ada peminum arak di saat meminum dalam keadaan beriman.” (H.R. al-Bukhari nomor 2295 dan Muslim nomor 86).
Kembali ke hadis yang disampaikan di atas, bahwa orang yang senantiasa beriman kepada Allah dan hari akhir adalah orang yang bertutur kata baik, orang yang memeuliakan tetangga dan orang yang memuliakan tamunya. Bahkan dalam hadis ini diulang menyebutkan “man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri”-nya. Hal itu tambah menegaskan lagi bahwa perkataan dan perbuatan baik itu adalah salah satu perwujudan keimanan kepada Allah dan hari akhir.

Hadis lain dari Anas bin Malaik R.A. juga mendukung teori ini bahwa belum sempurna keimanan seseorang jika ia belum mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Maka bagaimana bersikap baik kepada orang lain adalah perwujudan iman kepada Allah. Dalam teori tokoh Minang, Angku Yus Dt. Parpatiah disebut dengan filosofi “piciak jangek” (cubit kulit sendiri). Jika sakit bagi kita, maka sakit juga terasa bagi orang lain. Maka oleh karena itu berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kita berbuat kepada diri kita sendiri.

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes