Siapa Kategori Orang Yang Mampu Berkurban?

Tidak lama lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah. Ada dua ibadah besar yang hanya terdapat di bulan Dzulhijjah pada setiap tahunnya. Ibadah pertama khusus bagi orang beriman yang memiliki kesanggupan diwajibkan oleh Allah untuk menunaikan  ibadah haji. Saat ini mungkin sebagian saudara kita sudah ada yang berangkat dan sampai di tanah suci. Bagi kita yang belum punya kesanggupan, semoga Allah beri kita kesanggupan dan Allah mudahkan jalannya bagi kita. Aamiin.
Ibadah kedua yang hanya ada pada bulan Dzulhijjah adalah ibadah kurban. Ayat Alquran surah al-Kautsar yang dibacakan di awal tadi memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw dan juga kepada ummatnya untuk menunaikan shalat dan berkurban. Perintah itu sebelumnya didahului dengan menyebutkan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat yang banyak. Maka atas limpahan nikmat yang banyak itu patut kiranya kita bersyukur dengan cara salat dan berkurban.
Dalam hadis Baginda Rasulullah Saw bersabda
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah No. 3123, Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7334)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi menyepakati hal ini. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6490, namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr, No. 102.
Melalui hadis ini baginda Rasulullah mengatakan bahwa bagi siapa yang tidak mau berkurban padahal dia mampu untuk berkurban dengan indikasi bahwa dia punya kelapangan harta, maka dilarang untuk mendekati tempat salat. Jika dipahami dilarang mendekati tempat salat lima waktu, maka pemahamannya bahwa orang ini tidak boleh datang ke masjid. Sementara salat lima waktu kita diperintahkan untuk ke masjid.
Jika dipahami larangan mendekati tempat salat idul adha, maka ada baiknya kita baca juga hadis berikut yang menganjurkan perempuan yang sedang haid sekali pun tetap dianjurkan datang ke lapangan tempat salat hari raya walaupun mereka tidak salat. Sampai-sampi jika mereka tidak punya pakaian yang akan dipakai untuk menutup aurat ke lapangan, Nabi perintahkan kawannya untuk meminjamkan dia baju.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا. [رواه الجماعة واللفظ لمسلم[.

Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah bahwa ia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami supaya menyuruh mereka keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha: yaitu semua gadis remaja, wanita sedang haid dan wanita pingitan. Adapun wanita-wanita sedang haid supaya tidak memasuki lapangan tempat shalat, tetapi menyaksikan kebaikan hari raya itu dan panggilan kaum Muslimin. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana salah seorang kami yang tidak mempunyai baju jilbab? Rasulullah menjawab: Hendaklah temannya meminjaminya baju kurungnya. [HR. al-Jama‘ah, lafal dari Muslim].
Begitu pentingnya ikut menyemarakkan hari raya, termasuk hari raya kurban. Sampai-sampai perempuan yang sedang berhadas dan tidak boleh salat tetap harus ikut ke lapangan. Bandingkan dengan orang yang mampu berkurban, tapi tidak mampu berkurban. Mana yang lebih “suci” di antara keduanya? Orang yang sanggup berkurban tapi tidak mau berkurban seolah-olah tidak lebih suci dari pada wanita haid.
Berdasarkan dalil hadis di atas terjadi perbedaan pendapat ulama menilai status hukum ibadah kurban. Dalam fikih ulama berbeda pendapat tentang hukum berkurban. Dalam mazhab syafi’I, maliki dan hambali dikatakan hukum berkurban adalah sunnat muakkad. Sementara dalam mazhab hanafi dikatakan hukumnya wajib bagi yang mampu.
Jika kita pahami hukum berkurban adalah wajib, maka berdosa bagi kita yang tidak berkurban padahal kita mampu berkurban. Namun, jika kita pahami bahwa hukum berkurban adalah sunnat muakkad, maka tidak berdosa jika tidak ikut berkurban. Betul definis yang mengatakan bahwa sunnat itu dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa, tapi rugi. Mungkin hanya sekedar rugi saja. Mengapa rugi? Karena orang yang mengerjakan ibadah ini dapat pahala. Sementara kita yang tidak ikut ambil bagian dengan ibadah ini tidak mendapat pahala. Padahal kesempatan ibadah ini datangnya hanya sekali dalam setahun.
Apakah Kita masuk kategori orang yang mampu?
Nah, sekarang mari kita lihat apakah kita mampu atau tidak mampu? Jangan-jangan kita masuk dalam kategori orang yang mampu. Mari kita ukur kemampuan kita dalam bidang yang lain. Mungkin ada di antara kita yang mampu menyicil pembelian sepeda motor lima ratus ribu sebulan. Jika ditotal setahun kemampuan kita membayar cicilan sepeda motor senilai enam juta. Mungkin juga ada di antara kita yang menyicil pembelian barang elektronik senilai tiga ratus ribu sebulan. Jika ditotal setahun kemampuan kita membayar cicilan elektronik senilai tiga juta enam ratus ribu. Artinya, untuk kebutuhan dunia kita ternyata kita mampu dan mau. Pertanyaannya untuk ibadah yang menjadi bekal kita di akhirat kelak apakah kita puya kemampuan?
Contoh lain, bagi sebagian kita yang merokok. Berapa biaya yang kita keluarkan sehari untuk membeli rokok? Jika rata-rata sehari beli rokok senilai tujuh ribu rupiah, maka setahun tiga ratus enam puluh lima hari kita bisa mengeluarkan uang senilai da juta lima ratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah ini sudah lebih dari cukup untuk ikut berkurban. Itu baru tujuh ribu. Setiap orang mungkin bisa sepuluh ribu sehari atau lima belas ribu rata-rata perhari untuk pembelian rokok. Berapa total yang dikeluarkan untuk belanja rokok setahun. Padahal merokok hukumnya tidak wajib ataupun sunnat muakkad. Sedangkan berkurban hukumnya sunnat muakkad dan ada yang mengatakan wajib.
Bagi yang belum mampu untuk berkurban tahun ini, mari kita rencanakan untuk ikut berkurban di tahun depan dengan dimuali menabung atau menyisihkan uang kita untuk biaya kurban tahun depan. Mulainya harus hari ini atau besok. Tujuannya biar sebulan sebelum idul adha kita sudah punya tabungan yang cukup untuk berkurban. Orang tua-tua kita dahulu melakukan hal itu. Mereka menabung untuk bisa ikut berkurban. Begitu besarnya nilai ibadah ini. Bagi yang sulit menabung perhari, bisa dibuat perminggu. Misalnya lima puluh ribu perminggu akan berjumlah dua juta enam ratus ribu selama lima puluh dua minggu atau setahun. Bagi yang menerima gaji bulanan, mari kita sisihkan setiap bulan dua ratus ribu rupiah. Sehingga selama setahun akan terkumpul dua juta empat ratus ribu rupiah. Inilah di antara bentuk mensiasati agar bisa ikut berkurban karena kesempatan ibadah ini hanya ada sekali dalam setahun.
Mari kita rencanakan ibadah-ibadah kita. Toh, dalam urusan duniawi kita biasa menyusun perencanaan. Mengapa untuk urusan ibadah kita tidak membuat perencanaan dan manajemen yang baik. Orang bijak mengatakan, orang yang gagal merencanakan sesuatu, berarti sedang merencanakan suatu kegagalan. Gagal merencanakan ibadah, berarti berencana untuk tidak sukses beribadah. Semoga kita diberi kemampuan dan kemauan untuk bisa beribadah mendekatkan diri kepada Allah, termasuk beribadah kurban. Aamiin
_______
Disampaikan pertama kali pada khutbah Jumat di Masjid Nikmat Kampung Mah Bengi Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah pada hari Jumat 14 Dzulqa’idah 1439 H/ 27 Juli 2018


Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes