Ibadah kedua yang hanya ada pada bulan Dzulhijjah adalah
ibadah kurban. Ayat Alquran surah al-Kautsar yang dibacakan di awal tadi
memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw dan juga kepada ummatnya untuk
menunaikan shalat dan berkurban. Perintah itu sebelumnya didahului dengan
menyebutkan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat yang banyak. Maka
atas limpahan nikmat yang banyak itu patut kiranya kita bersyukur dengan cara
salat dan berkurban.
Dalam hadis Baginda Rasulullah Saw bersabda
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ
مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban,
maka jangan dekati tempat shalat kami.”
(HR. Ibnu Majah No. 3123, Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad Daruquthni No.
53, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7334)
Hadits ini dishahihkan
oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya: “Shahih sesuai
syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Imam Adz
Dzahabi menyepakati hal ini. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’
No. 6490, namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar
Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr, No. 102.
Melalui hadis ini
baginda Rasulullah mengatakan bahwa bagi siapa yang tidak mau berkurban padahal
dia mampu untuk berkurban dengan indikasi bahwa dia punya kelapangan harta, maka
dilarang untuk mendekati tempat salat. Jika dipahami dilarang mendekati tempat
salat lima waktu, maka pemahamannya bahwa orang ini tidak boleh datang ke
masjid. Sementara salat lima waktu kita diperintahkan untuk ke masjid.
Jika dipahami
larangan mendekati tempat salat idul adha, maka ada baiknya kita baca juga
hadis berikut yang menganjurkan perempuan yang sedang haid sekali pun tetap
dianjurkan datang ke lapangan tempat salat hari raya walaupun mereka tidak
salat. Sampai-sampi jika mereka tidak punya pakaian yang akan dipakai untuk
menutup aurat ke lapangan, Nabi perintahkan kawannya untuk meminjamkan dia
baju.
عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ
وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ
الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ
يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا. [رواه
الجماعة واللفظ لمسلم[.
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah bahwa ia berkata:
Rasulullah saw memerintahkan kami supaya menyuruh mereka keluar pada hari Idul
Fitri dan Idul Adha: yaitu semua gadis remaja, wanita sedang haid dan wanita
pingitan. Adapun
wanita-wanita sedang haid supaya tidak memasuki lapangan tempat shalat, tetapi
menyaksikan kebaikan hari raya itu dan panggilan kaum Muslimin. Aku bertanya:
Wahai Rasulullah, bagaimana salah seorang kami yang tidak mempunyai baju
jilbab? Rasulullah menjawab: Hendaklah temannya meminjaminya baju kurungnya.
[HR. al-Jama‘ah, lafal dari Muslim].
Begitu pentingnya ikut
menyemarakkan hari raya, termasuk hari raya kurban. Sampai-sampai perempuan
yang sedang berhadas dan tidak boleh salat tetap harus ikut ke lapangan. Bandingkan
dengan orang yang mampu berkurban, tapi tidak mampu berkurban. Mana yang lebih “suci”
di antara keduanya? Orang yang sanggup berkurban tapi tidak mau berkurban seolah-olah
tidak lebih suci dari pada wanita haid.
Berdasarkan dalil
hadis di atas terjadi perbedaan pendapat ulama menilai status hukum ibadah
kurban. Dalam fikih ulama berbeda pendapat tentang hukum berkurban. Dalam mazhab
syafi’I, maliki dan hambali dikatakan hukum berkurban adalah sunnat muakkad. Sementara
dalam mazhab hanafi dikatakan hukumnya wajib bagi yang mampu.
Jika kita pahami
hukum berkurban adalah wajib, maka berdosa bagi kita yang tidak berkurban
padahal kita mampu berkurban. Namun, jika kita pahami bahwa hukum berkurban
adalah sunnat muakkad, maka tidak berdosa jika tidak ikut berkurban. Betul definis
yang mengatakan bahwa sunnat itu dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan
tidak berdosa, tapi rugi. Mungkin hanya sekedar rugi saja. Mengapa rugi? Karena
orang yang mengerjakan ibadah ini dapat pahala. Sementara kita yang tidak ikut
ambil bagian dengan ibadah ini tidak mendapat pahala. Padahal kesempatan ibadah
ini datangnya hanya sekali dalam setahun.
Apakah Kita masuk kategori orang yang mampu?
Nah, sekarang mari
kita lihat apakah kita mampu atau tidak mampu? Jangan-jangan kita masuk dalam
kategori orang yang mampu. Mari kita ukur kemampuan kita dalam bidang yang
lain. Mungkin ada di antara kita yang mampu menyicil pembelian sepeda motor
lima ratus ribu sebulan. Jika ditotal setahun kemampuan kita membayar cicilan
sepeda motor senilai enam juta. Mungkin juga ada di antara kita yang menyicil
pembelian barang elektronik senilai tiga ratus ribu sebulan. Jika ditotal
setahun kemampuan kita membayar cicilan elektronik senilai tiga juta enam ratus
ribu. Artinya, untuk kebutuhan dunia kita ternyata kita mampu dan mau.
Pertanyaannya untuk ibadah yang menjadi bekal kita di akhirat kelak apakah kita
puya kemampuan?
Contoh lain, bagi
sebagian kita yang merokok. Berapa biaya yang kita keluarkan sehari untuk
membeli rokok? Jika rata-rata sehari beli rokok senilai tujuh ribu rupiah, maka
setahun tiga ratus enam puluh lima hari kita bisa mengeluarkan uang senilai da
juta lima ratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah ini sudah lebih dari cukup untuk
ikut berkurban. Itu baru tujuh ribu. Setiap orang mungkin bisa sepuluh ribu
sehari atau lima belas ribu rata-rata perhari untuk pembelian rokok. Berapa
total yang dikeluarkan untuk belanja rokok setahun. Padahal merokok hukumnya
tidak wajib ataupun sunnat muakkad. Sedangkan berkurban hukumnya sunnat muakkad
dan ada yang mengatakan wajib.
Bagi yang belum mampu
untuk berkurban tahun ini, mari kita rencanakan untuk ikut berkurban di tahun
depan dengan dimuali menabung atau menyisihkan uang kita untuk biaya kurban
tahun depan. Mulainya harus hari ini atau besok. Tujuannya biar sebulan sebelum
idul adha kita sudah punya tabungan yang cukup untuk berkurban. Orang tua-tua
kita dahulu melakukan hal itu. Mereka menabung untuk bisa ikut berkurban. Begitu
besarnya nilai ibadah ini. Bagi yang sulit menabung perhari, bisa dibuat perminggu.
Misalnya lima puluh ribu perminggu akan berjumlah dua juta enam ratus ribu
selama lima puluh dua minggu atau setahun. Bagi yang menerima gaji bulanan, mari
kita sisihkan setiap bulan dua ratus ribu rupiah. Sehingga selama setahun akan
terkumpul dua juta empat ratus ribu rupiah. Inilah di antara bentuk mensiasati agar
bisa ikut berkurban karena kesempatan ibadah ini hanya ada sekali dalam
setahun.
Mari kita rencanakan
ibadah-ibadah kita. Toh, dalam urusan duniawi kita biasa menyusun perencanaan. Mengapa
untuk urusan ibadah kita tidak membuat perencanaan dan manajemen yang baik. Orang
bijak mengatakan, orang yang gagal merencanakan sesuatu, berarti sedang
merencanakan suatu kegagalan. Gagal merencanakan ibadah, berarti berencana
untuk tidak sukses beribadah. Semoga kita diberi kemampuan dan kemauan untuk bisa
beribadah mendekatkan diri kepada Allah, termasuk beribadah kurban. Aamiin
_______
Disampaikan pertama
kali pada khutbah Jumat di Masjid Nikmat Kampung Mah Bengi Kecamatan Bebesen Kabupaten
Aceh Tengah pada hari Jumat 14 Dzulqa’idah 1439 H/ 27 Juli 2018
Post a Comment