قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ
وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah
hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S.
al-Maidah/ 5: 100)
Kata khabits adalah segala sesuatu yang tidak
disenangi karena keburukan/ kehinaannya dari segi material atau immaterial,
baik menurut pandangan akal atau syara’. Karena itu tercakup dalam kata
keburukan hal-hal yang buruk dari segi keyakinan, ucapan, maupun perbutan.
Lawannya adalah thayyib, termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan
oleh agama atau akal yang sehat. Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak
buruk. Demikian disampaikan oleh
Quraish Shihab ketika menjelaskan ayat ini.
Untuk mengetahui
konteks ayat ini turun ada baiknya diperhatikan sabab nuzul ayat ini. Sebagaimana umumnya ayat yang dimulai dengan kalimat "qul" (katakanlah), biasanya merupakan sebuah respon terhadap suatu hal. Yang paling populer misalnya kita tahu ayat "qul huwallaahu ahad". Ayat al-Ikhlash ini sebagai respon terhadap pertanyaan yang dihadapakan kepada Nabi Muhammad Saw waktu itu tentang Tuhan. Seperti apa tuhan, terbuat adari apa tuhan dan beberapa pertanyaan lain yang berangkat dari asumsi masyarakat jahiliyah tentang tuhan waktu itu. Begitu juga misalnya ayat "qul yaa ayyuhalkaafiruun" yang secara konteks historisnya merupakan respon terhadap permintaan orang kafir adanya kesepakatan bersama untuk menyembah Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad dan pengikutnya pada suatu waktu lalu setelah itu bersama-sama pula menyembah tuhan yang disembah oleh orang kafir waktu itu.
Menurut al-Wahidi ayat ini turun terkait membenarkan ucapan Nabi yang mengatakan bahwa keburukan dan kebaikan tidaklah sama. Ayat di atas turun berkaitan dengan pertanyaan seorang sahabat menanggapi ucapan Nabi Saw. Yang mengatakan bahwa Allah mengharamkan meyembah berhala, meminum khamar dan mengundi nasib. Khusus terkait khamar disebutkan oleh Rasulullah bahwa yang kena laknat tidak hanya peminumnya, tapi juga pemanen bahan bakunya, pembuat, penjual dan orang yang memakan hasil atau keuntungan darinya. Maka terkait ini ada sahabat yang bertanya karena dia menafkahi keluarganya dengan penjualan khamar. Lalu Nabi Saw. menegaskan bahwa sekalipun harta itu digunakan untuk haji, berjihad, bersedekah atau apapun ibadahnya, maka keburukan harta itu tidak akan diganti oleh Allah menjadi kebaikan. Membenarkan ucapan Nabi itu, turunlah ayat ini.
Berdasarkan konteks turunnya ayat ini bahwa tidak bisa bercampur antara kebaikan dan keburukan. Ketika sesuatu yang menurut keterbatasan akal kita manusia ini dipandang sebagai sebuah kebaikan, belum bisa dianggap sebagai kebaikan jika itu berasal dari keburukan. Haji, jihad dan sedekah adalah ibadah besar pengorbanan harta dan juga besar nilainya dibanding ibadah lainnya. Namun jika ibadah itu dilaksanakan dengan berbekal harta yang didapat dari khabits, maka ibadah yang dilakukannya tidak dinilai sebagai sebuah kebaikan.
Ketika kebaikan yang kita lakukan dicampuradukkan dengan keburukan, maka kebaikan itu tidak bernilai baik di hadapan Allah. Karena standar baik dan buruk itu tidak hanya akal manusia, tapi standar menilai baik dan buruk adalah juga berdasarkan ketentuan syariat. Jika itu baik menurut syara' maka jadilah ia sebagai kebaikan. Jika sesuatu dipandang buruk oleh syara' maka ia tetap sebagai sebuah keburukan kendatipun menurut akal sehat manusia--yang kemampuannya sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah Tuhan Yang Maha Tahu yang menurunkan syariat ini--dipandang baik.
Ayat di atas menyebutkan bahwa antara yang baik dan yang buruk tidaklah sama. Kendatipun menurut pandangan akal sebagian orang bahwa yang buruk itu lebih memperdayakan, tapi tetap tidak sama. Walaupun manusia diberi kebebasan untuk memilih menempuh jalan yang khabits atau yang thayyyib—atau dalam bahasa surat al-syams yang fujur dan taqwa—semua itu berpulang kepada pilihannya. Kepada mereka diingatkan bahwa dalam hidup ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah, ada tuntunan setan dan rayuan nafsu yang keduanya sangat bertolak belakang.
Menurut al-Wahidi ayat ini turun terkait membenarkan ucapan Nabi yang mengatakan bahwa keburukan dan kebaikan tidaklah sama. Ayat di atas turun berkaitan dengan pertanyaan seorang sahabat menanggapi ucapan Nabi Saw. Yang mengatakan bahwa Allah mengharamkan meyembah berhala, meminum khamar dan mengundi nasib. Khusus terkait khamar disebutkan oleh Rasulullah bahwa yang kena laknat tidak hanya peminumnya, tapi juga pemanen bahan bakunya, pembuat, penjual dan orang yang memakan hasil atau keuntungan darinya. Maka terkait ini ada sahabat yang bertanya karena dia menafkahi keluarganya dengan penjualan khamar. Lalu Nabi Saw. menegaskan bahwa sekalipun harta itu digunakan untuk haji, berjihad, bersedekah atau apapun ibadahnya, maka keburukan harta itu tidak akan diganti oleh Allah menjadi kebaikan. Membenarkan ucapan Nabi itu, turunlah ayat ini.
Berdasarkan konteks turunnya ayat ini bahwa tidak bisa bercampur antara kebaikan dan keburukan. Ketika sesuatu yang menurut keterbatasan akal kita manusia ini dipandang sebagai sebuah kebaikan, belum bisa dianggap sebagai kebaikan jika itu berasal dari keburukan. Haji, jihad dan sedekah adalah ibadah besar pengorbanan harta dan juga besar nilainya dibanding ibadah lainnya. Namun jika ibadah itu dilaksanakan dengan berbekal harta yang didapat dari khabits, maka ibadah yang dilakukannya tidak dinilai sebagai sebuah kebaikan.
Ketika kebaikan yang kita lakukan dicampuradukkan dengan keburukan, maka kebaikan itu tidak bernilai baik di hadapan Allah. Karena standar baik dan buruk itu tidak hanya akal manusia, tapi standar menilai baik dan buruk adalah juga berdasarkan ketentuan syariat. Jika itu baik menurut syara' maka jadilah ia sebagai kebaikan. Jika sesuatu dipandang buruk oleh syara' maka ia tetap sebagai sebuah keburukan kendatipun menurut akal sehat manusia--yang kemampuannya sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah Tuhan Yang Maha Tahu yang menurunkan syariat ini--dipandang baik.
Ayat di atas menyebutkan bahwa antara yang baik dan yang buruk tidaklah sama. Kendatipun menurut pandangan akal sebagian orang bahwa yang buruk itu lebih memperdayakan, tapi tetap tidak sama. Walaupun manusia diberi kebebasan untuk memilih menempuh jalan yang khabits atau yang thayyyib—atau dalam bahasa surat al-syams yang fujur dan taqwa—semua itu berpulang kepada pilihannya. Kepada mereka diingatkan bahwa dalam hidup ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah, ada tuntunan setan dan rayuan nafsu yang keduanya sangat bertolak belakang.
Pada ayat surat al-Syams disebutkan bahwa orang yang
berupaya mensucikan jiwanya dengan mengikuti jalan taqwa disebut dengan orang
yang beruntung. Sejalan dengan itu, pada ayat al-Maidah ini disebutkan perintah
taqwa agar dengannya manusia dapat menjadi orang yang beruntung.
Dalam menentukan pilihannya, manusia tidak dapat dipaksa.
Bahkan Rasul sekalipun tidak dapat memaksakan seorang mau beriman dan menempuh
jalan yang baik. Di antara fakta pada
masa Nabi Muhammad adalah betapa ibanya hati Nabi Muhammad karena pamannya
tidak bisa dipaksakannya beriman. Hal ini sejalan dengan ayat
sebelumnya, yaitu ayat 99 surat al-Maidah, yang mengandung pesan bahwa Rasul
hanya menyampaikan sedang yang menerima atau yang menolak berpulang kepada
masing-masing pribadi.
Pemahaman ini sejalan dengan surat Yunus ayat 99
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي
الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا
مُؤْمِنِينَ
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/ 10: 99)
Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Saw. sekalipun tidak bisa
memaksa seseorang untuk menjadi beriman. Yang bisa menjadikan seorang beriman
atau tidak hanyalah Allah saja. Firman Allah وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ
Dari pembahasan ini dapat ditarik pemahaman bahwa manusia
diberi potensi oleh Allah untuk menentukan pilihannya. Pilihan yang ditentukan
oleh manusia adalah murni dari dirinya dan tidak dapat dipaksakan oleh orang
lain. Bahkan pilihan untuk menjadi seorang yang berimanpun tidak dapat
dipaksakan oleh Nabi kepada umatnya. Yang dapat menjadikan manusia beriman atau
tidak beriman adalah Allah melalui beberapa potensi yang diberikannya kepada
manusia. Dalam konteks ini ada fitrah beragama, ada moral dan ada akal dan
pemikiran yang bisa menghantarkan manusia menjadi beriman atau tidak.
________
Disampaikan pertama kali pada pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah Kamis 13 Dzul Qa'dah 1439 H/ 26 Juli 2018
________
Disampaikan pertama kali pada pengajian subuh di Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh Tengah Kamis 13 Dzul Qa'dah 1439 H/ 26 Juli 2018
Post a Comment