Sesudah selesai sahur, kami duduk bercerita sambil
menunggu waktu subuh. Tiba-tiba anak keduaku bertanya.
“Pa! Bagaimana Cara Fa** solat lagi?” Pertanyaan
itu ditanyakan anakku karena kakinya terluka setelah terinjak pecahan kaca
gelas dari susu yang dibawanya.
Tadi malam sesudah berbuka, ia belum langsung
solat. Ia agak kesal karena roti yang rencanyanya akan dimakannya untuk berbuka
sudah tinggal bungkusnya. Mungkin ia menduga, roti tersebut sudah habis dimakan
oleh anak ketigaku.
Dengan musibah ini, ia menjadi semakin tidak
tenang. Tadinya ia masih menahan air mata yang berlinang berkaca-kaca karena
menduga roti yang sudah habis. Sekarang, tangisnya itu pecah karena menahan perihnya
luka di telapak kakinya yang mengeluarkan darah. Buntut dari kesakitan dan
kekesalannya adalah ia tidak solat Maghrib, Isya dan sunat Tarawih.
Tapi pada pagi dini hari ini, semangat ibadahnya
kembali muncul. Ia mau dibangunkan untuk sahur. Setelah sahur dan minum obat,
ia bertanya bagaimana cara solat.
Melihat semangatnya, aku juga menjawab dengan
penuh semangat.
“Abang solatnya duduk di kursi. Tidak berdiri.
Rukuk dan sujudnya tidak seperti solat biasanya” jawabku sembari mencontohkan
cara ruku’ dan sujud.
“Trus, bagaimana Fa** berwudhu’?” tanyanya lagi.
“Abang tayamum” jawabku.
“Kan masih ada air? Mengapa Fa** harus tayammum?”
sanggahnya.
“Tayammmum itu tidak hanya di saat tidak ada air
untuk berwudhu’. Tapi tayammum juga dapat dilakukan pada saat sakit yang tidak
bisa menggunakan air.” Jawabku menjelaskan keraguannya.
“Fa** tau cara tayammum” katanya bersemangat.
“Bagaimana caranya?” tanyaku memancingnya untuk
mencontohkan.
Lalu anakkupun bertayammum dan setelah itu aku
gendong ke tempat salat agar ia bisa ikut salat berjamaah di rumah.
***
Melaksanakan ibadah tetap bisa dilaksanakan walau
ada keterbatasan. Apalagi, ibadah tersebut adalah ibadah wajib yang mesti
dilaksanakan oleh setiap mukallaf.
Menurut al-Syaukânî,
dalam kitabnya yang populer Irsyâdul Fuhûl, syarat diwajibkan sebuah ibadah kepada mukallaf adalah
bahwa ibadah itu merupakan perbuatan yang mungkin untuk dilakukan, bukan
perbuatan yang mustahil untuk diwujudkan. Ini adalah pendapat jumhur ulama yang
diikuti oleh al-Syaukânî.
Lebih lanjut al-Syaukânî menjelaskan kategori mustahil itu dapat dipandang dari dua aspek. Pertama,
mustahil karena perbuatannya sendiri mustahil dilakukan. Kedua, mustahil karena
kemampuan mukallaf yang tidak dapat mewujudkan perbuatan itu.[1]
Dalil umum yang dipegang
oleh al-Syaukânî adalah firman Allah surah al-Baqarah ayat 286 (لَا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ) dan al-Thalâq ayat 7 (لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا مَا آتَاهَا).
Saya ingin berkomentar tentang kategori mustahil karena
kemampuan mukallaf yang tidak dapat mewujudkan perbuatan itu. Dalam kasus anak
saya yang tidak sanggup berdiri solat karena telapak kakinya luka, maka dalam
hal ini dipandang mustahil melaksanakan solat berdiri seperti biasanya.
Namun, tidak berarti gugur kewajiban solat bagi mereka
yang tidak bisa berdiri untuk solat. Yang gugur darinya adalah kewajiban
melaksanakan solat dengan cara berdiri tegak seperti orang yang sehat. Demikian
seterusnya untuk kasus orang yang tidak kuasa solat dengan kondisi duduk, maka
gugur kewajiban solat dengan cara duduk, ia tetap wajib solat dengan cara
berbaring.
Dalam kasus tayammum secara tegas disebutkan dalam surah
al-Maidah di antaranya adalah jika kamu sakit (وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى ). Kasus anakku memenuhi
kategori ini. Ia tidak bisa
berwudhu’ karena kakinya yang luka belum bisa terkena air. Maka mengamalkan
syariah tayammum adalah sebagai bentuk keringanan dalam menunaikan kewajiban
bersuci. Kewajiban bersuci tidak gugur, yang gugur hanya kewajiban berwudhu’. Ia
diganti dengan bertayammum.
Banyak contoh gugurnya kewajiban tertentu dan berganti dengan
bentuk kewajiban yang lain. Di antaranya kewajiban menghadap kiblat dalam salat
tentu tidak berlaku bagi penyandang disabilitas tunanetra ketika tidak ada yang
memberitahukan kepada mereka ke mana arah kiblat. Demikian juga ketentuan waktu
salat bagi penyandang disabilitas tunanetra yang sekaligus tunarungu ketika
tidak ada yang memberitahukan kepada mereka waktu salat.
Berdasarkan kaidah ini, tidak berlebihan juga jika
kita aplikasikan dalam kasus gugurnya kewajiban solat jumat karena tidak
memungkinkan melaksanakannya dikarenakan darurat pandemi covid 19. Namun,
kewajiban solat fardu Zuhur tidak gugur.
Demikian juga halnya dengan solat berjamaah di
masjid, musahalla, surau, meunasah, mersah, langgar atau tempat ibadah lainnya.
Bagi yang memilih pendapat yang mengatakan solat lima waktu itu wajib di masjid
bagi laki-laki, namun karena ada hal yang menyebabkan kewajiban itu tidak dapat
dipenuhi secara penuh, maka gugur kewajiban solat di masjid.
Wallahu A’lam.
[1]Pernyataan itu berbunyi:
أَنَّ شَرْطَ الْفِعْلِ الَّذِي وَقَعَ التَّكْلِيفُ بِهِ، أَنْ
يَكُونَ مُمْكِنًا فَلَا يَجُوزُ التَّكْلِيفُ بِالْمُسْتَحِيلِ،عِنْدَ
الْجُمْهُورِ، وَهُوَ الْحَقُّ، وَسَوَاءٌ كَانَ مُسْتَحِيلًا بِالنَّظَرِ إِلَى
ذَاتِهِ، أَوْ بِالنَّظَرِ إِلَى امْتِنَاعِ تَعَلُّقِ قُدْرَةِ الْمُكَلَّفِ بِهِ
Lihat Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad
al-Syaukânî, Irsyâdul
Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq min Ilm al-Ushûl, Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, 1999 M/ 1419 H, juz ke-1, h.
32
Bang,kalau kasusu seperti ini,saya sebagai pasien di salah satu RS,setelah selesai operasi,kita di bawa ke kamar pasien,dan di sana sudah disediakan tempat tdr,dng tatanan sesuai kondisi kamar,dan arah nya tdk mnghadap kiblat,smnyara,saya harus menunaikan sholat,dan mustahil bisa beranjak posisi mnghadap kiblat,karna kondisi blm memungkinkan,,apakah sah sholat saya yg tdk mnghadap kiblat?
ReplyDeleteDengan kondisi fisik pasca operasi sehingga mustahil untuk berpindah sesuai arah kiblat, agaknya dimaafkan. Pada saat itu tidak wajib menghadap kiblat. Wallahu a'lam.
ReplyDeleteSemoga cepat pulih sehingga kembali beribadah seperti sebelumnya. Aamiin
Aamiinn....makasih p ustadz
ReplyDeleteSama-sama pak bos..
Delete